Manusia yang lahir di dunia pastilah di anugerahi oleh Allah dengan rasa cinta, entah itu cinta kepada kedua orangtua, kerabat, sahabat, ataupun lawan jenis. Rasa cinta tersebut tentu saja harus ditempatkan sesuai porsinya. Cinta kepada lawan jenis khususnya, harus disalurkan pada jalan yang telah ditentukan oleh syari’at.
Islam memiliki satu jalan yang dihalalkan untuk mengekspresikan cinta kepada lawan jenis, yaitu lewat pernikahan. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam sebuah pernikahan ialah menuju rumah tangga dengan ketenangan (sakinah) dalam sebuah keluarga.
Kondisi ini diperoleh ketika seseorang telah menebarkan perasaan cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah) antara kedua belah pihak sebagai pendukung tujuan utama. Tujuan lain dari pernikahan adalah, di antaranya, memenuhi kebutuhan biologis, reproduksi, dan ibadah.
Sedangkan, perwujudan mencapai tujuan pernikahan diawali dengan mencari calon suami/istri yang baik. Upaya tersebut bukan sebuah harga mati, tetapi keberadaanya dapat menentukan keharmonisan dalam membangun rumah tangga.
Terkadang, permasalahan yang dihadapi dalam menentukan pasangan hidup adalah kafa’ah yang biasa disebut dengan kufu’atau kesetaraan. Kafa’ah berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding.
Maksud kafa’ah dalam perkawinan yaitu agar laki-laki sebanding dengan calon istrinya, baik secara kedudukan, strata sosial, akhlak, serta ketahanan ekonomi. Tidaklah dinafikkan bahwa taraf sekufu dapat berpengaruh akan kebahagiaan hidup suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Tujuan keseimbangan dan keserasian ini agar calon istri dan calon suami masing-masing tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.
Farhat Ziadeh, seperti dikutip Lynn welchman dalam artikel tentang “A Historiography of Islamic Family Law”, berpendapat bahwasanya “tidak ada kesenjangan sosial di antara pasangan yang ingin menikah. Oleh karena itu, seorang laki-laki boleh menikahi calon wanita pilihanya”.
Contohnya adalah seperti pada abad ke-20, antara anggota Arab Hadrami-asli, mereka membagi dua kubu Sayyid (mengklaim keturunan dari Nabi) dan Non-Sayyid. Pertama-tama, mereka menerapkan prinsip kafa’ah dengan membatasi wanita keturunan sayyid untuk menikah dengan laki-laki sayyid saja, tidak termasuk orang Arab lainya dan juga orang lain.
Lalu, komunitas non-Sayyid merasa keberatan atas dasar prinsip umum kesetaraan dalam Islam, sementara beberapa kasus pada waktu itu menolak wanita dari kalangan komunitas mereka sendiri untuk menikahi wanita non-Sayyid.
Di lain pihak, hukum Islam memberikan standard agar pernikahan itu terjadi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunanya, kecantikanya, dan karena agamanya.
Agama tentu saja sangat ditekankan dalam persoalan memilih jodoh, guna mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Maka, tuntunan kafa’ah ini sebagai unsur pendukung tercapainya tujuan tersebut menjadi krusial.
Masalahnya, ketika faktor agama menjadi unsur utama dalam memilih jodoh, dan dikaitkan dengan kehidupan yang plural dan multikultural seperti sekarang ini, faktor agama saja ternyata belum cukup, sehingga mengandaikan faktor-faktor lain agar menjadi sebuah keluarga bahagia seperti yang diharapkan.
Pada dasarnya, konsep kafa’ah sudah menjadi persoalan sejak dahulu di kalangan para Ulama madzhab, terutama tentang faktor-faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kekufuan seseorang.
Madzhab Hanafi, misalnya, menkonsepkan bahwa keberagamaan, keturunan, profesi, harta dan kemerdekaan menentukan kesepadanan itu. Sementara, madzhab Maliki mengkonsepkan hanya faktor keberagamaan dan bebas dari cacat yang diperhitungkan dalam menentukan konsep kesepadanan. Sedangkan menurut madzhab Syafi’I, faktor keberagamaan, nasab, profesi, dan kekayaan menjadi faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kesepadanan seseorang.
Sepertinya, dalam tradisi masyarakat Indonesia sejauh ini, kafa’ah hanya dimengerti dalam radar agama saja. Ini lain halnya dengan adat budaya yang mempengaruhi konsep kafa’ah, sehingga berkembang tren pernikahan sesuai adat-istiadat, misalnya orang yang bersuku madura harus menikah dengan orang yang bersuku madura juga, atau pada suku jawa dengan jawa, keturunan Arab dengan keturunan Arab, dan sebagainya.
Konon, itu semua dimaksudkan untuk mempermudah proses pengenalan dan proses sosialisasi dalam berbagai hal, baik seperti interaksi antara istri dan suami, serta interaksi antara kedua keluarga besar maupun hubungan dengan lingkungan sekitar dan masyarakat.
Apabila kedua orang yang menikah tidak memperhatikan prinsip kesetaraan, sebuah keluarga dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi. Atau, bisa juga karena faktor psikologi yang akan menganggu, misalnya suami dari golongan berada, sedangkan istrinya dari golongan kurang berada.
Dan, jika kedua belah pihak berkonflik, besar kemungkinan pihak istri yang kurang beruntung secara ekonomi akan mudah di hinakan oleh pihak suami, demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bilamana prinsip kesetaraan dapat dijadikan patokan dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah. Sebabnya, prinsip kafa’ah ini, sekali lagi, memang cukup menentukan seberapa jauh ketahanan sebuah hubungan, meskipun ia juga bukan satu-satunya faktor penentu.
Lagi pula, ketika terjadi kesenjangan dalam sebuah hubungan, maka rentanlah terjadi konflik dalam rumah tangga. Meski begitu, semuanya memang akan kembali kepada pribadi masing-masing, karena cinta sendiri sesuai hati dan tidak bisa dipaksakan, bukan?
BACA JUGA Hal-hal yang Perlu Diupayakan dalam Menikah: Mencari Perempuan yang Bukan Famili Dekat Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini