Merasakan Toleransi dan Mengenang Tragedi Mei 1998 di Pecinan Semarang

Merasakan Toleransi dan Mengenang Tragedi Mei 1998 di Pecinan Semarang

Beragama harusnya membuat kita bisa lebih memperbaiki diri dan berempati agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Merasakan Toleransi dan Mengenang Tragedi Mei 1998 di Pecinan Semarang

Pagi itu, saya bersemangat berburu beraneka macam kuliner di Pasar Gang Baru, Semarang. Penjual dan pembeli dari ragam etnis, yaitu Jawa dan Tionghoa saling tawar-menawar. Orang-orang Jawa dan Tionghoa itu berinteraksi secara luwes setiap pagi tanpa prasangka-prasangka buruk. Mengobrol dan tertawa tanda akrab dan tak mempermasalahkan perbedaan identitas. Masyarakat di Pasar Gang Baru terbiasa beradaptasi dengan perbedaan.

Saya menemukan ragam makanan, seperti kue cucur, kue moho, kue ku, pecel semanggi, sate keong, lapchiong (babi), swieke (katak), dan masih banyak lagi. Orang-orang Islam yang berbelanja di Pasar Gang Baru tak pernah mempersoalkan pasar yang menjual makanan yang tidak boleh dimakan dalam agama mereka. Banyak sekali pilihan, kita bisa memilih mana yang dituju tanpa menyalahkan.

Selain itu, Pasar Gang Baru yang terletak di Pecinan Semarang ini menjual pakaian baru, pakaian bekas, obat, hio, kecap, permen susu dan kacang, manisan aneka buah dan remah, serta ragam benda untuk ibadah pun tersedia di sini.

Beberapa kali saya mengajak teman-teman ke sini untuk sekadar jalan-jalan, kulineran, dan melihat ragam perbedaan yang berdampingan, rukun, dan saling menghargai. Teman-teman saya ada yang kaget karena pertama kali melihat kepala babi dijual, kaget ketika ragam suku berbaur dan akrab, serta merasa damai dan istimewa. Saya jadi ikut senang bisa menemani mereka merasakan hal baru.

Tidak terbayang kalau dulu saya dan kawan-kawan ke sini tahun 1998. Tahun 1998 begitu mencekam karena saat itu terjadi diskriminasi besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Solo. Semarang saat itu landai saja, namun etnis Tionghoa tetap khawatir dengan keluarga. Sekarang masih ada diskriminasi, namun dulu lebih parah karena disertai dengan kekerasan psikologis, ekonomi, hingga seksual. Ratusan perempuan Tionghoa disiksa dan diperkosa.

Rujak Pare Sambal Kecombrang

Gedung berpintu merah yang ketika saya lewat lebih sering ditutup ini dibuka untuk melakukan peringatan Tragedi Mei 1998. Pita hitam dilingkarkan di pergelan tangan tanda mengenang dan berkabung. Acara doa dan menikmati Rujak Pare Sambal Kecombrang yang diinisiasi oleh perkumpulan Boen Hian Tong ini ibuka untuk umum dan diapresiasi oleh Komnas Perempuan.

Sinci Ita Martadinata, perempuan pembela HAM (Hak Asasi Manusia) diletakkan di altar. Rujak Pare Sambal Kecombrang sebagai upaya menolak lupa Tragedi Mei 1998. Pahit, segar, pedas, manis, dan asam saya rasakan. Pare bermakma pahit yang dimakan, bunga kecombrang jadi simbol perempuan yang diperkosa dan dianiaya. Peringatan ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah, aktivis, jurnalis, kelompok agama, masyarakat, dan kelompok rentan.

Sinci Gus Dur dan Toleransi di Rasa Dharma

Selain menjadi mengenang tragedi, di Rasa Dharma juga terdapat papan leluhur Abdurrahman Wahid, presiden Indonesia keempat yang akrab disapa Gus Dur. Masyarakat Tionghoa sangat menghormati beliau karena Gus Dur berjasa untuk penerimaan keberagaman di Indonesia.

Semula, perayaan keagamaan dan adat Tionghoa dibelenggu, kini bisa dirayakan kembali dengan aman dan tenang. Keppres nomor 6 tahun 2000 yang dikeluarkam oleh presiden Abdurrahman Wahid menjadi tanda dan upaya awal penghapusan diskriminasi pada masyarakat Tionghoa di Indonesia. Gus Dur sangat dihormati oleh orang Tionghoa karena beliau merangkul ragam etnis di Indonesia tanpa membeda-bedakan.

Karena Gus Dur merupakan seorang muslim, segala makanan di Rasa Dharma diganti. Sebelumnya di kalangan Tionghoa membawa ikan, ayam, dan babi. Karema dalam muslim itu babi dilarang untuk dikonsumsi, maka daging babi diganti dengan kambing.

Saya salut sekali dengan upaya-upaya merawat perbedaan dan toleransi seperti ini. Praktik-praktik baik harus terus dikenang, dilestarikan, diceritakan, dan diwariskan kepada anak cucu.

Semua manusia itu sama, hidup lebih bermakna dengan berbuat baik, mengontrol ego, mencegah kekerasan, dan berinteraksi untuk menghilangkan prasangka buruk yang berpotensi membahayakan di kemudian hari. Prasangka buruk bisa melahirkan radikalisme, ekstremisme, ekstremisme kekerasan, bahkan aksi teror. Beragama harusnya membuat kita bisa lebih memperbaiki diri dan berempati agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.