Pada saat reformasi bergulir, banyak perubahan dalam proses pemilihan seorang pemimpin. Pemilihan presiden dan diikuti oleh pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat diadakan secara bersama, dan pemilihan kepala daerah dilakukan dalam waktu yang berbeda. Akan tetapi, mulai tahun 2014 pemilihan kepala daerah dibarengkan dengan pemilihan presiden dan DPR dalam kurun waktu yang sama. Hal ini merupakan sesuatu terobosan terbaru dalam negara demokrasi seperti Indonesia.
Pada tahun 2018 pemilihan kepala daerah akan bergulir di 171 daerah mulai tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Partai-partai melakukan koalisi demi meraih kemenangan dan memilih tokoh terbaik daerah untuk dicalonkan. Semua cita-cita yang diusung partai maupun calon pemimpin memiliki tujuan yang baik yaitu menjadikan daerah tersebut sejahtera.
Akan tetapi ada hal yang menarik dalam Pilkada serentak 2018 di pulau Jawa, khususnya pemilihan di tingkat provinsi Jawa Timur. Jika kita cermati para calon Gubernur yang diajukan oleh partai terdapat kesamaan unsur di dalamnya. Koalisi PKB dan PDIP mengajukan calon Saefullah Yusuf (Gus Ipul) dengan Puti Guntur Soekarno, sedangkan koalisi Golkar, Demokrat, dan Nasdem mencalonkan pasangan Khofifah Indar Parawansyah dengan Emil Dardak.
Pemilhan kali ini akan menarik sebab kedua pasangan memiliki unsur calon yang sama yakni antara santri dan nasionalis. Santri diwakili oleh Khofifah dan Gus Ipul dan nasionalis diwakili oleh Emil Dardak dan Puti Guntur Soekarno. Perbedaan unsur ini tidak lepas dari raihan suara yang ingin dicapai. Suara santri akan didominasi di daerah Tapal Kuda, dan suara nasionalis akan didominasi di wilayah Mataraman. Sedangkan wilayah Arek dan Madura akan diperebutkan oleh dua unsur tersebut.
Dalam tulisan ini tidak akan menjelaskan siapa pemenang dalam pemilihan kepala daerah, akan tetapi di sini akan menjelaskan tidak adanya keterlibatan unsur Alumni 212 dalam pilkada 2018. Kenapa hal ini terjadi?, ini yang menarik untuk dibahas sebab ada pernyataan dari sang Imam Besar Habib Rizieq untuk meniru model gerakan di Jakarta demi meraih kemenangan.
Alumni 212 Gagal!
Tidak dicalonkannya La Nyalla dalam pemilihan gubernur Jawa Timur memperlihatkan kegagalan Alumni 212 dalam meraih kemenangan. Partai yang semula mendukung tiba-tiba saat ini menuai konflk dengan La Nyalla. Poros tengah, Gerindra, PAN, PKS, yang terjadi di Pilgub Jatim pada mulanya memiliki keterlibatan dalam Aksi 212 beralih mendukung calon yang ada.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah memiliki kesadaran yang sama. Jakarta berbeda dengan Jawa Timur. Kesadaran masyarakat Jawa Timur dibentuk dalam ranah kultural. Fenomena Aksi 212 yang terjadi di Jakarta tidak lantas membuat kesadaran politik masyarakat Jawa Timur berubah. Hal ini dikarenakan adanya sebuah proses pendewasaan melalu kultural yang dibangun dalam kurun waktu yang lama.
Berbeda dengan Jakarta yang memiliki kebudayaan yang terus berkembang. Mengingat bahwa Jakarta adalah Ibu Kota, maka tidak heran jika perubahan sosial sangat mudah terjadi. Sebab modal sosial seperti ekonomi, budaya, agama, politik, bercampur aduk di Jakarta. Oleh karena itu tidak heran jika dominasi modal sosial silih berganti.
Pertarungan untuk memenangkan dominasi modal sosial dalam arena kultural inilah yang membentuk kesadaran masyarakat. Di Jakarta, modal sosial yang digunakan untuk memenangkan pasangan Anies-Sandi adalah agama, sedangkan di Jawa Timur sedari awal memang telah terpolarisasi antara wilayah, maka pertarungan dengan menggunakan modal sosial agama tidak akan terjadi.
Kegagalan La Nyalla menjadi calon gubernur dan beralihnya poros tengah untuk mendukung pasangan yang ada memukul telak alumni 212. Mereka merasa kecewa atas partai yang telah berkoalisi dalam suksesi pilkada DKI. Kekecewaan ini disampaikan oleh Sekjen Forum Umat Islam Al-Khaththath bahwa PKS-PAN-Gerindra tidak mengusung satu calon pun dari lima calon yang telah diajukan, salah satunya adalah La Nyalla.
Kegagalan alumni 212 dalam merebut suara dalam pilkada 2018 kita jadikan sebuah pelajaran bahwa tidak seharusnya agama dijadikan sebagai alat politik. Tingkat kesadaran yang dibentuk oleh berbagai modal sosial telah menjadi bukti nyata bahwa tidak semua daerah mau meniru perpolitikan di Jakarta. Fenomena 212 harus kita jadikan pelajaran bahwa agama haram digunakan alat politik.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute dan Gusdurian Jogja.