MengIslamkan Foto Sejarah dan Inferioritas Sebagai Muslim

MengIslamkan Foto Sejarah dan Inferioritas Sebagai Muslim

Bagaimana kita bisa gemar mengIslamkan segala sesuatu?

MengIslamkan Foto Sejarah dan Inferioritas Sebagai Muslim

Setelah HTI dibubarkan, lantas sel-seperjuangan organisasi mereka runtuh secara yuridis. Tidak bisa dipakai fampletnya, medianya, dan segala kegiatan atas nama ormas tersebut lantas ilegal. Fondasi hukumnya runtuh, lantas yang bisa mereka lakukan adalah menjadi inang pada formasi sosial lainnya dalam bentuk keagamaan, media, ketokohan/personal, dan infiltrasi lainya.

Wajar kemudian mereka berdesakan di antara suara-suata anti-pemerintah. Namun, suara-suara mereka masih hidup dalam acara populer, televisi hingga konten ceramah ustad yutub. Disanalah mereka bisa berbicara bebas ditengah audience yang membutuhkan motivasi (baca:agama)

Secara sosial, mereka terdesak. Secara historis apalagi. dikiranya intelektual Islam di Indonesia hanya akademis kacangan. Satu contoh: Setiap argumen agama mereka berhasil dipatahkan oleh Nadirsyah Hosen dosen Hukum Islam di Australia. Beliau adalah wakil PCNU Australia. Maka wajar, hambatan utama eks-HTI adalah tokoh NU atau mungkin Muhammadiyah yang memahami betul retorika Islam mereka tentang khilafah yang fakir secara keilmuan dan yatim secara sejarah. Beliau berkali-kali membongkar argumen perlunya “khilafah” di negeri ini menjadi serpihan lelucon. Maka wajar beliau menjadi target serangan udara pendukung khilafah.

Secara historis mereka mulai mencari sumber-sumber lokak untuk menegaskan bahwa Khilafah dan formalisme Islam yang mereka dukung memiliki bukti-bukti sejarah.

Pencarian ini boleh jadi hanya bersifat sekunder. Dalam lini masa sosial media, foto bersejarah seringkali digunakan untuk menegaskan bahwa “perjuangan Islam” yang mereka maksud merupakan perjuangan yang dilandasi bukti-bukti sejarah.

Banyak netizen yang terpukau dengan postingan-postingan demikian. Saya sebagai guru sejarah sering menemukan bahwa sesama guru sejarah saja masih terdorong untuk membagikan konten semacam itu.

MENG-ISLAM-KAN FOTO SEJARAH

Seperti kerudung syar’i zaman kolonial. Argumennya: Bahwa pejuang kemerdekaan hanya mereka yang berhijab. Bahkan menyisipi argumen bahwa foto-foto pejuang perempuan yang umum kita ketahui tidak berhijab adalah cara orang kafir kolonial melenyapkan peran Islam. Lantas apakah pejuang wanita yang tidak berhijab bukan Islam?

Inilah persoalan utama mereka. Islam yang mereka maksud harus secara formal beridentitas Islam. Tentu saja kita yang mengetahui bahwa kubah (Konstatin) dan menara mesjid (Majusi) bahkan baju koko (Cina) yang diidentifikasi sebagai Islam adalah warisan kebudayaan dan agama lain tertawa miris dalam hati melihat kebodohan meraja rela. Apalagi identitas adalah sesuatu yang sifatnya tidak stabil. Tidak ada identitas yang berdiri sendiri. (Misal, konsep identitas non-kontradiktif Aristoteles).

Di tengah argumen bahwa penjajah kolonial diidentifikasi hanya sebagai “kafir” yang mana dengan itu mereka berpendapat segala argumen intelektual kolonial menjadi anti-Islam, toh baru-baru ini muncul postingan yang lebih konyol.

Mereka memakai foto-foto koleksi museum Belanda, memilih hanya foto perempuan Islam yang berkerudung saja, kemudian mengatakan bahwa “orang Indonesia” sudah berhijab, sejak 1700an.

Padahal koleksi foto dimuseum belanda berasal dari kamera yang baru ditemukan sekitar tahun 1800 lebih atau abad ke 19. Berikut kronologi:

-Istilahnya fotografi baru dipakai 1833
-penggunaan teknik kertas foto +- 1834
-pemasaran kamera “kodak” di AS 1888
-kamera dijual baru dijual bebas pada 1900

Pastinya mereka akan mengecoh dengan mengatakan Ibn Al-Haytham (abad ke-10-11)seorang muslim penemu kamera. Memang kebodohan tidak disiplin. Padahal yang dimaksud adalah “prinsip camera obscura”. (Lihat jurnal saya, Haeri, 2019: 18)

Informasi ini saya terangkan pada saat menjadi pemakalah tentang sejarah “foto berkonten sejarah” dalam SSN peringatan Kongres Sejarah tahun 2017. Tapi sebenarnya rajin membaca di internet juga akan mudah mendapatkan informasi seperti ini.

Yang membuat kita miris adalah, argumen mereka tentang formalisme Islam, ditopang oleh narasi kolonial dan sumber-sumber sejarah kolonial yang menurut mereka konspirasi “kafir”.

HIJRAH KE MODERNITAS

Tapi hal ini malah menguatkan argumen Slavo Zizek, bahwa fundamentalisme Islam, termasuk ISIS bukanlah fundamentalisme sejati. Mereka tidak benar-benar kokoh dalam meneguhkan keislaman secara teks. Mereka fundamentalisme palsu.

Mengapa? Karena argumen mereka tentang kesatuan ummat atau “khilafah” merupakan konsep modern. Tindakan mereka adalah tindakan makhluk modern. Cara mereka menyebarkan faham, gerakan politiknya dan strategi mereka memakai cara-cara modern. Maka wajar bila dalam strateginya, mereka justru memanfaatkan produk-produk dan cara-cara modern. (Baru-baru ini sedang diselidiki, dan sanksi kpd Jepang, mengapa kelompok Teror di Timteng hobi memakai mobil Toyota).

Mereka, lanjut Zizek, adalan produk modernitas. Maka wajar bila kita cermati, kampanye Islamisasi justru subur dengan perangkat modern; televisi, yutub, kosmetik, busana dan lainnya, yang merupakan produk modern.

Maka wajar, musuh utama mereka adalah sub-sub kebudayaan tradisional dalam lingkup Nasional dan lokal. Sebab kampanye Islam “modern”yang dikenal sebagai gerakan Islamis merupakan gerakan universal yang ingin menyatukan Islam dalam satu konsep saja.

Alih-alih berbicara persatuan Islam, mereka justru bermaksud berkompetisi dengan perangkat modern, meningkatkan followers, menjual produk syar’i, marketing bank syariah, hijrah hingga memperbanyak perda Syariah.

Singkat kata, Islam hanyalah bemper depan dari kendaraan yang tujuan utamanya adalah memodernisasi “umat” Islam. Maka wajar, trend hijrah merupakan upaya melepaskan diri dari ikatan sosial lama untuk membentuk ikatan-ikatan sosial baru; mirip perubahan masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Hal ini justru mendukung proyek besar globalisasi.

Satu contoh kasus: masyarakat baduy adalah kebudayaan tertutup (awalnya). Penetrasi modal tidak bisa masuk. Argumen ekonomi saja tidak cukup kuat untuk memasuki baduy. Namun dengan label Islam, muncul perkampungan baduy Wisata syariah yang bisa membongkar daya tolak baduy terhadap pengaruh luar.

Kebanyakan kita berdebat apakah orang baduy akan pindah agama atau tidak. Padahal masalah utamanya adalah; modal/investasi akhirnya bisa menembus pertahanan budaya baduy dengan dalih Islam. Dalam hal ini, bukan islam yang menang, tapi modernitas telah berhasil memasuki Baduy. Mission complete!

Alih-alih menolak globalisasi, mereka justru mempersiapkan masyarakat tradisional untuk menerima kehidupan global dengan label Islam.

Tentu, bisa jadi musuh utama mereka adalah NU, serta organisasi yang di bawahnya seperti Anshor dan Banser. Sebab, ormas Islam terbesar di planet bumi ini paling terdepan melindungi sub agama-kebudayaan lokal. Melindungi Mereka yang bahkan diluar “Islam”.

Maka wajar kemudian pendukung khilafah, eks HTI dan gerakan Islamis akan terus memasang mata, telinga dan siap menjatuhkan diri menjadi korban untuk menarik banyak simpati setelah kekalahan mereka yang merana pada pilpres 2019. Maka sangat mudah bagi kita menduga berbagai peristiwa yang mencitrakan NU secara negatif akan terus terjadi—karena NU menang.

Masalah besar lainnya yang justru lebih penting; kaum Islamis tidak punya landasan sejarah dan sanad yang kuat di bumi pertiwi. Mereka bukan pewaris semangat perjanjian luhur bangsa dan kebijaksanaan lokal. Mereka fakir dan yatim sejarah.

Sehingga setiap argumen sejarah mereka harus ditambal sulam dengan kebohongan-kebohongan, lipatan sejarah, retorika, agitasi dan propaganda. Sebab sangat sulit membangun narasi sejarah dengan bukti-bukti yang memang tidak ada.

Apabila kampanye mereka dengan bangga mengatakan produk-produk islamis telah mendunia dan Islam telah mengglobal, hal itu tidak menunjukan bahwa Islam memperoleh kemenangan dalam dunia modern.

Justru sebaliknya, modernitas sudah mendikte Islam agar memakai perangkat, cara-cara dan strategi modern. Cara fikir modernitas yang mengasumsikan manusia bergerak maju telah mengalami kegagalan sebab tidak bisa mengidentifikasi mengapa peristiwa sejarah tidak se”maju” dugaan mereka.

Inilah mengapa NU selalu melindungi dan tidak menyerang kepercayaan kuno, lokal, dari nenek moyang Nusantara, yang mana, mereka lebih memahami hasil sejarah.

Hasil sejarah selalu bisa diprediksi oleh kebijaksanaan orang tua. Mereka bukan orang baru dalam perubahan dunia. Mereka tahu sejarah tidak hanya maju.

Mereka memandang sejarah seperti rangkaian bintang dimalam hari. Mereka merenung sambil membakar dupa, dedaunan, hingga rokok. Maka bukan kebetulan, tidak ada pihak yang paling gencar mengkampanyekan anti-rokok selain kelompok islamis.

Ramainya investasi surga diceritakan dan dijalani dengan khidmat oleh pengikutnya, menandakan bahwa: manusia Islam Modern mengalami kemacetan investasi di dunia, sehingga semua aset yang bisa akumulasikan akan mereka alihkan ke surga melalui badan-badan amal modern yang terhubung dengan sistem keuangan dunia. Dimana pahala mereka akan terlihat transparan dalam laporan rekening koran.

Kesalehan yang singkat itu menandakan kerentanam internal, bahwa modernitas Islam sedang menghadapi ujian. Sementara itu, kelompok Islam tradisional (saya kurang setuju dengan istilah ini) telah membuktikan kemenangan politik bukan dihasilkan dari gerak sejarah linear.

Kaum islamis masih sangat belia memahami sejarah, sebab modernitas tidak memiliki gagasan kuno tentang waktu. Gagasan inilah yang membuat Solon sang Negarawan dari Athena, merasa terpukau atas gambaran sejarah yang diceritakan “orang bijak dari Timur”, yang ditemuinya di Mesir:

“Lalu, salah seorang pendeta, yang berusia sangat tua, berkata:

‘Solon, Solon, kau orang Yunani tak lain hanyalah anak-anak, dan seorang Yunani tak pernah menjadi orang tua.’

Solon, setelah mendengar ini, berkata:

‘Apa maksudmu?’

Maksudku,’ jawab si pendeta, ‘kalian semua masih muda; tak ada pendapat lama yang diturunkan di antara kalian oleh tradisi kuno, tak satupun pengetahuan [kalian] yang beruban karena usia.” (Plato, Timaeus). Kira-kira begitu.