Menghormati Natal: Apakah Kita, Mayoritas Islam itu Siap Dikritik dan Benar-Benar Siap Toleran?

Menghormati Natal: Apakah Kita, Mayoritas Islam itu Siap Dikritik dan Benar-Benar Siap Toleran?

Menghormati Natal: Apakah Kita, Mayoritas Islam itu Siap Dikritik dan Benar-Benar Siap Toleran?
Mohammed Salah dan keluarganya berpose dengan background pohon natal. Foto: @MoSalah

Natal adalah momen penting bagi umat Kristiani untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus. Di Indonesia yang majemuk, perayaan ini seharusnya tidak hanya menjadi waktu refleksi bagi umat Kristiani, tetapi juga kesempatan untuk memperkuat toleransi beragama dan menunjukkan kedewasaan dalam menjalankan keyakinan masing-masing.

Namun, setiap tahun, isu mengenai pengucapan “Selamat Natal” dari umat Muslim kepada umat Kristiani kerap menjadi polemik. Sebagian pihak menganggap pengucapan ini sebagai persoalan akidah yang serius, yang kemudian menimbulkan justifikasi formal melalui dalil agama. Misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam salah satu fatwanya, menyarankan agar umat Muslim tidak mengucapkan selamat atas perayaan agama lain, sebagaimana dirangkum dalam dari CNN terkait larangan dan polemiknya

Sementara itu, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyarankan agar umat Muslim bersikap arif dengan tidak memberikan ucapan selamat Natal, tetapi tetap membuka ruang untuk menjaga hubungan baik selama tidak melibatkan partisipasi dalam ritual keagamaan, seperti dijelaskan di Masjid Muhammadiyah

Pandangan semacam ini sering kali merujuk pada ulama klasik seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Aḥkām Ahl al-Dhimmah, yang menyatakan bahwa seorang Muslim tidak boleh terlibat dalam ritual atau tradisi keagamaan agama lain, karena dianggap berpotensi melemahkan kemurnian akidah.

Oleh karenanya, mereka menempatkan persoalan pengucapan Natal sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar interaksi sosial, melainkan persoalan prinsip akidah yang bersifat esensial.

Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan pandangan bahwa persoalan ini sering kali menjadi bahan perdebatan teologis yang sebenarnya tidak perlu diperpanjang hingga ke ranah publik. Saya tidak bermaksud memperdebatkan pandangan para ulama atau pakar agama terkait hukum mengucapkan selamat Natal, karena setiap pandangan memiliki perspektifnya sendiri yang sah dan patut dihormati.

Oleh karena itu, saya merasa tidak perlu mengulang-ulang pembahasan atau memaksakan satu pendapat agar diterima oleh semua pihak.

Hal yang lebih mendesak untuk diperhatikan adalah bagaimana momentum Natal ini dapat menjadi pengingat bagi umat Muslim Indonesia, sebagai mayoritas, untuk menjaga hak-hak saudara kita dari umat Kristiani.

Saya mengundang Anda untuk melanjutkan membaca dan memahami perspektif yang saya tawarkan.

Beragama dengan Dewasa: Menjaga Agama Sebagai Ranah Privat

Salah satu ciri kedewasaan beragama adalah kemampuan untuk menempatkan persoalan agama pada ruang yang tepat, yakni ranah privat. Agama adalah hubungan personal antara individu dan Tuhannya, yang mencerminkan keimanan dan cara seseorang menjalankan keyakinannya.

Ketika hal-hal yang bersifat personal, seperti mengucapkan atau tidak mengucapkan selamat Natal, dibawa ke ruang formal dan menjadi bahan justifikasi serta perdebatan hukum, kita kehilangan esensi dari nilai spiritualitas agama itu sendiri.

Mengucapkan selamat Natal atau tidak mengucapkan selamat Natal adalah pilihan pribadi yang seharusnya tidak perlu dipaksakan apalagi dipersoalkan. Seorang yang beragama dengan dewasa tidak akan memaksakan pandangannya kepada orang lain, melainkan menghormati keberagaman cara pandang.

Mereka yang memilih untuk mengucapkan selamat Natal melakukannya dengan niat tulus menjaga hubungan sosial, sementara mereka yang tidak melakukannya mungkin punya pertimbangan akidah yang harus dihormati. Kedua pilihan ini sah, dan seharusnya tidak menjadi ajang perdebatan apalagi penghakiman.

Jangan Terjebak dalam Formalitas Beragama

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, sering kali terlihat kecenderungan untuk memformalkan setiap tindakan keagamaan melalui pencarian dalil atau hukum syariat. Hal ini tidak salah, tetapi jika dilakukan secara berlebihan, dapat menjerumuskan kita pada pandangan yang terlalu sempit dan rigid. Padahal, inti dari beragama adalah menyebarkan kasih sayang, kebaikan, dan harmoni, bukan mencari kesalahan atau menghakimi orang lain.

Indonesia sebagai negara dengan beragam agama dan kepercayaan membutuhkan kedewasaan dalam beragama. Kedewasaan ini ditunjukkan dengan sikap menghormati pilihan orang lain, baik dalam konteks keyakinan maupun ekspresi sosial.

Jika setiap tindakan selalu dilihat dari kaca mata formalitas hukum agama, kita berisiko kehilangan esensi spiritualitas yang lebih dalam, yaitu nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan penghormatan.

Sebagai bangsa yang majemuk, bisakah kita beragama dengan lebih dewasa? Bisakah kita berhenti mempermasalahkan mereka yang ingin mengucapkan selamat Natal atau yang memilih tidak mengucapkan? Toleransi dan kedewasaan beragama tidak berarti melonggarkan akidah, tetapi memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari realitas kehidupan.

Namun, setiap tahun, isu mengenai pengucapan “Selamat Natal” dari umat Muslim kepada umat Kristiani kerap menjadi polemik. Selain itu, masalah yang lebih besar, seperti penolakan tempat ibadah, pembatasan hak-hak keagamaan, dan kurangnya penghormatan terhadap umat Kristiani sebagai kelompok minoritas, sering kali masih diabaikan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa toleransi yang sejati belum sepenuhnya terwujud di negeri ini.

Hak-Hak Umat Kristiani: Tanggung Jawab Bersama

Sebagai warga negara Indonesia, umat Kristiani memiliki hak yang sama dengan umat agama lain dalam menjalankan ibadahnya. Hal ini dijamin oleh UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2:

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya itu.”

Namun, kenyataannya, hak ini sering kali tidak terwujud sepenuhnya. Penolakan terhadap pembangunan gereja, pembatasan ibadah, atau diskriminasi terhadap perayaan hari raya agama tertentu masih menjadi masalah yang nyata. Menurut data Setara Institute, antara tahun 2007 hingga 2022, terjadi ratusan kasus pelanggaran kebebasan beragama, termasuk penolakan izin pembangunan tempat ibadah.

Sebagian besar korban dari pelanggaran ini adalah umat minoritas, termasuk umat Kristiani.

Penolakan semacam ini tidak hanya melanggar prinsip konstitusi tetapi juga bertentangan dengan ajaran agama mayoritas di Indonesia, Islam, yang menekankan penghormatan terhadap hak-hak sesama manusia. Dalam Alquran, Surat Al-Mumtahanah ayat 8, Tuhan berfirman:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Ayat ini menegaskan pentingnya keadilan dan penghormatan kepada semua umat manusia, terlepas dari perbedaan keyakinan.

Mengakhiri Diskriminasi: Toleransi sebagai Solusi

Persoalan seperti penolakan tempat ibadah atau pembatasan hak keagamaan tidak hanya menyangkut umat Kristiani, tetapi menjadi tantangan bagi kita semua sebagai bangsa. Kita harus belajar dari sejarah Islam sendiri, di mana Rasulullah SAW memberikan contoh toleransi dalam Piagam Madinah. Piagam ini menjamin kebebasan beragama bagi semua komunitas, termasuk umat Yahudi dan Nasrani, selama mereka hidup damai dalam masyarakat.

Natal adalah waktu yang tepat untuk merenungkan bagaimana kita dapat menjadikan toleransi sebagai nilai utama dalam kehidupan berbangsa. Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik untuk mengakhiri diskriminasi dalam bentuk apa pun dan mempromosikan kebebasan beragama secara nyata. Dengan demikian, kita tidak hanya menghormati hak-hak saudara sebangsa kita, tetapi juga menegakkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang diajarkan oleh agama.

Semangat toleransi tidak hanya berhenti pada pengucapan selamat, tetapi juga pada upaya untuk memastikan setiap agama dapat menjalankan ibadahnya tanpa rasa takut atau terganggu. Dalam konteks Islam, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), seorang tokoh pluralisme Indonesia, pernah menegaskan bahwa toleransi adalah pilar utama bagi masyarakat yang majemuk.

Gus Dur berkata, “Toleransi bukan hanya menghormati, tetapi juga melindungi hak-hak orang lain untuk menjalankan kepercayaannya secara penuh.” (Wahid, 2006, Islamku, Islam Anda, Islam Kita).

Merayakan Natal dalam harmoni keberagaman adalah cermin indah dari semangat kebersamaan yang seharusnya kita junjung di Indonesia. Dengan sikap saling menghormati, kita tidak hanya merayakan hari besar agama, tetapi juga merayakan nilai-nilai kemanusiaan yang mempererat persatuan bangsa.

Charles Taylor, sarjana yang mendalami isu multikulturalisme, dalam bukunya Multiculturalism and the Politics of Recognition (1992), menekankan bahwa dalam masyarakat yang plural, penting untuk menghormati tradisi dan ekspresi budaya atau agama orang lain. Taylor menyatakan bahwa pengakuan terhadap keberadaan dan tradisi orang lain adalah dasar dari hubungan yang harmonis. Dalam konteks Indonesia, ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani mencerminkan pengakuan dan penghormatan terhadap keragaman, tanpa harus kehilangan identitas keimanan.

Akhir kata, dengan beragama secara dewasa, kita tidak hanya menjaga kerukunan, tetapi juga memperkuat identitas Indonesia sebagai bangsa yang ramah, toleran, dan penuh kasih sayang. Wallahu a’lam bis shawab..