ERK, Efek Rumah Kaca. Saya mengenal band satu ini sebagai band yang memegang teguh prinsip EYD dalam setiap liriknya. Menempuh jalur indie, band yang memiliki 4 personel ini dibentuk di Jakarta dan mengeluarkan album pertamanya di tahun 2007. Cholil Mahmud, Adrian Yunan Faisal, Poppie Airil, dan Akbar Bagus Sudibyo. Keempatnya berhasil mencitrakan diri sebagai band yang menyentuh dan memotret keadaan masyarakat di semua lapisan di sekitar mereka.
Malam itu, untuk pertama kalinya saya saya melihat Cholil ERK secara live untuk pertama kalinya. Diundang oleh Komuji (Komunitas Musisi Mengaji) chapter Jakarta dalam gelaran “Piknikustik; Indonesia Tempatku Bersujud”, Rabu, 28 Agustus. Cholil tampil sendirian tanpa personil band yang lain. Ia hanya membawa seorang peniup terompet. Cholil datang atas undangan dari Kikan Namara, Founder Komuji Chapter Jakarta. Selain itu juga karena menurutnya kajian di Komuji terasa asik dan bisa menjadi rumah kajian bagi siapa saja.
Komunitas Musisi Mengaji Chapter Jakarta memang biasa mengadakan event kajian yang juga diselingi pagelaran musik. Malam itu yang mengisi kajian ialah Savic Ali, anak muda Nahdhiyyin yang fokus di bidang media online. NU Online dan Islami.co adalah beberapa media yang berhasil ia lahirkan. Kajian juga diisi oleh Nur Dhania, seorang perempuan muda deportan yang pernah hijrah ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS dan memilih kembali ke Indonesia setelah sadar bahwa ia sebenarnya telah tertipu oleh slogan janji manis negeri ideal yang sebenarnya semu belaka.
Cholil tampil di penghujung acara. Lagu yang dipilih untuk ia bawakan ialah debu-debu beterbangan. Saya tidak tahu bagaimana latar belakang Cholil dan kawan-kawan ketika menciptakan lagu tersebut, tapi yang saya rasakan lagu ini benar-benar memberikan sensasi spiritualitas yang sangat tinggi bagi saya.
Sesungguhnya, saya adalah orang yang jarang tersentuh secara spiritual ketika mendengarkan musik jika kita menganggap bahwa musik yang menciptakan gairah spiritual adalah genre musik yang dinamai oleh orang-orang sebagai “lagu religi” semacam nasyid dan lain sebagainya.
Mendengarkan petikan gitar Cholil, saya merasa digiring olehnya memasuki dimensi waktu dimana kita benar-benar merasa tersesat
“Demi Masa
Sungguh kita tersesat
Saya pun lantas mengingat betapa banyak apologi yang kita tanamkan dalam dada kita ketika sebenarnya secara sadar kita melakukan sebuah dosa
“Membiaskan yang haram”
Seringkali kalimat sakti ini yang kita jadikan sebagai acuan:
“Karena kita manusia”
Cholil juga mampu membuat saya merasa seolah terhisap ke dalam lubang yang ia gambarkan:
“Demi masa
Sungguh kita terhisap
Ke dalam lubang hitam
Karena kita manusia”
Saat itulah kemudian Cholil menggambarkan bahwa kita hanya akan bisa menyesal, merugi, dan tak bisa bersembunyi. Hingga, saya pun mempertanyakan apa yang Cholil pertanyakan:
“Pada siapa mohon perlindungan?”
Akhirnya, saya tersadar bahwa tak ubahnya diri ini seperti debu-debu beterbangan. Atau jika boleh memilih, sebenarnya saya pengen memilih menjadi debu itu, yang tak perlu mempertanggungjawabkan amal kelak di hadapan Allah.
Terimakasih Cholil, kamu membuat saya pagi ini tidak telat shalat shubuh.