Menimbang Kembali Stereotip Poso Sebagai Kota Konflik Agama

Menimbang Kembali Stereotip Poso Sebagai Kota Konflik Agama

Hal yang diberitakan kebanyakan mengenai stereotipe Poso yang merupakan daerah konflik agama. Padahal, ajaran budaya dan keberagaman di Poso mendarah daging dan dijaga oleh budaya.

Menimbang Kembali Stereotip Poso Sebagai Kota Konflik Agama
Salah satu ikon Poso yang terkenal. Pict by Imigrum

Konflik karena kesalahpahaman dan kepentingan di Poso menjalar. Tidak ada yang benar-benar aman saat konflik terjadi. Agama Islam dan Kristen kerap dikambinghitamkan dan diadu domba. Kala itu, 1998-2001 banyak orang terpisah dan kehilangan anggota keluarga, pekerjaan; panen tidak bisa diolah, kekurangan gizi, sekolah ditutup, dan korban berjatuhan.

Rasa curiga, takut, khawatir dialami dan cukup melekat bagi warga yang merasakan secara langsung maupun tidak langsung. Konflik yang terjadi kala itu begitu membekas hingga puluhan tahun, mungkin hingga sekarang. Upaya-upaya pemulihan dan pencegahan konflik sampai sekarang terus dijalankan dan diupayakan.

Orang-orang Poso sebenarnya sudah terbiasa untuk menghargai dan hidup bersama dengan keragaman suku, budaya, dan kebiasaan sehari-hari. Namun, berita simpang siur, disebarluaskan, dan dibumbui membuat konflik meletus.

Bukti orang-orang sangat mementingkan kemanusiaan yaitu, masyarakat saling menjaga nyawa orang di kiri kanannya. Mereka menolong dan menyelamatkan antarkomunitas agama Islam dan Kristen. Tetangga dan saudara yang beda agama pun saling membantu keselamatan dengan menyamarkan identitas agama.

Dulu, ketika konflik meletus, kerap ada sweeping KTP (Kartu Tanda Penduduk) di poros jalan keluar di Poso. Saat itu, ada isu penyerangan dari kelompok agama yang mengatasnamakan Islam, maka orang muslim memberi peringatan untuk melindungi tetangga saudara yang Kristen. Nah, warga Kristen pun melakukan hal yang sama, yaitu memberi kabar untuk saling menjaga tetangga dan saudara yang beda agama, yaitu Islam.

Keluarga Kristen mengajarkan doa Bapa Kami kepada keluarga Islam. Keluarga Islam pun mengajarkan ucapan kalimat syahadat kepada keluarga Kristen. Mereka saling mengajarkan untuk saling menjaga, agar nyawa mereka selamat dari penyerangan. Upaya saling mementingkan sesama dan kemanusiaan ini jarang diangkat dan diceritakan oleh media-media arus utama. Hal yang diberitakan kebanyakan mengenai stereotipe Poso yang merupakan daerah konflik agama. Padahal, ajaran budaya dan keberagaman di Poso mendarah daging dan dijaga oleh budaya.

Orang Poso punya saudara-saudara yang beda agama dan mereka rukun dengan sesama. Ketika konflik yang tidak diharapkan itu pecah, anak-anak dititipkan di keluarga yang dianggap aman. Mereka punya semboyan, yaitu Sintuwu Maroso yang berasal dari bahasa Pamona yang berarti Persatuan yang Kuat. Sintuwu Maroso menjadi pondasi yang menegakkan dan menguatkan eberagaman dan saling tolong menolong di tiap keadaan.

Saat konflik terjadi, desa ditinggalkan, kebun dibiarkan begitu saja. Orang-orang yang dalam keadaan kekurangan dan kesulitan makanan itu saling berbagi makanan dan kabar lokasi yang terdapat makanan. Usaha orang-orang Kristen dan Islam untuk saling mendukung sesama untuk melanjutkan kehidupan ini perlu diapresiasi, diingat, dan dimaknai oleh lebih banyak orang.

Orang-orang Poso dan luar Poso ‘dipaksa’ memahami kejadian silam itu sebagai konflik agama. Narasi permusuhan diulang-ulang setiap hari, menjadi ingatan, akibatnya bisa mempengaruhi perilaklu seseorang dan komunitas. Padahal, saat itu masyarakat kecil yang merasakan dampaknya secara nyata, seperti tidak bisa mengakses pendidikan, ekonomi, dan kesehatan yang layak.

Trauma pun dialami oleh masyarakat, apalagi ketika mereka melihat secara langsung atau diceritakan tentang korban-korban yang tidak tahu apa-apa dan tidak bersalah itu berjatuhan. “Jangan diungkit lagi”, ucap penjaga pesantren di Poso yang saya dan teman-teman temui pada 2019. Upaya rekonsiliasi memang perlu dilakukan terus-menerus seumur hidup.

Mendengar Cerita Lian Gogali dan Sarino: Tetap Melanjutkan Hidup Pasca Konflik

Pascakonflik, Lian Gogali mendirikan Institut Mosintuwu pada 2009 di Poso, Sulawesi Tengah agar perempuan akar rumput, penyintas, dan keluarganya bisa berdaya bagi dirinya sendiri, dan sekitar. Di sekolah tersebut, para perempuan lintas agama diajarkan mengenai nilai-nilai toleransi, budaya, membaca, menulis, berbicara di depan umum, menjadi pemimpin, berorganisasi, dan sebagainya.

Kearifan lokal, perspektif gender, dan nilai-nilai luhur agama merupakan kunci utama pengajaran toleransi di Institut Mosintuwu. Ketika saya dan teman-teman mengunjungi tempat berkumpulnya, yaitu Dodoha Mosintuwu, kami melihat papan bertuliskan Festival Mosintuwu. Acara tersebut dilakukan untuk mempererat masyarakat beragam identitas untuk mengenal dan bangga dengan budaya dan kekayaan di sekitarnya.

Ada pula penjual ikan pembawa perdamaian bernama Ibu Sarino. Ia bercerita kepada saya dan teman-teman mengenai keberanian dan kemantapannya berjualan ketika konflik. Ia memilih berjualan ikan untuk melanjutkan hidup meskipun sering mendengarkan cerita mengenai penembakan, pembunuhan misterius, serta rangkaian bom. Bu Sarino sudah berkeliling berjualan ikan dari desa ke desa sebelum konflik Poso terjadi. Ia berjualan dan berkomunikasi dengan masyarakat dari dapur ke dapur.

Bu Sarino yang beragama Islam dan dari desa nelayan itu ketika konflik itu berjalan kaki menuju Desa Kasiguncu yang kebanyakan penduduknya Kristen. Di rumah, keluarganya khawatir Bu Sarino tidak selamat. Padahal, ketika Bu Sarino datang, orang-orang malah memeluk, menanyakan kabar, dan bercerita. Sudah lama tidak bertemu, mereka meluapkan rindu dan haru.

Bu Sarino menjadi pembawa kabar kalau keadaan desa aman. Orang-orang memulai komunikasi karena kabar perdamaian dan aman yang Ibu Sarino bagikan. Teman-teman Bu Sarino pun ikut berjualan ikan.

Budaya keberagaman, cerita dari mulut ke mulut, dan pendidikan toleransi bisa mencegah dan meredakan konflik yang terjadi. Masyarakat dengan aksi-aksi sederhana merupakan pahlawan perdamaian. Mari, jangan ragu untuk belajar memaknai nilai-nilai budaya dan memahami kemanusiaan untuk menncegah konflik terulang.

Saat ini, orang-orang muda di Poso berusaha merekatkan persatuan dengan aktif berdiskusi dan berkumpul melakukan kegiatan-kegiatan kesenian. Kebiasaan baik ini membuat prasangka memudar, makin mencintai kergaman, dan tergerak untuk merawatnya.

Referensi:

Asmarani, Devi. 2017, “The Women of Mosintuwu: The Resistance Leader”, magdalene.co

Gogali, Lian. 2016, “Cerita Damai dari Bakul Ikan”, mosintuwu.com

Gogali, Lian. 2008. Rekonsiliasi Ingatan. Yogyakarta: Galangpress’

Yakobus, Ketut dkk. 2019. Revitalisasi Nilai Budaya Sintuwu Maroso sebagai Alternative Resolusi Pasca Konflik di Kabupaten Poso. 5. 14-21