Adakah Islam yang murni? Pertanyaan itu tiba-tiba saja hadir dalam benak pikiran penulis saat mulai mempelajari berbagai wacana keislaman sejak beberapa tahun silam. Musabab pertanyaan itu, penulis sempat dibuat ‘galau’, jangan-jangan Islam yang selama ini penulis amalkan dengan akar tradisi lokal yang kental, adalah Islam yang keliru, penuh bid’ah (buatan manusia), atau bahkan sesat.
Pencarian demi pencarian mulai penulis lakukan, menelusuri berbagai literatur, bertanya kepada sejumlah guru — ustad dan kiai –, berdiskusi dengan berbagai kalangan, hingga berasyik-masyuk dengan pikiran-pikiran sendiri, berusaha menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan cum kegelisahan yang semakin menjadi-jadi, bereproduksi tiada henti. Kegelisahan yang sebaris dengan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Suatu ketika, penulis bertemu dengan Gus Dur lewat buah pikiran-pikirannya yang cemerlang, khususnya yang terkait dengan relasi antara agama dan budaya, antara konsep ideal-universal dengan kenyataan-kenyataan (sejarah) yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, antara pengalaman hidup dan pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari teks kitab suci (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Berangkat dari pengalaman perjumpaan itu, penulis lalu berkesimpulan bahwa Islam sebagai sebuah sistem keyakinan dan tata nilai, tidak hanya menyangkut seperangkat kaidah-kaidah hukum universal yang menekankan pada pemenuhan kewajiban-kewajiban formal (syariat), tetapi juga sangat memperhatikan proses pergumulan kehidupan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Islam hadir menawarkan cara pandang dalam melihat dunia (world view) dan menyediakan jalan keselamatan dalam mengarungi kehidupan dunia (way of life), untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak.
Gus Dur dalam sebuah artikel yang ditulisnya, mengemukakan bahwa “Kepincangan untuk melihat sebuah agama dari pendekatan formal dan universal, akan menghasilkan sudut pandang ideal tanpa memahami hakikat agama itu sendiri. Sebaliknya, jika hanya menekankan diri pada aspek empirik semata sama saja artinya dengan memisahkan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat”.
Dengan melihat ke dua aspek itu, penulis secara pribadi semakin meyakini Islam sebagai ajaran rahmatan lil alamin, ajaran yang akan senantiasa relevan di tengah putaran roda zaman, kapan dan dimanapun (salihun likulli zamanin wa makanin).
Kerapkali para penganjur Islam di abad kontemporer kini, tidak lagi menaruh perhatian begitu jauh, pada proses bagaimana sebuah masyarakat menerima Islam sebagai sesuatu yang menyejarah, berangkat dari pengalaman interaksi dan negosiasi yang telah berlangsung lama, antara apa yang telah dimiliki masyarakat di sebuat wilayah berupa khazanah kebudayaan yang luhur, dengan Islam sebagai ajaran adiluhung yang datang kemudian.
Misalnya saja, kenyataan bagaimana masyarakat adat Tana Toa Kajang di Kabupaten Bulukumba, mengamalkan Islam berangkat dari pengalaman penerimaan leluhur mereka terhadap ajaran Islam yang bertemu pada aspek-aspek dasar akidah dan tasawuf. Atau bercermin pada komunitas adat Bissu yang mampu mempertemukan dengan sangat apik, antara kebudayaan masyarakat bugis dengan ajaran Islam dalam berbagai ritus tradisi lokal.
Atau pula pengalaman penerimaan Islam yang berangkat dari institusi politik (kerajaan) di masa lalu, dimana proses Islamisasi yang terjadi berlangsung secara instruktif (top down), tentu akan berbeda nilainya dengan proses islamisasi yang berlangsung secara mutualistik (bottom up), yakni proses penerimaan ajaran Islam yang terjadi lewat persentuhan langsung — melalui kebudayaan — antara masyarakat pra-Islam, dengan para penganjur Islam di masa silam, tidak sekadar karena mengikuti keinginan raja yang berkuasa.
Pertimbangan-pertimbangan empirik semacam ini, akan membantu kita dalam memahami, bahwa ideal-ideal formal yang termaktub dalam sumber-sumber tekstual ajaran Islam, dapat saja dipahami secara berbeda oleh masyarakat Muslim di berbagai wilayah, tanpa perlu menaruh sikap curiga atau memberi stigma kepada mereka yang dalam pemahaman kita, belum melaksanakan ajaran formal Islam secara “murni” dan “kaffah” (menyeluruh). Karena penerimaan mereka terhadap ajaran Islam itu sendiri sudah merupakan sesuatu yang sangat berharga dan patut diapresiasi setinggi-tingginya.
Pada titik ini, apa yang dipahami sebagai islam yang murni, sebagaimana yang penulis pertanyakan di awal tulisan ini, adalah sejumput ideal-formal yang bersandar secara ketat pada teks-teks primer (Al-Quran dan Hadis) semata, sementara Islam adalah agama yang telah mengalami perjumpaan panjang dengan berbagai kebudayaan dan peradaban selama berabad-abad, hal itu dapat ditemukan dalam puspa ragam hasil negosiasi-akomodasi yang ada di berbagai komunitas masyarakat. Dengan begitu, Islam sebagai sebuah ajaran, akan bersenyawa dengan kebudayaan yang akan terus diuji oleh sejarah, dari masa lalu, masa kini, menuju masa depan.
Islam adalah agama yang telah hadir berabad-abad dalam selaksa sejarah umat manusia, sebagai sumber inspirasi keluhuran budaya dan kemajuan peradaban di fase keemasan (the golden age of Islam). Semua itu adalah modal yang sungguh berharga sebagai sumber khazanah, bagi siapa saja yang mau dan mampu memaksimalkan potensi jiwa dan pikiran, lahir dan batin yang telah Allah anugerahkan. Bukankah Islam adalah agama yang memerintahkan penganutnya untuk terus membaca dan menelaah? []
*Pernah dimuat di Rubrik Opini Tribun Timur Edisi Jumat 6/10/2017. Diterbitkan ulang atas persetujuan penulis dan media bersangkutan. Judul asli Islam: Pengamalan Sebuah Pengalaman