Setelah lama berfikir, saya memilih judul “Menyalibkan Gus Dur Memerdekakan Bangsa,” dalam menanggapi buku fenomenal “Menjerat Gus Dur,” karya Virdika.
Aula KH. Yusuf Hasyim Lt.3 penuh sesak oleh peserta diskusi, Kamis, 20 Februari. Acaranya molor hingga dua jam. Khas pesantren, kata Virdi sembari tertawa.
Saya merasa buku ini adalah karya luar biasa dari anak muda ini. Disusun dengan alur dan bahasa yang runtut dan mudah dicerna. Siapapun harusnya tidak kesulitan membaca dan memahaminya. Itu pun jika mereka tertarik membaca buku bagus tersebut.
“Buku ini bercerita tentang aib seseorang yang sangat kita hormati. Aib harusnya ditutupi. Bukan diumbar secara demonstratif. Itu sebabnya saya heran, kenapa kalian begitu tertarik dengan aib ini?” tanyaku pada peserta.
Gus Dur tidak dijerat, hematku. Ia lebih tepatnya disalib beramai-ramai oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Salib adalah hukuman paling menghinakan dalam sejarah. Begitu pula diturunkan di tengah jalan, beramai-ramai, sebagai presiden Republik Indonesia.
Seperti halnya Yesus yang juga disalib, pelengseran Gus Dur sangat menarik untuk dijadikan perenungan. Penyaliban Yesus diimani sebagai momentum ia tengah melakukan penebusan dosa. Ia menderita demi umat manusia.
Gus Dur kalah dalam perang politik. Namun bukan itu pesan yang ingin ia sampaikan. Melainkan, ia seperti ingin agar sejarah mencatat pelengserannya sebagai upaya serius seseorang yang punya jabatan untuk menggunakannya demi kepentingan publik, bukan malah sibuk bertransaksi menyelamatkan diri dan golongannya.
Gus Dur terjengkang karena ia dengan heroik tak mau berkompromi terhadap kelompok Islam politik yang menginginkan negeri ini diatur menggunakan formalisme Islam. Ia menolak benegoisasi dengan orang-orang yang terindikasi korupsi dan pelanggar HAM. Dan ia hancur lebur karena berupaya kuat mendorong supremasi sipil atas militer.
Menurutku, ada 3 model pengagum Gus Dur ketika membaca buku ini. Pertama, mereka dan geregetan terhadap para pelaku kekerasan politik terhadap Gus Dur namun lupa merenungkan kenapa GD disalib beramai-ramai saat itu. Kedua, ada jenis orang yang menganggap intrik politik seperti ini sebagai hal biasa dan –bahkan– memungutnya sebagai strategi untuk digunakan kepada yang lain demi kepentingan politik personal dan golongannya. Dan ketiga, sekelompok orang yang mengenang kesyahidan (martyrdom) GD dengan cara mengampuni para penyalibnya dan meneladani mimpi dan visinya.
Kita bisa memilih mana yang kita nyaman di dalamnya, dengan konsekuensi masing-masing. Bagi para penggerak di Jaringan GUSDURian, penyaliban Gus Dur dari kursi kepresidenan semakin mempertebal keyakinan untuk meneruskan perjuangannya yang belum usai. Gus Dur kini merepresentasikan diri menjadi 9 nilai yang diimani mereka.
Gus Dur memang kalah total dalam perang melawan oligarki saat berupaya memerdekakan bangsa ini. Ia telah meletakkan keyakinan bahwa penyalibannya tidaklah sia-sia, meski ia kalah dan harus keluar dari istana bercelana pendek, dengan pedenya.
“Menurut filosof Perancis, Jean-Luc Marion, A llah itu mahakuasa justru ketika Dia tidak ada, kalah. Kata Jean-Luc Marion,” kataku, tak peduli peserta diskusi memahaminya atau tidak.
Dalam doktrin al-Quran, ketika ada perwira gugur di medan laga, ia sebenarnya tidaklah mati. Melainkan, ia sedang berada di samping Allah bergelimang kemuliaan sembari memanggil yang masih hidup agar mengikuti jejaknya.
Gus Dur sedang memanggil kita. (*)