Di masa kampanye Islam sepertinya telah jadi barang dagangan. Seperti nasionalisme, demokrasi, marhaenisme, begitulah Islam—agama yang kita yakini sebagai penyelamat dunia-akhirat—dijajakan para politisi negeri ini ke jutaan massa dengan cara mirip taktik marketing promotion.
Sebulan lalu, di depan kurang lebih seribu massa simpatisan, pemimpin salah satu partai berasas Islam berkampanye sambil membagi-bagikan rupiah dengan syarat mampu menjawab tiga pertanyaan kuis: doa hendak tidur, makan, dan masuk kamar mandi.
Di negeri tetangga, seorang pemimpin partai Islam bahkan berseru lantang, “Pilih partai kami niscaya masuk surga!” Mendengar itu, seorang mantan penguasa dari partai yang berbeda gusar dan balik bertanya, “Jika itu benar, saya bertanya, kapan ia pergi ke surga dan melihat orang-orang yang memilih berada di sana?”
Di sini sebagian orang pun gusar. “Ini politisasi agama, menjual Islam demi kepentingan politik kekuasaan!” protes mereka. Yang lain berkomentar sebaliknya, “Itu bukan politisasi agama, apalagi memperjualbelikannya. Itu ekspresi umat yang yakin bahwa Islam adalah agama dan negara.”
Saya mungkin termasuk orang yang gusar. Gusar, justru untuk bertanya, apa benar Islam tak boleh diperjualbelikan untuk kepentingan tertentu? Sebagian kita mungkin yakin, apapun alasannya, jual beli agama haram. Landasannya jelas, lâ tasytarû biâyâtî tsamanan qalîla, jangan memperjualbelikan ayat-ayat Tuhan dengan harga yang murah (al-Baqarah [2]: 41).
Saya belum merasa sampai pada kesimpulan itu: Islam tak boleh diperjualbelikan. Saya memahaminya hanya sebagai batasan moral-etis al-Quran untuk tak menjadikan Islam seolah barang murahan (tsaman qalîl), termasuk memanfaatkannya demi sesuatu yang pragmatis, berjangka pendek, bertentangan dengan prinsip etis kemanusiaan, dan merusak kemaslahatan hidup manusia.
Makna ats-tsaman al-qalîl itu tentu agak berbeda dengan pendapat beberapa ahli tafsir yang memaknainya sebagai ad-dunyâ bihadzâfirihâ, dunia dan segala pernak-perniknya. Artinya, apapun alasannya, agama dan ayat-ayat Tuhan tak boleh diperjualbelikan untuk kepentingan hidup manusia. Pertanyaannya, lantas apa guna agama jika tak bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup? Jika Islam diyakini agama yang komplet, memberi panduan dari hal yang besar hingga yang remeh, mengapa untuk urusan penggerak roda kehidupan, justru tak diberi ruang sedikit pun?
Lalu apa ini berarti agama bisa diperjualbelikan asal bukan untuk yang tsaman qalîl? Bagi saya, ketika Islam dimanfaatkan untuk sesuatu yang, saya menyebutnya tsamanan katsîra, justru ia betul-betul menjadi agama yang luhur, bermanfaat bagi kehidupan umat di dunia. Memanfaatkannya untuk sesuatu yang tsaman katsîr, artinya memanfaatkan Islam demi tujuan yang sifatnya strategis, berjangka panjang, dan mendukung tegaknya prinsip kemanusiaan seperti kejujuran, keadilan, serta kesejahteraan.
Tidakkah itu berarti saya membenarkan sikap mereka yang nyata-nyata menjual agama demi politik kekuasaan? Entahlah… Jikapun saya gusar dengan itu, kenyataannya toh agama memang bisa diperjualbelikan. Tak hanya para aktor politik, tapi juga kita yang bukan mereka, melakukannya. Tak sedikit dari kita yang meski tak ridho agama diperdagangkan, justru yakin betul dengan jual beli rumah islami, busana islami, teknologi islami, dan entah apalagi, adalah kewajiban agama. Bukankah itu sama dengan memperjualbelikan agama?
Kini, persoalannya mungkin bukan pada halal-haramnya jual beli itu. Tapi, pada kejelian kita menilai, di mana Islam dimanfaatkan untuk kepentingan yang tsamanan qalîla atau yang tsamanan katsîra. Ya, bagi saya, pada kita sendiri jawabannya. Sebab, jual beli terjadi tentu tidak hanya karena ada penjual, tapi juga ada pembeli. Dan kitalah pembeli itu, pembeli yang bebas untuk memilih: membeli atau tidak. []
Tulisan ini dimuat di majalah Syirah edisi April 2004 bertajuk “Juali-Beli”