Menyeragamkan Islam itu Melawan Sejarah

Menyeragamkan Islam itu Melawan Sejarah

Islam tidak perlu diseragamkan, karena sunnatullahnya memang diciptakan untuk berbeda-beda.

Menyeragamkan Islam itu Melawan Sejarah
Mengapa sih, sebagian umat islam kok sering merasa tertindas di negeri muslim terbesar di dunia ini? Apa ini sekadar perasaan saja? AP/Achmad Ibrahim

Teror dan intimidasi yang terjadi di Car Free Day (CFD) Jakarta akhir pekan kemarin (29/4) adalah sebuah ironi. Berawal dari sebuah video yang diunggah oleh akun Jakartanicus, jagat maya menjadi gempar. #2019GantiPresiden versus #DiaSibukKerja.

Pertanyaannya; siapakah yang memainkan ini? tentu, politisi harus bertanggung jawab!

Kejadian tersebut menibulkan keresahan banyak orang, disusul dengan perasaan takut, pesimis, dan gelisah melihat fenomena bernegara akhir-akhir ini yang cenderung kurang kondusif hanya karena perbedaan pilihan politik. Pertanyaan itu jika dinarasikan berbunyi: “Benarkah Indonesia akan bubar?”

Pertanyaan ini sesuai dengan kepanikan yang tercermin lewat pernyataan Prabowo Subianto pada saat berpidato di depan kader-kader partai Gerindra bahwa “Indonesia bubar tahun 2030”.(detik.com, 22/03) maka rasa-rasanya semua itu mungkin saja bisa terjadi jika peristiwa semacam indimidasi, persekusi serta letupan-letupan untuk saling membenci terus-terusan membanjiri di negeri ini, dan semua itu berakar dari lemahnya rasa toleran serta tidak adanya penegakan hukum yang berkeadilan bagi siapa saja yang melanggar aturan.

Terlepas dari ramalan serta sikap panik Prabowo Subianto bahwa tahu 2030 Indonesia bubar, hal penting yang patut diperhatikan adalah menjaga persatuan dan kesatuan. Banyak dari kita memang masih belum dewasa dalam berpolitik serta masih banyak yang berpandangan bahwa “kalau berbeda, dia musuh kita” dan jika dibiarkan maka lama-kelamaan benturan fisik yang akan jadi taruhan. Sudah banyak negara yang mengalami itu (baca: benturan fisik), misal Timur Tengah dan Afrika dimana politik dijadikan sebagai sumber dari segala macam kehancuran dan kekacauan.

Perbedaan itu Sunnatullah

Indonesia adalah negeri yang kaya dengan perbedaan, Ada banyak golongan, dan bahkan dalam beragama pun terdapat bermacam-macam aliran. Kita dihadapkan pada keanekaragaman, atau tepatnya kenyataan yang plural. Untuk itu, perlu ditekankan melalui budaya dan pendidikan bahwa semua itu sudah berbeda dan akan terus berbeda.

Tentu kurang benar, jika ada yang berniat menyeragamkan masyarakat Indonesia yang plural ini untuk mengikuti aliran atau golongan yang diyakininya sebagai kebenaran. Misalnya, ada yang ingin menyatukan umat Islam berdasarkan kesamaan semua aliran Islam. Jelas ini melawan sejarah. Sejak berdirinya institusi Islam, tidak pernah Islam itu hanya satu atau tunggal. (Al-Makin, 2016:141).

Islam bertahan hingga kini karena kreativitas manusia dalam beriman dan membuat sesuatu yang berbeda dengan lainnya. Kreativitas para ulama dan cendikiawan Islam terbukti telah berkontribusi pada dunia Islam dan dunia pada umumnya. Begitu juga dengan pilihan politik, akan sangat kacau jika semua pilihan politik disamakan, menggingat negara Indonesia memegang erat asas Demokrasi, serta UUD di negara ini memberikan hak penuh kepada antar individu untuk memilih siapa yang ingin dipilih menurut hati nurani.

Penyeragaman dan penyamaan tidaklah mungkin dan tidak manusiawi. Maka yang ada adalah menekankan bahwa perbedaan itu biasa, tidak usah kagetan. Memahami dan menghargai perbedaan, tidak selalu mencari persamaan, justru sangat menolong untuk saling mengisi dalam hidup berdampingan.

Kesadaran akan perbedaan ini perlu dikembangkan, bahkan kalau bisa ditekankan lewat budaya dan pendidikan sedari dini, Perbedaan itu alami, manusiawi, dan tidak selamanya harus sama. Dan perbedaan bukan berarti perpecahan, tetapi itu merupakan potensi untuk saling melengkapi. Beda iman, beda aliran, beda pilihan politik, beda pandangan, beda pendapat dan beda prespektif bukan berarti untuk tidak saling melindungi, menyayangi, dan menghormati, bukan? Islam sangat mencintai perbedaan dan al-Qur’an pun menghargainya. Tidak ada Islam yang tunggal, ukuran kebaikan dan kebenaran terletak pada akhlak manusia. Wallahhu a’lam.

Muhammad Taufiq, mahasiswa Pascasarjana konsentrasi Islam Nusantara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.