Suatu ketika saya bertemu kawan alumni Al Azhar Mesir, bercerita tentang luar biasanya TGB. TGB yang saya maksud tentu Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, Lc., MA. Menurut cerita kawan saya, TGB ini setiap bepergian selalu mengajak seorang santri untuk kawan shalat jamaah sekaligus menyimak hafalan Al-Qur’an beliau dalam perjalanan. Dari hal tersebut kawan saya merasa bahwa TGB adalah pemimpin yang baik.
Sayangnya, saya berbeda pandangan, tentu dengan tetap menghormati keilmuan dan kepakaran serta keulamaan beliau, saya berpendapat bahwa di satu sisi, sebagai seorang ulama’, beliau tetap harus dihormati. Namun jika bertindak dalam koridor politik dan lainnya, di luar koridornya sebagai seorang ulama, maka beliau tetap tidak boleh kebal dari kritik.
Seharusnya, parameter yang digunakan untuk menilainya sudah berbeda, tentu berdasarkan keberhasilan beliau dalam memerintah, menciptakan sistem dan kondisi yang mampu menyejahterakan rakyat. Di sisi lain, kita tetap harus menghormati kepakaran dan keulamaannya.
Menyikapi hal ini, seharusnya kita berkaca dari kisah Rasulullah SAW. Suatu ketika Rasulullah melihat orang-orang Madinah mengawinkan bunga jantan (serbuk sari) dan bunga betina (putik) pohon kurma. Ketika melihat ini, Rasulullah yang besar di Mekah, kota niaga, merasa heran bahkan menganggap hal yang sedemikian adalah perbuatan sia-sia.
Mendengar itu, orang Madinah tak lagi mengawinkan bunga jantan dan bunga betina lagi, saat itu pula panen Kurma mereka gagal. Melihat beberapa aduan terkait gagal panen yang dialami oleh orang Madinah, Rasulullah pun penasaran dan menanyakan sebabnya. Ternyata, karena pohon kurma tersebut tak dikawinkan, demi mengikuti sabda Rasulullah SAW.
Saat itu, Rasul SAW bersabda, “Antum a’lamu bi umuri dunyakum.” Artinya, bahwa para petani kurma itu, lebih faham soal cocok tanam kurma (urusan duniawi). Sedangkan Rasulullah hanya mengira saja.
Sebelum perang khandaq (parit), Rasulullah sangat kesulitan menemukan strategi perang, hingga hampir saja berfikir fatalistik. Mendapati itu Salman al-Farisiy bertanya, “Wahai utusan Allah, apakah anda berdiam ini karena wahyu atau karena pemikiran anda sendiri.”
“Bukan, ini bukan hasil wahyu, lalu apa pendapatmu wahai Salman?” Salman pun lantas mengusulkan sebuah strategi asing di Arab, strategi ini justru strategi perang asal bagsa Salman, bangsa Persia. Rasulullah setuju dan Allah menganugerahkan kemenangan.
Dua kisah ini, setidaknya menyontohkan bahwa Rasulullah SAW saja memiliki beberapa fungsi, yang tidak serta semuanya bisa diamalkan dan diterima begitu saja. Fungsi tersebut ada kalanya sebagai Rasul, dan ada kalanya sebagai orang biasa yang bertindak berdasarkan ijtihadnya.
Kisah lain yang bisa kita kiaskan dengan kasus TGB adalah ketika Ali bin Abi Thalib harus bersusah payah memadamkan pemberontakan kaum Khawarij. Saat itu, Ali ditanya tentang kedudukan kaum Khawarij. Apakah mereka masih muslim atau sudahkah keluar dari Islam. Ali menjawab, “Hum ikhwanuna, baghaw ‘alaina (Mereka adalah saudara kita, namun zalim kepada kita).”
Walaupun diperangi, Ali masih menganggap kaum Khawarij sebagai saudara. Padahal semestinya dalam fikih, pemberontak harus dihukum mati. Berbeda halnya dengan kaum Khawarij, mereka malah memvonis Ali sebagai orang kafir dan tidak segan membunuhnya.
Dari kisah-kisah tersebut bisa disimpulkan bahwa kita harus jernih memandang keputusan TGB. Bagi yang berseberangan, tetaplah bersikap santun, jangan seperti Khawarij yang tidak mampu mengolah perbedaan.
Sedangkan bagi anda yang pro dan mendukung keputusan TGB terkait pilihan politiknya, jangan kehilangan daya kritis dan menganggap semua kata-katanya adalah mutiara. Karena kita semua sama, sama-sama bisa benar, pun sama-sama bisa lacur.
Pilihan TGB adalah pilihan politik, dan harus dipahami sebagai pilihan politik semata. Dalam perbedaan pilihan dan pandangan politik, kita harus memilih antara bersikap seperti Ali bin Abi Thalib, atau seperti Ibnu Muljam dan kelompoknya.
Wallahu A’lam.