Sebuah iklan nyelonong ke timeline Instagram saya. Ini sponsored post dari sebuah akun berjualan jilbab dengan judul jilbab “new normal”. Jelas iklan itu telah memanfaatkan momentum Covid-19 untuk berjualan dengan pilihan diksi “new normal”. Dan itu mungkin dianggap biasa saja, namanya juga iklan. Namun, setelah dipelajari, saya melihat ini tak sekadar iklan jilbab.
New normal itu dikaitkan dengan penggunaan cadar bagi anak-anak. Artinya, dalam iklan itu tersirat sebuah gagasan yang melanggar hak-hak anak. Tulisan ini mengupas beberapa aspek dari iklan itu yang menjelaskan letak pelanggaran hak anak yang berangkat dari ideologi yang menganggap perempuan, bahkan sejak masih anak-anak, telah diberi stigma negatif terkait dengan tubuh (fisik) dan ketubuhannya (pandangan sosial tentang perempuan).
Sebetulnya, iklan itu pada intinya jualan jibab. Namun lebih dari jilbab, ternyata iklan itu menawarkan kelengkapannya berupa baju gamis dan cadar bagi balita perempuan! Dan itulah “new normal” menurut iklan itu. Akun itu mengklaim sebagai penjual baby hijab (hijab bayi). Di post itu, tampak anak perempuan kira-kira usia tiga tahun yang sedang mejeng sebagai model balita berjilbab dan bercadar. Ia mengenakan gamis ungu muda dengan kerudung menutup dada dan cadar dengan warna senada.
Caption post tersebut berbunyi: “Anak Anda susah mengenakan masker? Salah anaknya apa salah maskernya? Jilbab New Normal ini dilengkapi dengan masker cadar yang teruji nyaman dan aman...”
Dalam dunia digital, memasang sebuah iklan di media sosial bisa sangat targeted. Dalam anggapan penjual jilbab new normal bagi balita ini, saya adalah salah satu target audiens yang pas: seorang ibu muda, punya balita.
Hal yang tidak diketahuinya, pertama, anak saya laki-laki, dan kedua, saya adalah aktivis pemenuhan hak-hak anak agar terbebas dari apapun yang mengancam hak-hak mereka sebagai anak untuk berkreasi tanpa stigma, bermain dan beraktivitas tanpa dibebani ideologi apapun yang dianut orang dewasa yang dapat mengakibatkan mereka kehilangan hak-haknya sebagai anak. Karennya bukannya tertarik, saya justru merengut dan bersungut melihat post dengan caption tersebut.
Tak urung saya jadi penasaran atas iklan itu. Seperti dapat diduga, SELURUH anak perempuan yang menjadi modelnya memakai cadar, bukan hanya jilbab. Beberapa anak yang tidak memakai cadar, matanya diburamkan persis seperti pelaku kriminal di televisi. Beberapa post berisikan ilustrasi kartun anak perempuan. Namun lagi-lagi, sosok anak perempuan tersebut tidak diberi wajah.
Saya melihat sejumlah persoalan di sini. Saya seorang Muslimah, kebetulan saya juga pengguna jilbab, ibu dan kakak ipar juga memakai jilbab. Namun jilbab itu kami kenakan sebagai pilihan sadar orang dewasa, jilbab digunakan setelah menimbang banyak hal termasuk hak tubuh saya untuk aman dan nyaman dalam mengenakannya.
Saya tak pernah dipaksa oleh orangtua atau lingkungan saya untuk mengenakannya. Sebab dalam keyakinan saya ini terkait dengan pilihan-pilihan. Namun iklan itu jelas berisi unsur pemaksaan. Anak dinormalisasikan untuk menggunakan jilbab plus cadar!
Kedua, iklan itu telah memanfaatkan peluang dengan cara yang tidak fair. Mereka memanfaatkan situasi yang ditimbulkan oleh wabah Covid-19 untuk mengeruk keuntungan. Kampanye publik untuk menggunakan masker yang diserukan Badan Kesehatan Dunia atau pemerintah dimanfaatkan oleh mereka untuk jualan dengan dalih dakwah tentang kewajiban memakai cadar.
Argumentasi-argumentasi semacam “agama Islam telah lebih dulu menganjurkan menutup wajah” untuk menandingi anjuran memakai masker kerap terdengar. Padahal jika mau jujur, cadar bukanlah masker dan tak pernah diperlakukan atau diuji sebagai alat untuk menghindari penularan dan ketularan virus yang menyebar melalui droplet.
Artinya, kedua argumen tersebut sama sekali tidak berbanding lurus. Anjuran memakai masker didasarkan pada data dan fakta yang berlandaskan ilmu pengetahuan tentang efektivitasnya dalam mencegah tertular maupun menularkan virus Covid-19. Masker adalah upaya universal yang di dalamnya tak termuat isu suku, ras, agama, dan gender, melainkan semata-mata untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Sementara dalam jilbab yang dilengkapi cadar dan diiklankan sebagai jilbab “new normal” berangkat dari ideologi tentang aurat perempuan.
Iklan itu mengingatkan saya pada penelitian Rumah KitaB tentang pandangan ideologi Islamisme yang berdampak pada kekerasan terhadap perempuan (2020). Penelitian ini menemukan bahwa perempuan menutup seluruh tubuhnya itu termasuk jilbab dan cadar berangkat dari dua konsep tentang: fitnah dan fitrah.
Dalam konsep itu, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah–sumber kekacauan, goncangan, dan godaan bagi laki-laki. Oleh karena itu, perempuan wajib menutup auratnya. Dan karena perempuan adalah sumber fitnah, maka secara fitrah ia harus dikontrol dan diawasi oleh laki-laki di sepanjang hidupnya, baik oleh ayahnya maupun suaminya ketika ia menikah kelak.
Akun Instagram yang berjualan jilbab bercadar bagi balita itu persis menggambarkan gagasan tentang perempuan sebagai sumber fitnah. Dan lebih dari itu, gagasannya ditanamkan sejak masa balita ketika kewajiban syar’i dalam fikih pun belum berlaku baginya. Namun demi beriklan, balita- balita itu telah pula diberi label sebagai sumber fitnah. Sejak bayi mereka dinormalisasikan sebagai sumber kekacauan sosial atau sumber finah.
Sebagaimana dalam iklan, penelitian itu mencatat bahwa normalisasi pemakaian jilbab yang dilengkapi cadar ditanamkan sejak bayi dan menjadi lebih ketat ketika mereka masuk TK. Saat anak perempuan menginjak bangku SD, seruan untuk semakin menutup tubuhnya seperti memakai cadar semakin kuat. Penelitian kami di berbagai wilayah menemukan anak balita sejak usia tiga tahun telah dinormalisasikan menggunakan jilbab, baik oleh aturan sekolah, pemaksaan orangtua,maupun komunitasnya.
Penelitian ini mengungkapkan, perempuan yang tidak menutup auratnya sesuai syariat mendapatkan stigma sebagai orang yang tak mendapatkan hidayah atau mendapatkan dosa jariyah yag terus menerus karena mengizinkan laki-laki berzina mata padanya, termasuk melalui gambar fisiknya di dunia maya. Dalam konsep ini, di manapun perempuan berada (baik nyata maupun maya), tidak dibenarkan menampakkan auratnya, tak terkecuali anak-anak perempuan balita sebagaimana saya temukan di akun Instagram tersebut.
Usia balita adalah masa kritis dalam tahapan perkembangan anak. Saya mengalaminya sendiri. Setiap hari saya selalu bernegosiasi dengan anak saya tentang pakaian mana yang hendak ia kenakan. Negosiasi dilakukan karena kerap dia menolak memakai baju pilihan saya.
Sebagai orang dewasa, saya berusaha memahami pilihan-pilihannya sepanjang tidak membatasi hak-haknya untuk bebas bermain. Saya terima pilihanya karena dia sedang belajar tentang otonomi pada dirinya maupun tubuhnya. Sedapat mungkin saya mencoba mengakomodasi pilihan-pilihan yang ia buat sendiri, termasuk pakaian apa yang ingin ia kenakan atau bermain apa di hari itu. Hal yang saya pegang sebagai prinsip adalah, ia memahami bahwa ia seorang manusia yang merdeka.
Dari sana saya belajar memahami bahwa ia dapat membuat pilihan yang ia buat secara sadar yang menurutnya terbaik untuk dirinya, termasuk menerima konsekuensinya. Misalnya, tidak menggunakan baju bepergian untuk bermain karena baju bepergian cenderung kurang luwes, atau keharusan memakai piyama sebelum tidur agar tak kedinginan.
Pertanyaan saya sekarang, apakah anak-anak perempuan yang dipakaikan jilbab new normal itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan? Dan apakah pemakain jilbab new normal telah memenuhi hak anak untuk bebas bergerak, bereskpresi, menunjukkan cita rasa; suka, sedih, marah kecewa, dan gembira? Itu adalah hak yang secara universal harus dilindungi dan dipenuhi oleh orang dewasa!