Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah memprakarsai sebuah kebijakan kontroversial untuk memberikan izin pertambangan kepada organisasi-organisasi keagamaan. Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, secara gamblang menyebut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai salah satu penerima manfaat. Keputusan ini, yang terangkum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 tahun 2024, merevisi undang-undang sebelumnya untuk memungkinkan kelompok-kelompok agama memiliki kontrol yang signifikan atas operasi pertambangan. Banyak yang percaya bahwa kebijakan ini merupakan redistribusi kekuasaan setelah kemenangan calon presiden yang didukung oleh Jokowi pada pemilu Februari 2024, karena PBNU dianggap telah mendukung Prabowo-Gibran.
Meskipun PBNU telah menanggapi peraturan baru ini secara positif, implikasinya sangat memprihatinkan dan beraneka ragam, sehingga menimbulkan risiko besar bagi lanskap sosial-politik Indonesia. Peraturan ini menantang norma-norma dasar pemerintahan Indonesia, yang secara tradisional mempertahankan pemisahan antara pengaruh agama dan urusan negara.
Keterlibatan organisasi keagamaan dalam sektor pertambangan menimbulkan potensi konflik kepentingan, mengingat bahwa pertambangan penuh dengan tantangan lingkungan dan etika, termasuk degradasi lahan, penggundulan hutan, dan penggusuran masyarakat lokal. Kurangnya keahlian PBNU dalam praktik pertambangan yang berkelanjutan menimbulkan pertanyaan serius tentang pengelolaan proyek-proyek ini di masa depan. Risiko salah urus lingkungan hidup cukup tinggi, dan dampaknya dapat menodai reputasi PBNU, yang berpotensi meruntuhkan posisi moral dan etikanya di masyarakat.
Secara ekonomi, manfaat yang disebut-sebut dari kebijakan ini dibayangi oleh implikasi yang lebih luas. Meskipun segmen tertentu di dalam PBNU mungkin akan mendapatkan keuntungan finansial, dampak ekonomi secara keseluruhan terhadap masyarakat lokal dan negara bisa jadi kurang positif. Industri pertambangan terkenal dengan siklus boom-and-bust-nya, dan keuntungannya sering terkonsentrasi di tangan segelintir orang, bukannya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara luas. Dengan menanamkan kegiatan ekonomi ini ke dalam organisasi keagamaan, pemerintah berisiko menciptakan kantong-kantong kekayaan yang terputus dari kesejahteraan masyarakat yang lebih luas, yang berpotensi memperburuk ketidaksetaraan dan ketegangan sosial.
Secara politis, langkah ini sangat strategis, yang tampaknya dirancang untuk mengamankan pengaruh jangka panjang terhadap bidang ekonomi dan politik Indonesia menjelang akhir masa kepresidenan Jokowi. Dengan bersekutu dengan kelompok-kelompok agama yang berpengaruh seperti PBNU, Jokowi tidak hanya memperkuat sekutu yang kuat tetapi juga berpotensi membentuk lanskap politik yang mendukung agenda pemerintahannya dan agenda pribadinya yang lebih luas setelah ia tidak lagi menjabat sebagai presiden pada Oktober 2024. Namun, terjalinnya pengaruh agama dengan kekuasaan negara dapat memiliki konsekuensi yang luas bagi tatanan demokrasi Indonesia, menantang prinsip-prinsip sekuler yang menjadi dasar pendirian negara ini dan mengarah pada pengaburan batas antara nasihat agama dan mandat politik.
Pada kenyataannya, banyak warga NU yang telah menderita akibat sengketa tanah yang terkait dengan pertambangan. Alih-alih menjadi “pemain tambang”, PBNU seharusnya bertindak sebagai pelindung bagi para anggotanya yang terkena dampak. Dengan komitmennya terhadap pelestarian lingkungan melalui Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPBI-PBNU), keterlibatan PBNU dalam pertambangan, yang memperparah bencana alam dan perubahan iklim, tampak munafik.
Keterlibatan ini melemahkan kredibilitasnya sebagai advokat untuk keadilan sosial dan pengelolaan lingkungan hidup dan berisiko mengasingkan dukungan akar rumput dan membahayakan otoritas moralnya. Kontradiksi antara misinya untuk mendukung masyarakat kurang mampu dan mendorong pembangunan berkelanjutan dengan sifat eksploitatif pertambangan menodai reputasi PBNU.
Hal ini membahayakan kepercayaan yang telah dibangun selama beberapa dekade. Bagi sebuah organisasi yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, beralih ke kegiatan yang didorong oleh keuntungan dapat mengikis prinsip-prinsip dasarnya dan mengurangi perannya sebagai pembela ketidakadilan sosial dan lingkungan.
Keputusan tersebut juga menimbulkan masalah hukum dan etika yang signifikan. Keputusan tersebut hampir melanggar Konstitusi Indonesia yang mengatur pemisahan agama dan negara. Kebijakan tersebut dapat menghadapi tantangan karena mengutamakan kelompok agama tertentu di atas kelompok agama lainnya, yang merusak prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Menggunakan organisasi keagamaan untuk memajukan agenda politik negara atau pribadi dapat membahayakan independensi badan-badan ini, yang berpotensi mengurangi kemampuan mereka untuk bertindak sebagai kompas moral dan etika dalam masyarakat.
Selain itu, potensi konflik juga tidak dapat diremehkan. Di daerah-daerah di mana operasi pertambangan akan dibuka, masyarakat setempat yang secara tradisional menentang proyek-proyek semacam itu mungkin mendapati diri mereka menentang bukan hanya perusahaan yang tidak berwajah, tetapi juga entitas keagamaan yang diberdayakan. Dinamika baru ini memperumit strategi protes dan advokasi tradisional dan dapat meningkatkan ketegangan antara masyarakat lokal dan organisasi keagamaan yang baru diberdayakan.
Telaah kritis mengungkapkan banyak risiko yang terkait dengan kebijakan ini. Keterlibatan PBNU dalam pertambangan dapat menimbulkan konflik internal di dalam organisasi itu sendiri, karena prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin keagamaannya dapat bertentangan dengan motif-motif yang didorong oleh keuntungan dari operasi pertambangan. Menyeimbangkan kepentingan-kepentingan ini dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan internal, yang berpotensi melemahkan kohesivitas dan efektivitas organisasi.
Selain itu, kebijakan ini juga menjadi preseden yang berbahaya bagi kelompok-kelompok agama lain di Indonesia. Meskipun PBNU diberikan hak-hak pertambangan, organisasi-organisasi keagamaan lainnya mungkin akan menuntut hak-hak yang sama, yang mengarah pada berkembangnya keterlibatan agama dalam perusahaan-perusahaan komersial. Hal ini dapat semakin mengaburkan batas antara urusan agama dan negara, merongrong tata kelola pemerintahan sekuler Indonesia dan berpotensi menimbulkan favoritisme dan diskriminasi agama.
Selain itu, dampak lingkungan dari pertambangan tidak dapat dibesar-besarkan. Berbagai kegiatan industri telah mengancam keanekaragaman hayati Indonesia yang kaya dan ekosistem yang rapuh. Memasukkan organisasi keagamaan tanpa perlindungan lingkungan yang ketat ke dalam sektor ini dapat memperburuk degradasi ekologi. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan mematuhi standar lingkungan hidup tertinggi untuk mencegah kerusakan permanen pada warisan alam Indonesia.
Secara ekonomi, meskipun kebijakan tersebut dapat menghasilkan keuntungan jangka pendek, konsekuensi jangka panjangnya dapat merugikan. Pendapatan dari sektor pertambangan sangat tidak stabil dan dipengaruhi oleh fluktuasi pasar global. Mengandalkan sumber pendapatan yang tidak stabil seperti itu dapat membahayakan stabilitas keuangan organisasi keagamaan dan komunitas yang mereka layani. Pemerintah harus mempertimbangkan strategi ekonomi alternatif yang mendorong pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan yang adil.
Dari perspektif tata kelola pemerintahan, kebijakan tersebut merusak prinsip-prinsip kesetaraan dan penghargaan terhadap partisipasi organisasi keagamaan yang telah membela dan mengisi keberadaan Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk memberdayakan komunitas-komunitas keagamaan di bidang ekonomi.
Baca juga: Integritas Ormas Keagamaan di Bibir Lubang Tambang
Organisasi keagamaan, pada dasarnya, beroperasi di bawah struktur tata kelola yang berbeda dari entitas komersial. Kurangnya transparansi ini dapat menyebabkan salah urus dan korupsi, yang selanjutnya mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pemerintah. Pemerintah harus membangun mekanisme pengawasan yang kuat untuk melakukan kegiatan pertambangan secara etis dan transparan.
Implikasi sosial-politik dari kebijakan ini sangat besar. Dengan bersekutu dengan organisasi-organisasi keagamaan, pemerintah berisiko mengasingkan kelompok-kelompok sekuler dan minoritas, yang berpotensi meningkatkan polarisasi sosial.
Penduduk Indonesia yang beragam terdiri dari berbagai kelompok agama dan etnis, dan kebijakan yang menguntungkan satu kelompok di atas kelompok lainnya dapat memicu kebencian dan konflik. Pemerintah harus mengadopsi pendekatan inklusif yang menghormati hak-hak dan kepentingan semua warganya.
Keputusan Presiden Jokowi untuk memberikan izin pertambangan kepada organisasi keagamaan merupakan tindakan aneh mengaitkan pengaruh agama dengan keserakahan komersial, yang bisa menurunkan fondasi etika PBNU.Kebijakan ini tidak hanya mengancam untuk membongkar inti sekuler dari demokrasi Indonesia, tetapi juga memperburuk kesenjangan sosial dan mendatangkan malapetaka pada lingkungan. Dengan mengejar keuntungan politik jangka pendek, Jokowi secara terang-terangan mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan tata kelola pemerintahan yang baik.
PBNU, di bawah kepemimpinan Yahya Cholil Staquf, harus mengingat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – mantan Ketua Umum PBNU (1984-1999) dan Presiden keempat Republik Indonesia – untuk tetap berpegang teguh pada prinsipnya pada Muktamar 1984 dengan menolak iming-iming politik praktis yang korosif, yang melunturkan otoritas moral dan tujuannya. Keputusan kebijakan yang tidak dapat diubah ini menandai masa depan yang ditandai dengan perpecahan sosial yang semakin dalam, bencana lingkungan, dan erosi kepercayaan publik yang mendalam terhadap lembaga-lembaga agama dan negara. Kerusakan telah terjadi, dan sekarang bangsa ini harus bersiap-siap untuk menghadapi dampak dari pemerintahan yang buruk ini.
Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Shanghai Jiao Tong University.