Ia terlahir dengan nama Muhammad, namun lebih dikenal dengan Mulla Sadra. Sadra sendiri adalah “gelar” yang diberikan oleh murid dan para sahabatnya atas “Kejeniusan” dan penguasaannya atas ilmu pengetahuan, Sadru ad Din. Ia terlahir dari keluarga dan lingkungan yang memungkinkannya untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran dari guru-guru terbaik dari masanya. Ayahnya adalah seorang gubernur, dan itu memudahkan dirinya untuk bertemu dengan guru-guru terbaik.
Setidaknya ada lima puluh karya yang ditulisnya, lima diantara berbicara tentang tafsir, sedikit tentang hadis, dan selebihnya yang banyak itu membahas tentang filsafat. Konon, teman-teman Mulla Sadra cemburu atas kepintaran Mulla Sadra, begitu cepat dan dahsyatnya ia menyerap ilmu. Bahkan gurunya, Mir Damad, dikatakan juga merasa tersaingi atas karunia yang dimiliki oleh Mulla Sadra.
Untuk melihat samudra ilmu yang dimiliki oleh Mulla Sadra bolehlah tengok tafsir beliau tentang ayat kursi, tak kurang dari tiga ratus halaman hasil tafsir Mulla Sadra untuk tiga ayat kursi itu. Tiga ayat dan ditafsirkan dengan penafsiran yang tebalnya tiga ratus halaman. Maka tak heran, M. Rustom – peneliti Sadra, mengatakan bahwa tafsir Mulla Sadra yang banyak (halaman) itu kesemunaya berisi tafsir. Dan ini agak berbeda dengan tafsir Mafatihul Ghaib yang ditulis oleh Razi, Walid Saleh – Intelektual Islam, menyebut tafsir Razi ini lebih pada tafsir ensiklopedis, dimana semua bahasan ada di dalamnya. Sedangkan, tafsir yang ditulis oleh Mulla Sadra yang tebal itu merupakan tafsir yang benar-benar berisi tafsir.
Mulla Sadra menulis tentang tafsir dan filsafat setelah ia berkontemplasi atau uzlah untuk belasan tahun lamanya, saat ia merasa sudah “futuh” dan “tersingkap” dari tabir. Tafsir dan filsafat yang ditulisnya ditulis pada masa yang (hampir) sama, jika diandaikan pada masa sekarang, barangkali dalam satu komputer terbuka beberapa file. Jika lelah atau bosan dengan satu kajian, lalu berpindah pada file lain yang. Jadi, tampak sekali dalam tafsir-tafsir yang ditulisnya kental dengan aroma filsafat dan tasawuf.
Sadra bukan hanya seorang filsuf, bukan juga hanya sebagai pengkaji tasawuf nadhari. Ia adalah salik. Ritual dan riyadlah yang dilakukannya tak putus dan tekun. Dalam perjalanan haji ketujuh ia meninggal dunia, Mulla Sadra menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki dan tidak mengendarai kuda. Sebuah pengorbanan khas salik dalam suluk yang dijalani untuk bertemu dengan sang Maha Cinta.
Selama ini Mulla Sadra hanya dikenal sebagai filsuf, sedikit orang yang tahu bahwa Sadra juga seorang mufassir atau seseorang yang menulis tafsir. Lima dari lima puluh karyanya membahas tentang tafsir. Mulla Sadra percaya bahwa Qur’an memiliki makna dlohir dan bathin, ini didasarkan pada sebuah riwayat yang berbunyi لكل أية ظهر وبطن ولكل أية حد ولكل حد مطلع . Oleh karenanya, seperti dalam konsep wujud yang digagasnya, Mulla Sadra membagi makna Qur’an menjadi tiga bagian, yaitu: makna eksternal, imajinal dan spritual. Dan masing-masing makna hanya bisa dipahami atau dimengerti dari kualitas wujud dari masing-masing orang. Makna spritual Qur’an akan susah dijangkau oleh seseoarang yang kualitas wujudnya masih sebatas kualitas eksternal, dan selanjutnya. Qur’an yang ada pada kita saat ini adalah Qur’an adalah Qur’an yang berada pada level eksternal yang “dijemput” oleh Muhammad dari level spritual.
Menarik dari tafsir yang ditulis oleh Mulla Sadra ini adalah bahwa ia memulai tafsirnya pada ayat-ayat yang berhubungan dengan Tuhan. Hal ini bukan tanpa sebab, karena menurutnya tujuan diturunkannya Qur’an adalah untuk mengenal Tuhan, dan oleh karenanya ia memulai tafsirnya pada ayat kursi, lalu ayat nur, surat thariq dan selanjutnya yang berhubungan dengan Tuhan, ayat kursi oleh kalangan mufassir disebut sebagai سيد الآيات (bendorone ayat – Jawa). Dalam menafsirkan Qur’an yang pertama-tama harus dikakukan adalah “menyelesaikan” terlebih dahulu pemahaman tentang Tuhan, karena itu tujuan utama diturunkannya Qur’an.
Corak tafsir Mulla Sadra dekat sekali dengan tafsir Ibn Arabi, mereka mencoba memaknai ayat dengan mengembalikan kata pada realitas maknanya, pada akar katanya, pada sumber asalnya. Ibn Arabi dan Mulla Sadra dikenal dengan ulama yang “lentur” memainkan ambiguitas bahasa, mereka seringkali mengecoh para pembacanya jika tak jeli dan tak teliti. Hal itu bukanlah tanpa maksud, Ibn Arabi sengaja memilih diksi-diksi yang jarang dipakai atau agak aneh dalam tulisan-tulisannya karena ia ingin menempatkan pembaca sesuai dengan kualitasnya masing-masing. Pendekatan yang dipakai oleh Mulla Sadra dalam tafsirnya pun mirip dengan Ibn Arabi, yaitu tafsir sufi filosofis.
Marilah kita tengok bagaimana Mulla Sadra menafsirkan sebuah ayat, dan lihat bagaimana kedalaman pengetahuan dan makna yang ia berikan. الرحمن على العرش استواي lafal عرش yang oleh sebagian mufassir diartikan sebagai singgasana atau kekuasaan diartikan berbeda oleh Mulla Sadra. Mulla Sadra mengartikan عرش dengan hati dan bukan dengan singgasana atau kekuasaan. Untuk menjelaskan makna عرش yang dimaknai hati itu ia mengutip sebuah hadis (?)
يا عبدي قلبك بستاني وجنتي بستانك فلما لم تبخل علي بستانك بل انزلت معرفتي فيه فكيف ابخل بستاني عليك او كيف أمنعك منه yang artinya kurang lebih adalah wahai hamba-Ku, hatimu adalah taman-Ku dan sorga-Ku adalah tamanmu. Maka selama engkau tak menghalangi-Ku dari tamanmu, bahkan menempatkan “hati” (ma’rifat)-Ku di dalamnya, bagaimana mungkin Aku akan mencegah-Mu dari tamanku. Hati adalah tempat bersemayam Tuhan, dimana seharusnya pada tempat bersemayam itu tidak boleh ada sesuatu pun kecuali adalah Tuhan. Itupun, jika orang yang memiliki hati tidak berkehendak lain untuk menolak atau mengisi hatinya dengan sesuatu yang lain selain-Nya. Tuhan selalu dekat dan selalu ada untuk didekati, karena memang pada hati-lah Tuhan itu bersemayam.
Maka pernyataannya kemudian adalah apakah dirimu mau menyiapkan dan rela jika hatimu menjadi tempat bersemayam bagi Tuhan? []
Nur Hayati Aida, alumnus pasca sarjana STF Mulla Sadra.