Merasa punya banyak penggemar, gak pake lama Felix Siauw langsung curhat di akun Face Book-nya tanggal 25 Juni 2019 perihal pembatalan acara pengajian yang bakal diisinya di Masjid Fatahillah Balaikota Jakarta. Kalimat pertama yang meluncur, menuduh pihak-pihak yang menolak pengajiannya sebagai pembenci.
Kata Felix begini, “Saya nggak tahu, seberapa bencinya orang-orang dibalik pembatalan kajian-kajian saya 2 tahun terakhir ini. Dan marak-maraknya sebelum pilpres. Saya pikir akan reda setelah pilpres ternyata nggak juga. Dan fitnah yang dituduhkan juga itu-itu saja, diulang-ulang dan tak pernah terbukti.”
Saya memahami beban psikologis Felix sebagai anggota Hizbut Tahrir dimana saya dulu pernah selama 10 tahun menjadi bagian integral Hizbut Tahrir, 7 tahun menjadi ketua HTI di propinsi, yang harus mengadopsi apa saja yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir berupa pemikiran, analisa politik, opini hukum fiqih dan aturan administrasi organisasi, tanpa memandang besar atau kecil, sedikit atau banyak, kuat lemah, valid atau hoaks, masuk akal atau tidak, baik atau buruk. Saya juga mengerti betapa Felix seorang figur publik andalan HTI untuk merekrut generasi milineal harus taat dan tsiqah tanpa syarat kepada kepemimpinan Hizbut Tahrir.
Tekanan sistem organisasi HTI membuat Felix tidak berkutik. Felix sangat paham akan hal tersebut sehingga dia menjaga diri dari mengucapkan dan mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat HTI, termasuk soal Pancasila, UUD 45 dan NKRI.
Fakta seperti Felix ini ternyata sudah menjadi fenomena di dalam sebuah sistem organisasi politik. Hannah Arenth (1985) pernah melakukan observasi mendalam tentang Letkol. Adolf Eichman seorang SS NAZI yang dituntut di pengadilan Israel karena melakukan kejahatan perang. Dia bertanggungjawab mendeportasi 6 juta Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi di seluruh Eropa. Selama 16 minggu Arenth mencermati jalannya persidangan. Jawaban, ekspresi dan bahasa tubuh Adolf Eichman diperhatika Arenth dengan seksama. Arenth juga membaca catatan masa lalu Adolf Eichman. Menurut Arenth, Adolf Eichman bukanlah seorang monster pembunuh berdarah dingin yang anti Semit. Kejahatan yang dilakukan bukanlah pembawaan kepribadiannya.
Arendth melihat struktur totaliter NAZI dimana Adolf Eichman berada di dalamnya telah melumpuhkan akal sehat dan hati nuraninya. Ia kehilangan kemampuan berpikir kritis dan takut mengambil keputusan yang sesuai dengan suara hatinya yang paling dalam. Dari fenomena ini Arenth mengemukakan teori banalitas kejahatan. Banalitas kejahatan adalah situasi sosial politik dimana kejahatan “dianggap” biasa karena seseorang berpandangan dangkal dalam berpikir dan menilai suatu hal. Banalitas kejahatan akibat seseorang gagal berdialog dengan dirinya sendiri. Kegagalan ini berimbas kepada sikap menyalahkan orang lain dalam kegiatan politik. Organisasi politik baik partai maupun negara yang bersifat totalitarianisme akan menghasilkan banalitas kejahatan.
Meskipun kita mafhum bahwa Felix adalah korban totalitarianisme HTI, tuduhan-tuduhannya kepada pihak-pihak yang dianggap membatalkan acara kajiannya perlu kita klarifikasi karena tuduhan-tuduhan tersebut salah secara keseluruhan. Pembatalan acara kajian Felix bukan lahir dari kebencian pribadi sebab pihak-pihak tersebut tidak mengenal Felix secara pribadi. Kosa kata cinta dan benci tidak tepat dalam konteks ini.
Permintaan pembatalan tersebut sesungguhnya muncul dari rasa cinta terhadap NKRI, perasaan berkewajiban untuk menjaganya dan tanggung jawab sejarah atas amanah kenegaraan dan kebangsaan yang diwariskan oleh ulama terdahulu, yang dengan keikhlasan dan pengorbanannya mendirikan satu negara Indonesia. Ulama terdahulu dan sekarang berpendapat Indonesia adalah darul Islam dan NKRI ajaran Islam.
Sebaliknya Felix dan HTI yang diikutinya berpandangan bahwa NKRI darul kufur sebab itu harus di-khilafah-kan, itupun khilafah versi HTI yang notabene bukan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah melainkan khilafah ‘ala minhajin nabhaniyah yaitu khilafah menurut pendapat fiqih Taqiyuddin an-Nabhani. Fakta Felix berjuang bersama HTI untuk meng-khilafah-kan Indonesia itu fakta yang sudah terang benderang seterang matahari di tengah siang. Itu bukan fitnah. Justru kalau dikatakan Felix bersama HTI sedang mempertahankan NKRI, ini baru fitnah.
Di akunnya, Felix menggiring opini publik seolah-olah pihak-pihak yang ingin acaranya batal sebagai anti Islam. Kata Felix, “ketika da’i dihalangi dari masjid, kajian-kajian dipersekusi, tapi marah ketika dikatakan bahwa mereka anti Islam”.
Tentu saja marah karena mereka itu muslim sejak dari kandungan ibunya, berbeda dengan Felix yang baru masuk Islam setelah aqil baligh (waktu kuliah). Mereka sudah shalat, puasa dan khatam al-Qur’an sebelum baligh, sedangkan Felix ketika usia itu dalam asuhan pastur katolik.
Tapi sangat miris, Felix menulis di akunnya, “Tak apa, saya bangga ketika saya harus ditolak sebab ide Islam yang saya bawa. Bukan ditolak sebab akhlak, atau pribadi saya yang menyalahi syariat. Difitnah bahwa Khilafah menyalahi Pancasila, juiga terhormat. Sebab menunjukkan tingkat pemahaman mereka. Alhamdulillah bukan Alim yang menolak.”
Ide Islam yang dimaksud Felix yaitu ide-ide yang diadopsinya dari Hizbut Tahrir. Ide-ide Hizbut Tahrir sendiri sudah banyak dikoreksi, dikritik, disanggah dan dibantah oleh ulama bahkan oleh ulama Hizbut Tahrir kaliber internasional yang kemudian membuat mereka pergi meninggalkan Hizbut Tahrir seperti Syaikh Umar Bakri Muhammad (perintis HT di Arab Saudi dan Inggris), DR. Samih Athif Az-Zain (murid langsung Taqiyuddin an-Nabhani), Syaikh Bakri Salim Khawalidah (ulama paling cerdas di lajnah tsaqafiyah HT pusat), Syaikh Abdurrahman al-Baghdadi (pembawa Hizbut Tahrir ke Indonesia), Syaikh Mahmud Abdul Lathif Uwaidhoh (ahli hadits dari lajnah tsaqafiyah HT pusat).
Ulama HT tingkat dunia yang kemudian keluar dari HT selanjutnya: Syaikh Abul Hasan al-Ansari (ulama Kuwait murid langsung Taqiyuddin an-Nabhani), Hassan al-Fhaahi (Jubir HT Kuwait), Syaikh Abdul Rahman al-Okabi (Mu’tamad / Ketua Umum HT Palestina), Abul Ezz Abdul Salam (Jubir HT Palestina), Prof. Ridla Belhaj (Jubir HT Tunisia), DR. Naseem Ghani (Mu’tamad / Ketua Umum HT Bangladesh dan Inggris). Jilani Gulam (anggota DPP HT Inggris), DR. Reza Pankhurst (anggota DPP HT Inggris), Abu Hamada (anggota DPP HT Yordania), dan masih banyak lagi ulama dan pengurus HT internasional yang meninggalkan Hizbut Tahrir. Di samping itu ulama di luar HT juga sudah banyak menkoreksi, mengkritik, menyanggah dan membantah ide-ide HT yang dibanggakan oleh Felix tersebut.
Yang menggelikan statemen Felix … “Bukan ditolak sebab akhlak, atau pribadi saya yang menyalahi syariat.” Felix merasa sudah berakhlak baik dan berkepribadian yang sesuai syariat. Perasaan geer yang tidak sepantasnya ada dalam diri seorang muslim apalagi sampai terucap ke publik. Muslim yang berakhlak baik itu yang bersifat tawadlu’ bukan tinggi hati merasa sudah berakhlak baik. Secara kepribadian, dengan dakwah khilafah di wilayah NKRI, Felix melakukan kegiatan bughat yang sangat tercela menurut timbangan syariat.
‘Ala kulli hal, kurang elok jika semua kesalahan ditanggung Felix seorang tanpa melihat HTI sebagai lingkungan politik tempat Felix beraktivitas. Felix tidak lebih sebagai korban dari totalitarianisme HTI. Gejala banalitas kejahatan terdapat pada semua syabab HTI. Hanya saja Felix yang terekspose.
Bandung, 26 Juni 2019