Dahulu jamaah haji berangkat melalui jalur perairan menggunakan perahu dan memakan waktu berbulan-bulan, belum lagi risiko keselamatan akibat mudahnya kapal tenggelam, kini perjalanan sudah cukup mudah dengan ditempuh menggunakan pesawat terbang dalam hitungan jam. Tentunya, hal itu cukup menyenangkan. Fasilitas juga memadai untuk tercapainya kemudahan berhaji. Efeknya, antusiasme kian tinggi, namun hal itu tidak lantas menjadikan ibadah haji seseorang lebih mudah memeroleh kesempurnaan hajinya, mabrur.
Kiai Sholeh Darat menjelaskan bahwa syarat sah sorang muslim melaksanakan haji ada lima yakni; Islam, tamyis/berakal, baligh/dewasa, manusia merdeka/bukan budak, mampu melaksanakan haji dan pembiayaan haji (Majmu’ah Syari’ah’ Al-Kafiyah Lil ‘Awwam: 116). Adapun rukun haji yang harus dikerjakan ada enam yakni: Ihram, wukuf, thawaf, Sa’i, mencukur rambut, tertib.
Pemenuhan syarat dan rukun haji sebagaimana disebutkan di atas hanya menjadi syarat sahnya haji dan tidak lantas menjadi penentu terhadap kesempurnaan haji. Sebagai rukun islam yang terakhir, Haji adalah rukun penutup yang seharusnya mampu menyempurnakan keislaman umatnya. Karena sebelum berhaji, seorang muslim diwajibkan syahadat sebagai isyarat bahwa ia telah berikrar bahwa tiada Tuhan yang disembah kecuali Allah Swt dan Muhammad Saw adalah rasul-Nya.
Kemudian shalat yang menyiratkan kepada seruan berbuat amar ma’ruf nahi munkar. Ketiga yaitu puasa yang disiratkan dengan menahan dari hawa nafsu. Sementara melalui zakat umat islam diajarkan supaya mempunyai kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan bantuan. Terakhir, Haji menyiratkan seseorang untuk belajar besosialisasi, berwasasan, dan bertoleransi secara universal. Maka belum sempurna islam seseorang saat dia gagal melakukan tolorensi terhadap berbagai bentuk keragaman yang ada.
Ibadah haji akan membantu membukakan mata kita akan keragaman universal. Misal dalam gerak takbir, Indonesia yang mayoritas Syafi’iyah adalah dengan mengangkat tangan dan bersedekap di atas pusar, sedangkan dalam madzhab Maliki justru tidak mengangkat tangan. Yang sering terlupakan dalam ibadah haji adalah nilai sosial universalnya. Secara tersembunyi haji mempunyai pesan agar kita sebagai umat Islam di dunia bersatu dalam menyembah Allah Swt, meskipun tetap tidak menafikan adanya perbedaan madzhab dalam praktik peribadatanya.
Pada rukun Islam sebelumnya telah ada hidden agenda yang mampu kita tangkap di antaranya dalam shalat. Di dalam sholat, Muhammad Saw menganjurkan untuk dikerjakan secara berjamaah yang memberikan pesan terhadap jalinan kekerabatan pemeluknya dalam beribadah. Kemudian, melalui puasa dan zakat, muslim dididik untuk melihat kelemahannya di hadapan Allah Swt dan menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang membutuhkan antara satu dan lainnya.
Haji bukan hanya sekadar menjalankan bagian dari rukun Islam semata dengan menjalankan syarat dan sahnya haji. Hal tersebut sah-sah saja, namun yang diperoleh hanya sebatas menggugurkan kewajiban berhaji dan mendapatkan gelar “Haji/Hajjah”. Banyak pelajaran yang didapatkan dari ibadah haji sebagaimana dalam perihal shalat sebagaimana di atas. Orang yang berhaji baiknya menguasai bahasa Arab atau Inggris untuk mampu berbaur di sana.
Seharusnya pula memahami medan yang sedang di singgahi. Terpenting dari ibadah haji adalah menghargai dan toleransi. Dalam kasus ini haji adalah ibadah bagi Muslim dari seluruh penjuru dunia. Di Makkah ataupun Madinah yang menjadi tempat berbaurnya berbagai etnis manusia yang berbeda bahasa, bentuk fisik maupun warna kulitnya.
Betapa indahnya Allah Swt mempersatukan umatnya yang beragam dari berbagai penjuru dunia dalam satu tempat dan satu ibadah, yakni haji. Menyikapi perbedaan tersebut, disyaratkan adanya sikap saling menghargai dan toleransi dari setiap Muslim yang berhaji. Bagaimana tidak, seseorang tanpa sikap menghargai dan toleransi hanya akan mencaci perbedaan yang nampak dalam pandangannya.
Presiden Jokowi melalui Kementerian Agama dalam acara Konferansi Tingkat Tinggi (KTT) G20 meminta Arab Saudi untuk menambah kouta haji bagi Indonesia. Indonesia berusaha pula meminta terhadap Arab Saudi untuk menggunakan kuota haji dari negara lain yang tidak digunakan untuk diisi dengan jamaah haji asal Indonesia, mengingat sudah ada 3 juta WNI yang terdaftar dalam daftar tunggu haji (Kompas, 6/9).
Hal yang dilakukan presiden Jokowi terkait dengan kuota haji bisa dikatakann bijaksana. Namun, alangkah bijaknya jika presiden turut pula berupaya membenahi karakter dari jamaah hajinya. Jika sekembalinya dari haji, seorang muslim berlabel Haji tidak menjadi lebih baik, dan memiliki toleransi yang tinggi, apakah bisa dikatakan ia mendapatkan pesan tersirat dari haji? []
Achmad Zakaria, Kru lpm Idea, Uin Walisongo Semarang