
Islami.co – Arus mudik 2025 telah dimulai. Jutaan orang yang mengadu nasib di kota berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk bertemu keluarga tercinta. Di antara jutaan orang tersebut adalah saya. Tahun ini, saya beruntung karena masih berkesempatan untuk merayakan momen Idulfitri bersama keluarga di rumah.
Pada lebaran kali ini, saya memilih mudik mengendarai sepeda motor. Kendaraan roda dua yang satu ini masih menjadi salah satu pilihan perjalanan yang menarik bagi kaum laki-laki yang suka berpetualang seperti saya. Apalagi saya belum berkeluarga. Kalau sudah berkeluarga, mungkin akan beda cerita.
Di setiap perjalanan, sampai tempat tujuan dengan selamat bukan satu-satunya hal berharga yang bisa didapat. Masih ada hal berharga yang lain, yaitu pelajaran dari perjalanan itu sendiri. Saya menulis cerita mudik 2025 ini bukan tanpa alasan, dan alasan itu masih berkaitan dengan pelajaran yang saya dapatkan dari perjalanan sepanjang 780 Km ini.
“Ibu, Insya Allah besok pagi saya pulang, ya,” saya mengabari ibu lewat telfon, tepat sehari sebelum saya berangkat mudik. Di seberang sana, ibu terdengar gembira dan antusias menanti kepulangan saya. Namun, antusiasme ibu seketika berubah menjadi kekhawatiran ketika saya mengatakan bahwa saya akan mudik dengan mengendarai sepeda motor.
“Tenang, bu, sepeda motornya sudah saya servis, barang-barang nanti saya kirim ke rumah lewat pos, saya hanya membawa barang yang dibutuhkan di perjalanan,” saya coba menenangkan ibu. Ia pun menyerahkan keputusan ke saya, meski ucapannya terdengar terpaksa. Tidak lupa, ia menyarankan saya untuk meminta izin ke bapak saya.
Singkat cerita, saya mengantongi izin dari bapak untuk mudik dengan mengendarai sepeda motor. Perlengkapan untuk di perjalanan sudah terbungkus rapi, kebutuhan istirahat sebelum berangkat sudah terpenuhi. Tepat 03.00 WIB dini hari, saya menarik gas sepeda motor dan meninggalkan Kota Depok.
Kondisi Subuh hari yang masih gelap membuat saya sempat salah belok hingga dua kali saat berada di suatu persimpangan yang ada di Bekasi. Meski demikian, saya langsung cepat menyadarinya. Dua jam berjalan, saya memutuskan berhenti di sebuah SPBU di daerah Karawang untuk melaksanakan sholat Subuh dan mengisi bahan bakar.
Setelah beristirahat selama 20 menit, saya kembali melanjutkan perjalanan. Langit yang mulai terang membuat saya memacu kendaraan lebih kencang, dengan tetap mewaspadai kemungkinan jalan yang berlubang. Saya lega ketika kondisi jalan di sepanjang jalur Pantura yang saya lalui, yakni via Pamanukan, mulus-mulus saja.
Kondisi jalan seperti itu, ditambah lalu lintas yang lengang, membuat saya lengah. Saya lupa bahwa ada satu hal yang juga perlu saya waspadai: tingkah laku pengguna jalan yang lain. Padahal, saya tidak pernah lupa satu hal ini ketika berkendara di jalanan Jabodetabek sehari-hari. Hanya berselang satu jam dari pemberhentian pertama, tepatnya di daerah Indramayu, saya mengalami hal yang tidak saya inginkan. Saya kecelakaan.
Sebuah mobil Carry bak terbuka yang berjalan di lajur kiri tiba-tiba berpindah ke lajur kanan untuk mendahului kendaraan di depannya tanpa menyalakan sein. Di sini, saya masih bisa menjaga jarak aman dengan cara segera mengurangi kecepatan. Naas bagi saya, kendaraan roda empat itu tiba-tiba membuat manuver lain yang di luar nurul: mengerem saat posisi mendahului. Kali ini, tabrakan tidak bisa saya hindari, saya terlempar hingga ke bahu jalan.
Perjalanan saya harus terhenti karena sepeda motor saya mengalami kerusakan cukup parah di bagian depan. Beruntung, setelah dilakukan perbaikan selama lebih dari empat jam, saya masih bisa melanjutkan perjalanan bersama kendaraan yang saya pinjam dari kakak saya ini. Sampai di sini, saya belum menyadari adanya kaitan antara kejadian yang saya alami dengan izin ibu.
Sekitar pukul setengah dua siang, saya langsung melanjutkan perjalanan. Hujan yang turun ketika saya melewati daerah Cirebon tidak membuat saya berhenti, demi bisa mencapai jarak sejauh mungkin di hari pertama perjalanan. Perjalanan saya baru terhenti ketika sepeda motor saya kehabisan bahan bakar di daerah Brebes. Di sini, saya mulai menyadari bahwa dua kejadian apes yang saya alami berkaitan dengan izin ibu.
Waktu Asar tersisa satu jam, dan hujan gerimis masih terus mengguyur. Akhirnya, saya memutuskan untuk segera mencari penginapan, agar saya bisa beristirahat, melaksanakan sholat, dan berbuka puasa dengan tenang. Tiba di penginapan, saya baru menyadari bahwa sepatu saya, yang saya bungkus kantong plastik agar tidak basah oleh air hujan, terjatuh di tengah perjalanan. Saya kehilangan sepatu kesayangan.
Pada titik ini, saya memutuskan untuk segera menelfon ibu, menceritakan semua kejadian apes yang menimpa saya, serta memohon kepadanya untuk dengan tulus dan ikhlas mengizinkan saya melanjutkan perjalanan esok hari. Tak lupa, saya menjelaskan bahwa kecalakaan yang saya alami bukan disebabkan oleh rasa kantuk atau lelah seperti yang ia khawatirkan. Alhamdulillah, ibu bisa memahami, ia pun akhirnya mengizinkan.
Esok harinya, saya melanjutkan sisa perjalanan yang masih terbentang sepanjang 470 Km. Perjalanan yang masih panjang ini membuat saya terpaksa melewatkan banyak tempat persinggahan yang tersebar di sepanjang jalur Pantura. Seandainya tidak kejar-kejaran dengan waktu, saya bisa mengunjungi sejumlah situs makam bersejarah, masjid-masjid megah, maupun pantai-pantai indah di sepanjang Jalan Nasional I ini.
Singkat cerita, sekalipun beban mental yang saya pikul lebih berat, perjalanan saya di hari kedua berlangsung tanpa drama. Sepertinya dugaan saya benar, bahwa izin seorang ibu, kerelaan dan keikhlasan perempuan yang mengandung, melahirkan, dan menyusui anak itu, adalah salah satu faktor terpenting yang menentukan kesuksesan seseorang mencapai tujuan.
Peristiwa yang saya alami ini mengingatkan saya pada sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri. Dikisahkan bahwa suatu hari ada seorang laki-laki dari Yaman yang menghadap kepada Nabi Muhammad Saw untuk ikut berjihad. Ketika Nabi bertanya, apakah laki-laki tersebut sudah meminta izin kepada orang tuanya? Ia mengaku bahwa dirinya belum meminta izin. Seketika itu, Nabi mempersilahkannya untuk kembali ke Yaman untuk meminta izin kepada kedua orang tuanya, dan baru memperbolehkannya ikut berjihad jika orang tuanya mengizinkan.
Bagi saya, izin atau restu orang tua itu bisa diperjuangkan. Sepanjang kita mampu menunjukkan kepada mereka kesungguhan kita, mampu meyakinkan mereka bahwa kita telah merencanakan dengan matang, lambat laun hati mereka akan luluh. Dan tidak cukup itu, kita juga perlu meminta pertolongan kepada Sang Maha Pembolak-Balik Hati, untuk membalik hati orang tua yang semula tidak mengizinkan, lalu berubah menjadi mengizinkan. Wallahu A’lam.
Terima kasih atas pelajaran berharganya, Mudik 2025!