Bagaimana tafsir Al-Qur’an tentang salam khususnya tafsir An-Nisa ayat 86? Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia diciptakan dengan ragam yang berbeda tujuannya adalah untuk saling menganal satu sama lain. Untuk itu perbedaan adalah niscaya, selama perbedaan itu masih dalam koridor tetap terjalinnya tali persaudaraan dan persatuan baik sebagai bangsa maupun sebagai manusia. Komitmen al-Qur’an tentang persaudaraan tidak hanya mewujud dalam semangat gagasan melainkan Islam mendorong menuju tujuan tersebut dalam bentuk laku, diantaranya adalah anjuran untuk mengucapkan salam kepada siapapun.
Dalam fiqh disebutkan mengucapkan salam adalah sunnah namun menjawabnya apabila objek salam adalah lebih dari satu orang maka hukum menjawabnya adalah fardhu kifayah (kalau tidak ada yang menjawab sama sekali maka berdosa semua) sementara apabila objek yang disalami adalah satu orang maka menjawabnya adalah fardhu ‘ain (harus untuk dijawab agar tidak berdosa). Dalam al-Qur’an QS. An-Nisa’ dijelaskan bagaimana aturan dalam menjawab salam. Al-Qur’an menyebutkan;
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Artinya: “apabila kamu diberi penghormatan dengan sebuah penghormatan, maka balaslah penghormatan tersebut dengan yang lebih baik, atau minimal dengan yang sepadan. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” ( QS. Al-Nisa’ [3]: 86)
Muhammad ‘Abdul Mun’im Jamal menjelaskan bahwa kata tahiyyah merupakan masdar dari kata hayâ yahyî yang merupakan bentuk doa untuk seseorang agar senantiasa berjalan dengan baik hidupnya. Ketika Islam menggunakan salam dengan redaksi assalamu’alaikum lengkapnya assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, hal ini menandakan bahwa kampanye Islam adalah tentang kedamaian, keselamatan, dan keamanan (,Tafsîr Al-Farîd Li Al-Qur’an Al-Majîd, Vol. 2, h. 86). Hal ini juga disampaikan oleh Al-Ashbihani, sebagaimana dikutip oleh Al-Biqâ’î dalam Nadzm Al-Durar Fî Tanâsub Al-Âyât wa Al-Suwar, yang menyebutkan bahwa kata tahiyyah adalah bentuk sikap memuliakan orang lain bahkan segala bentuk pemuliaan yang lainnya masuk dalam kerangka kata tahiyyah.
Burhanuddin Al-Biqâ’î menjelaskan analisisnya yang menarik, mengapa ayat ini disebutkan beriringan dengan ayat tentang peperangan. Menurutnya, hal tersebut menunjukan bahwa orang yang telah menyampaikan salam (mendoakan keselamatan bagi kita) tidak diperkenankan untuk disakiti bahkan meskipun dalam keadaan berperang. Singkatnya, menyampaikan salam adalah sedang mengkampanyekan kedamaian dan persaudaraan. Sudahkah salam kita mencitrakan tentang perdamaian, atau hanya baru dimulut saja?
Dalam pemahaman dari sebagian kita, menjawab salam dari saudara non-muslim memiliki redaksi yang berbeda dari redaksi yang biasa digunakan untuk menjawab salam sudara yang muslim. Landasan yang mereka gunakan adalah hadis Nabi yang menyebutkan “idza sallam ‘alaiku ahlul kitab faqȗlȗ wa’alaikum” (ketika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah dengan “wa’alaikum”). Menyikapi hal ini, Imam Al-Thabari, sebagaimana dikutip oleh Ibnu ‘Arabî dalam, menyebutkan: jwaban yang sepadan ditujukan untuk menjawab salam saudara yang non-muslim, sementara jawaban yang lebih baik ditujukan kepada saudara sesama muslim (Ahkâm Al-Qur’an: 1988, Vol. 1, h. 590). Artinya apabila salamnya menggunakan redaksi assalamu’alaikum jawaban sepadannya adalah wa’alaikumussalam dan jawaban yang paling baik adalah wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Al-Thabari justru menjelaskan tidak sebagaimana tersebut didalam hadis sebagaimana dipahami oleh sebagian masyarakat kita. Meskipun pandangan Al-Thabari juga masih menyisakan pertanyaan penting karena masih memilah untuk membedakan seseorang berdasarkan agama. Lantas apa yang mendasari Al-Thabari berani untuk menyampaikan pandangannya tersebut dan mengapa Al-Thabari masih membedakan seseorang berdasarkan agamanya dalam menjawab salam, tepatnya dalam mendoakan seseorang.
Imam Taufiq memiliki klarifikasi yang bagus dalam hal ini. Menurutnya, penafsiran tersebut terjadi dalam kondisi hubungan agama yang penuh curiga. Sebagai contoh yang menarik adalah Al-Sya’bi yang berani untuk melangkah lebih jauh dengan keluar dari rasa curiga tersebut. Ia pernah menjawab salam dari non-muslim dengan redaksi yang sempurna, yakni wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Meskipun mendapat kritikan, ia menjawab dengan jawaban yang menarik, “bukankah setiap manusia hidup didalam rahmat Allah?” (Imam Taufiq: 2016, 206-207).
Untuk menjawab hadis diatas, Imam Taufiqi menggunakan pendekatan dua hadis, pertama, orang-orang yahudi yang mendoakan Nabi dengan kehancuran. Kedua, ketika Nabi datang kepada orang-orang Yahudi yang memusuhi Nabi (tidak semua orang Yahudi pada waktu itu memusuhi Nabi, pen.). Dengan mengutip pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauzi, Imam Taufiq menyatakan bahwa tidak mengucapkan salam atau menjawab dengan redaksi yang singkat adalah terjadi dalam kondisi tertentu dan tidak bisa digunakan dalam setiap kondisi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Syi’bi, Islam mengajarkan dan mendorong untuk mengucapkan salam kepada siapapun dan menjawabnya dengan sebaik mungkin tanpa mempermasalahkan status agama, sosial, dan latar belakang lainnya.
Sebagai penutup, dengan salam, Islam adalah agama yang mengkampanyekan perdamaian, persaudaraan, persatuan, kemanusiaan, toleransi, dan kasih sayang. Islam tidak membedakan perbedaan yang sudah menjadi keniscayaan Allah menciptakan manusia yang berbeda-beda. Abdul Karim Al-Khatib dalam Tafsir Al-Qur’ani li Al-Qur’an menyebutkan bahwa tahiyyah adalah hak dari hak-hak yang harus ditunaikan, baik dalam bentuk menyampaikan salam maupun menjawabnya. Bahkan sangat dianjurkan untuk menjawab dengan jawaaban yang lebih baik dan lebih sempurna. Wallahua’lam bishshawab.
A. Ade Pradiansyah, penikmat kajian tafsir al-Qur’an.