Bisakah perempuan muslim Indonesia tetap 100% Indonesia lahir batin?
Budaya Arab memiliki pengaruh kuat pada masyarakat muslim non Arab dalam mengidentifikasi dirinya. Arab menjadi kiblat gaya hidup islami. Nama Arab, bahasa Arab, dan pakaian Arab diyakini memiliki nilai religus. Literatur Arab menjadi rujukan utama dalam bangunan keilmuan muslim, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi. Lagu-lagu berbahasa Arab juga kerap diperlakukan sebagai lagu Islami meskipun berisi roman picisan.
Hal yang sama terjadi pada budaya Barat. Barat dipandang sebagai kiblat gaya hidup modern. Penggunaan nama yang berbau Barat, cara berpakaian, gaya pergaulan Barat, dihayati sebagai sesuatu yang modern. Literatur berbahasa inggris pun menjadi rujukan utama dalam sekolah dan perguruan tinggi yang dianggap modern. Jika kelompok “Islami” gemar menggunakan panggilan akhi dan ukhti, maka kelompok “modern” memilih panggilan bro (brother) dan sis (sister). Secara literal kata ukhti berarti sister dan kata akhi berarti brother.
Muslim Indonesia bukanlah orang Arab maupun Barat. Untuk menjadi Muslim yang kaffah (menyeluruh) kita tidak harus berpenampilah, berpikir, dan bersikap seperti orang Arab. Begitu pula untuk menjadi orang modern kita tidak harus berpenampilah, berpikir, dan bersikap seperti orang Barat. Kita bisa menjadi perempuan muslim yang kaffah dan modern, dan pada saat yang sama kita bisa tetap 100% Indonesia lahir batin. Kita bisa tetap memanggil mbak-mas, aa-teteh, dan panggilan lain tanpa mengurangi keislaman dan kemodernan kita.
Fenomena Arab
Pada satu kesempatan berkunjung ke Ma’lulah, sebuah kawasan kristen Ortodoks di Syiria yang terbuka untukk turis, penulis terperanjat membaca kaligrafi Arab tepat di atas gerbang masuk gereja yang berbunyi Rabbana Taqabbal minna Shalatana (ya Tuhan kami, terimalah shalat kami). Ini adalah doa yang sangat populer di kalangan umat Islam. Kaligrafi Arab yang biasa menghiasi masjid-masjid di Indonesia juga menghiasi dinding-dinding ruangan misa. Kitab Injil mereka yang berbahasa Arab terlihat seperti Al-Qur’an, kidung pujian berbahasa Arab yang mereka senandungkan pun terdengar seperti alunan shalawat.
Tidak kalah menariknya adalah suasana bioskop tempat film-film diputar di salah satu negara Arab ini. Penulis melihat satu poster film dewasa yang disertai dengan tulisan Arab. Rasanya tidak sinkron tulisan Arab untuk gambar seperti itu. Ketika masuk ruang pemutaran film pun penulis temukan penonton pria yang memakai gamis putih dipadukan dengan sorban, dan beberapa penonton perempuan yang bercadar dan berjilbab hitam besar. Usai menonton, penulis menyusuri trotoar kota dan menemukan di pinggir jalan seseorang yang menjual kupon judi, semacam porkas atau SDSB, yang berbahasa Arab. Jadi bahasa Arab juga digunakan untuk berjudi.
Pengalaman ini memberi kesan kuat pada penulis bahwa masyarakat Arab menghayati bahasa dan pakaian mereka sebagai budaya semata, sebagaimana orang Indonesia menghayati bahasa dan pakaian sehari-hari mereka. Bahasa dan pakaian Arab di Negara Arab tidak selalu identik dengan Islam karena umat Kristiani pun menggunakannya. Tidak pula identik dengan hal baik. Singkat kata budaya Arab tidak selalu mencerminkan budaya Islam sebagaimana diasumsikan oleh masyarakat muslim non-arab termasuk Indonesia.
Fenomena Barat
Demikian halnya budaya barat tidak selalu mencerminkan budaya modern yang identik dengan cara berpikir rasional, sikap terbuka terhadap kritik, disiplin, bersih, dan bertanggung jawab. Masih banyak masyarakat di sana yang percaya bahwa angka 13 adalah angka sial. Beberapa bangunan berlantai tinggi tidak mempunyai lantai atau kamar nomor 13. Mereka menggunakan bahasa Inggris tidak hanya untuk hal-hal yang bersifat ilmiah, melainkan juga untuk menggosipkan hal-hal remeh lainnya. Beberapa sudut kota juga terlihat kotor, banyak pengemis dan gelandangan.
Masyarakat Barat sebagaimana masyarakat lainnya juga ada yang baik dan jahat, ada yang rasional dan irasional, ada yang bersih dan jorok, ada yang bertanggung jawab dan tidak. Singkat kata budaya Barat tidak selalu mencerminkan budaya modern sebagaimana diasumsikan oleh masyarakat Timur, termasuk Indonesia.
Kearifan Islami
Sementara itu budaya Indonesia yang tidak diasumsikan sebagai budaya Islam memiliki kearifan yang sangat islami. Misalnya sikap menghargai perempuan. Budaya Indonesia memungkinkan laki-laki dan perempuan saling bekerja sama, baik di dalam rumah maupun di tempat kerja. Demikian halnya budaya Indonesia yang tidak diasumsikan modern pun memiliki nilai nilai yang sejalan dengan modernitas. Misalnya tradisi musyawarah yang menjadi hal penting dalam konsep demokrasi modern. Sampai di sini kita dapat menyimpulkan bahwa budaya Arab tidak selalu mempresentasikan Islam, sebagaimana budaya Barat tidak selalu merepresentasikan budaya modern. Sebaliknya budaya Indonesia bisa merepresentasikan budaya Islam dan budaya modern.
Seratus persen Indonesia
Budaya Islam dan budaya modern sesungguhnya dapat dipahami sebagai sebuah budaya yang membangun sikap memanusiakan setiap manusia dengan segala keunikannya. Dalam ql-Qur’an Surat al-Hujurat, Allah menyuruh umat manusia untuk menghormati perbedaan jenis kelamin, suku, dan bangsa dengan cara saling mengenali. Ayat ini juga menegaskan bahwa Allah tidak mau istimewakan jenis kelamin, suku, dan bangsa apapun karena semuanya sama dimata Allah dan yang membedakan mereka hanyalah ketakwaan.
Ayat di atas menjadi dasar rumusan bahwa jati diri seorang muslim adalah ketakwaan yakni sikap konsisten untuk beriman kepada Allah dan berbuat kebaikan pada makhlukNya. Perempuan muslim modern tidak perlu ke arab-araban maupun ke barat-baratan. Mereka bisa tetap 100% Indonesia lahir batin sepanjang memelihara ketaqwaannya. Indikasinya adalah menggunakan kemampuan panca indra, hati, dan akal secara bertanggung jawab sehingga mampu memelihara hubungan dengan Allah sebagai hamba yang baik, juga mampu melihara hubungan dengan makhlukNya sebagai Khalifah fil Arld dengan baik.
Tulisan ini dimuat pertama kali di Majalah Noor, Special Edition, Januari 2014.