Ali bin Abi Thalib, sahabat yang diklaim sendiri oleh Rasulullah sebagai sahabat yang paling cerdas, pernah menjawab pertanyaan para badui dengan jawaban yang berbeda dari para sahabat kebanyakan. Cerita ini terekam dalam Kitab Nasho’ihul Ibad, karya Syekh Imam Nawawi al-Bantani.
Suatu hari, pasca meninggalnya Nabi Muhammad, ada beberapa badui yang ingin masuk Islam. Ia datang jauh-jauh dari tempat asalnya menuju ke Madinah untuk mencari jawaban atas tiga pertanyaan yang ada di kepalanya. Dalam benak mereka, tiga pertanyaan itu dapat membantunya menjalani Islam dengan mudah namun konsisten. Sesampainya di Madinah, mereka bertemu dengan sahabat Abdullah bin Abbas, kemudian bertanya:
“Hari apakah yang terbaik, bulan apakah yang terbaik dan amal perbuatan apakah yang terbaik?”
Beliau menjawab, “Hari terbaik adalah hari Jum’at (sebagai sayyidul ayyam), bulan terbaik adalah adalah Ramadhan, karena di bulan tersebutlah al-Qur’an diturunkan, terdapat Lailatul Qodar, dan kewajiban shaum Ramadhan dimana amalan-amalan sunnah bernilai amalan wajib), dan amalan perbuatan yang terbaik adalah sholat lima waktu pada sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.”
Setiap mereka bertemu dengan orang yang dianggap sahabat Nabi, maka mereka akan bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dan para sahabat akan menjawab dengan jawaban serupa. Dalam Nasho’ihul Ibad dikatakan bahwa para ulama, hukama, dan fuqaha dari Barat sampai Timur jika ditanya demikian, pastilah mereka menjawab sebagaimana disampaikan Abdullah bin ‘Abbas. Itulah yang membuat para Badui yakin tentang kebenaran jawaban itu.
Dengan berbekal keyakinan itu, mereka merasa cukup dan memutuskan untuk pulang. Namun dalam perjalanannya, mereka bertemu dengan Ali bin Abi Thalib. Sayyidina Ali kemudian ditanya dengan pertanyaan yang sama. Namun, jawaban Ali bin Abi Thalib ternyata berbeda dan membuat para badui ini cukup kebingungan.
Ali bin Abi Thalib menjawab,
“Amalan yang paling baik adalah amalan yang diterima oleh Allah walaupun hanya sedikit.”
“Bulan terbaik ialah bulan di mana kami bertaubat kepada Allah dengan Taubat Nasuha. Taubat yang terdiri dari penyesalan hati, permohonan ampunan, menjauh dari tempat maksiat, dan bersikeras tidak akan mengulangi dosa.”
“Hari yang paling baik yaitu saat seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Allah.”
Jawaban Ali bin Abi Thalib tersebut bukan berarti menyelisihi jawaban para sahabat yang lain. Dari sini, justru dapat dipahami bahwa setiap sahabat punya cara pandang dan pemahaman tersendiri terkait cara merespon fenomena yang terjadi di masyarakat. Perbedaan bukan untuk dibesar-besarkan tetapi digunakan untuk saling melengkapi satu dan yang lain.
Hikmah jawaban yang disampaikan Sahabat Ali adalah bahwa kebanyakan dari kita itu cenderung berpikir tentang hal-hal yang bersifat praksis, ritual, hal-hal yang terlihat, terindera, dan sebagaimanya. Tetapi kita sering lupa akan hal-hal esensial yang diajarkan oleh agama.
Misalnya begini. Kita akan menyambut Ramadhan kurang dari tujuh hari lagi. Di bulan Ramadhan, kita diwajibkan untuk menahan diri dari hawa nafsu. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Banyak saudara kita, atau bahkan kita sendiri, yang pada waktu bulan puasa tidak berusaha untuk mensucikan dirinya, tetapi justru berusaha untuk menilai orang lain.
Tidak sedikit umat Muslim yang ketika berpuasa justru minta untuk dihormati. Bulan puasa yang hakikatnya merupakan bulan yang penuh berkah, justru menjadi bulan musibah bagi para umat non-Islam dan pedagang kecil. Keegoisan sebagian umat Muslim itu, salah satunya, mewujud dalam regulasi penutupan warung makan dengan dalih menghormati orang yang berpuasa. Penutupan itu secara langsung berdampak kebutuhan logistik umat-umat non-Islam yang tidak terpenuhi dan berbanding lurus pada ekonomi para pedagang kecil.
Pada akhirnya, jawaban Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib sama-sama benar. Keduanya bahkan saling berkorelasi. Ibnu Abbas menekankan pada aspek dhohir dan ritual. Ali bin Abi Thalib mengingatkan pada aspek esensialnya. Shalat yang kita lakukan akan sah jika secara ritual dilakukan dengan memenuhi semua rukun-rukunnya. Namun jangan lupa, esensi shalat adalah untuk membuat kita menjadi seorang Muslim yang baik, bukan sebaliknya. Sama halnya dengan bulan Ramadhan. Puasa akan sah jika kita lakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasulullah. Namun, kita perlu juga menghayati apa hakikat puasa Ramadhan.
Wallahu al’lam bisshawab