Sudah beberapa withhari timeline berisi hujatan kepada orang-orang yang tampil norak di MRT. Ada yang mengunggah foto kelakuan norak itu di media sosial sambil menghujat, nyinyir, dan ngeledek.
Semalam saya menemukan di antara hujatan itu ada yang melabeli “monyet” untuk foto orang yang bergelantungan di MRT & menaiki dudukan, dan “babi” untuk yang makan di stasiun beramai² sambil meninggalkan sampah di sana.
Semua itu mengerucut ke satu makian khas masyarakat kelas menengah urban di sebuah negara berkembang: “Dasar, Kampungan!”
Makian “kampungan” itu punya arti peyoratif. Kata ganti yang kerap dipakai itu “udik” (baca: nDeso). Tidak ada yang bermakna positif.
Iya, saya adalah orang kampung di sebuah kabupaten paling utara di tanah Jawa. Jika ada tetangga yang meninggal, orang² kampung macam kami ini mendoakan mendiang selama tujuh hari, tanpa perlu undangan, bahkan sampai hari ke-40, ke-100, setahun, hingga ke-1000 hari kematian.
Di kampung, tempat kami tinggal, sudah lazim pintu dapur diketok karena tetangga pingin minta garam barang sejumput-dua. Atau mereka meminjam kopi, gula, merica, dan beras barang seliter-dua.
Jika ada tetangga yang nikah, kami ikut “rewang” dan “mlandang”. Kalau ada yang lagi bikin rumah, kami kerap datang sekadar membantu, ikut berkeringat seperti tukang batu. Tradisi ini kami sebut dengan “sambatan”, gotong royong membantu tetangga tanpa dibayar.
Jika ada tetangga yang masuk rumah sakit, atau ada kabar Bapak Anu sudah sakit selama seminggu, kuping langsung gatal mendengar kabar itu dan segera membawa buah, amplop, atau hasil bumi dan langsung menjenguk. Ketemu mereka, kami mendoakan, dan memotivasi agar tegar: “InsyaAllah lekas sembuh, njih, Pak.”
Setiap dua minggu sekali saya ke Jakarta. Dalam sebulan, saya pergi ke beberapa kabupaten yang berbeda² baik di Jawa maupun Sumatera barang sekali-dua. Saya adalah orang asing (Jawa: liyan) bagi semua tempat itu, tapi saya mendapatkan kehangatan yang berbeda.
Malaysia dan Singapura juga bukan negara asing bagi saya. Paspor saya pernah berstampel imigrasi dari dua negara itu sebanyak 12 kali dalam tiga tahun terakhir. Di sana, orang-orang yang berlalu-lalang di MRT saling sibuk dengan dirinya sendiri. Jarang ada percakapan. Kerap mereka bercengkerama dengan gawai & smartphone masing-masing, padahal di kanan-kirinya ada manusia.
Di Jakarta saya sering naik Trans Jakarta. Tidak sekali-dua saya melihat mobil di sebelah kanan/kiri kami yang dikendarai satu orang (padahal cukup jika ditumpangi lima orang lagi), sedangkan di Trans Jakarta kami berdesak-desakan.
Jika peristiwa ini terjadi kampung, pengendara mobil akan menawarkan kami tumpangan saat di lampu merah, atau di sebuah pemberhentian. Tidak perlu berdesak-desakan.
“Pada mau kemana, kok, berjejalan begitu? Sini saya beri tumpangan.”
Di kota-kota besar, manusia berpapasan dengan manusia, tapi tidak ada yang saling sapa. Di kampung kami, berpapasan orang itu harus memberi kehangatan, kendati berupa simpul senyum, barang sebaris saja. Bahkan kepada orang yang bukan tetangganya.
Jadi saya yakin ketika masyarakat beradab kelas menengah kota menghina perilaku norak di MRT dengan “kampungan”, mungkin yang mereka maksud itu menunjukkan cara yang beradab di MRT bagi kita semua, warga² kampungan.
Peradaban mereka ini sudah “ultimate”, kalau anak Jakarta Selatan bilang. Oleh karenanya makian binatang itu adalah peradaban yang mulia. Saya yakin betul mereka sudah di atas masyarakat Singapura dan Malaysia.
Pernah suatu ketika saya di Singapura menaiki moda transportasi umum. Lima menit menduduki kursi, bus ini berhenti. Puluhan anak bau kencur berseragam SD & SMP masuk bersama guru mereka serapi barisan semut.
Di dalam bus, guru menjelaskan etika (manner) menaiki moda transportasi umum: dari cara masuk, di mana harus duduk, bagaimana ketika ada orang prioritas di sekitar mereka, apa yang seharusnya dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
Hongkong dan Perancis, dua negara yang sudah bertahun-tahun punya MRT, sampai sekarang masih menyalakan announcement perilaku di moda transportasi umum. Dan kampanye etika ini masih diproduksi da dipublikasikan hingga sekarang.
Masak negara maju kurang percaya dengan peradaban ber-MRT warga negaranya sendiri, sih? Sampai harus berkampanye etika setiap hari?
Kalah, dong, sama warga negara DKI yang baru tiga hari punya MRT sudah langsung jadi ultimate, yang ngelihat orang-orang kampung kayak babi dan monyet.