Mempelajari dan memahami kandungan al-Qur’an, kita tidak bisa melepaskan konteks atau asbabun nuzul ayat. Namun mengapa dengan asbabun nuzul yang sama, penafsiran seseorang bisa berbeda-beda? dengan ayat yang sama lalu muncul beragam kitab tafsir yang berbeda-beda. Kalau di Indonesia, kita mengenal Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Ibriz karya Bisri Mustofa, Tarjumanul Mustafid karya Abdur Ra’uf as-Sinkili, dan masih banyak lagi. Semuanya memiliki corak tafsir dan metodologi yang berbeda.
Lha kok bisa?
Justru itu, dengan beragam penafsiran, hemat saya, menandakan kalau kitab suci al-Qur’an merupakan mukjizat (miracle) yang telah diturunkan oleh Allah Swt untuk semua umat manusia. Tidak hanya untuk umat Islam an sich. Karena siapapun bisa meng(k)aji al-Qur’an. Bahkan para orientalis (Non Muslim) sekalipun, telah banyak yang mengkaji al-Qur’an.
Dengan beragamnya kitab tafsir, tentu muncul dalam benak kita–terutama saya sendiri–lalu seperti apa sih tafsir yang ideal itu?
Kitab Tafsir ideal
Sangat tidak mudah menilai sebuah kitab tafsir itu tergolong ‘tafsir ideal’ atau bukan. Sungguh sangat relatif. Akan tetapi, bagi penulis sendiri, tafsir ideal atau kitab tafsir yang ideal itu parameternya adalah kitab tersebut dirujuk oleh banyak orang, terutama oleh kalangan awam yang selama ini masih kesulitan dalam memahami isi al-Qur’an.
Ada sebuah diskusi menarik antara penulis dengan teman yang mempunyai fokus di bidang ilmu tafsir, mengenai bagaimana tanggapan tafsir ideal. Singkatnya, ia mengemukakan produk tafsir selama ini, terutama di Indonesia—ia mencontohkan tafsir yang sudah masyhur: Al-Misbah, karya M. Quraish Shihab—yang menurutnya, belum bisa dikatakan sebagai tafsir yang ideal, karena masih sangat minim yang membaca karyanya itu kecuali dari kalangan akademisi. Terutama yang tengah mengkaji kitab tafsir.
Sejenak, saya berfikir ulang mengenai hal ini. Bahwa parameter yang digunakan oleh kawan saya tadi ternyata dari segi kuantitas pembaca (banyak-sedikitnya) yang mengkaji kitab tafsir tersebut.
Pertanyaannya lagi, banyak-sedikit itu siapa yang mengukur? Percetakan atau tukang jual buku?
Memang, kitab tafsir dari era klasik sampai sekarang, tidak bisa lepas dari kritik. Seperti karya al-Razi, Zamakhsari, al-Suyuti, at-Thabari, dan kitab-kitab tafsir yang lain, bila dilihat dari kacamata oleh penikmat tafsir saat ini, tentu banyak kritik, baik dari metodologi maupun penafsirannya. Ya wajar saja, karena horizon pemikiran dan konteks kehidupan seseorang yang berbeda. Jazirah Arab dan NKRI itu berbeda.
Begitu juga mufassir dari kalangan modern dan kontemporer, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Essack, Fazlur Rahman, dan lain-lain, yang tidak jauh berbeda, masih banyak kritik.
Apakah dengan banyaknya kritik menandakan kitab atau karya tafsir itu jelek atau tidak ideal? Ah, tidak juga. Justru otokritik terhadap suatu karya itu perlu dijaga supaya banyak yang mengkajinya. Kritik bukan berarti jelek. Dengan banyak kritik maka terjadi dialektika dan menghasilkan penafsiran-penarsiran baru (re-interpretasi) terhadap problematika masa kini dan atau yang akan datang. Serta, mampu membebaskan dari kungkungan sektarianisme dan pandangan yang mengkotak-kotakan antara liyan. Jadi, kesimpulannya adalah tidak ada tafsir yang tunggal, namun tafsir yang beragam.
Tafsir Masa Depan
Tidak bisa dipungkiri bahwa penafsiran itu selalu berkembang. Kejadian di zaman Nabi sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Dalam menggagas tafsir masa depan, penulis merumuskan ada empat hal penting yang harus dijiwai oleh semangat tafsir al-Qur’an masa depan. Pertama, metodologinya harus mapan. Kedua, selalu ada kebaruan, tidak nadhajat wahtaroqot, tidak mau menerima hal-hal baru. Ketiga, mampu membebaskan dari kungkungan sektarianisme madzhab tertentu. Keempat, produk tafsir tersebut bisa saling sapa dengan keilmuan lain, terutama penemuan-penemuan saintis. Bukan ilmu “cocokologi” (uthak-athek gathuk) terhadap ayat al-Qur’an.
Dari hal tersebut, yang perlu disajikan oleh mufassir yang pertama yakni; kemapanan metodologi. Diakui, sebuah produk tafsir tentu mempunyai metodologi atau metode penafsiran yang baku, sebagai pisau untuk membedah makna atau kandungan kitab suci al-Qur’an. Dengan metode yang mapan, maka dapat menghindarkan seorang mufassir melakukan penafsiran yang parsial (atomistik), tidak utuh, hanya sepotong-potong dalam memaknai al-Qur’an. Dengan metodologi yang mapan pula, bisa memperoleh clue besar—menangkap pandangan atau maksud dari Tuhan—seperti apa yang ingin disampaikan melalui firmannya itu.
Seperti contoh, ketika seorang fotografer sedang memotret sebuah pemandangan yang indah, akan tetapi tidak di dukung dengan kualitas kamera dengan pixcel yang tajam, maka hasilnya pun tidak akan sempurna. Begitu juga dengan al-Qur’an. Pertanyaannya, seperti apa metodologi itu? pada hemat penulis, penggabungan antara metode tahlili (analitik)-maudhu’i (tematik), adalah sebuah jawaban dalam menjawab tantangan dan mengurai fenomena masa depan.
Kedua, selalu ada kebaruan. Kebaruan di sini yang dimaksud adalah tidak menafikan temuan-temuan ilmiah yang baru. Mengingat yang namanya ilmu pasti berkembang. Apalagi al-Qur’an yang notabene-nya diturunkan digurun pasir yang gersang, di mana unsur budaya di sana sangat kental. Tentu berbeda ketika ayat al-Qur’an dipahami dalam konteks budaya Non-Arab. Dengan mengikuti perkembangan dan penafsiran baru (re-interpetasi) terhadap produk-produk tafsir yang sudah ada, maka, di dalam tafsir masa depan tetap bisa menyandang al-Qur’an sebagai shalilh likulli zaman wa makan.
Ketiga, pembebasan dari fanatisme madzhab. Diakui, produk-produk tafsir era pertengahan sangat kental dengan nuansa subyektifitas ideologis mufassirnya. Bagaimana konstruk pemikiran yang dibangun para mufassir tersebut dalam memegang teguh madzhabnya masing-masing. Produk tafsir masa depan harus bisa melepaskan dari dikotomi madzhab tertentu. Jika tafsirannya masih bersifat sektarian, mengikuti madzhab A dan madzhab B, penulis rasa tidak akan berkembang dan tidak akan bermanfaat bagi banyak orang. Karena fungsi dari al-Qur’an sendiri adalah rahmatan lil’alamien atau hudan linnas, bukan hanya untuk golongan tertentu.
Keempat, saling sapa dengan keilmuan lain. Problematika abad 21 ini lebih kompleks dibanding dengan permasalahan masa lalu atau era klasik. Dalam arti, semakin berkembang tumbuhnya teknologi dan kemajuan zaman, acap kali ditemukan masalah-masalah baru. Satu contoh seperti kasus human trafficking, korupsi, euthanasia, global warming, investasi online, illegal loging dan lain-lain. Dengan demikian, mau tidak mau al-Qur’an menjadi rujukan dari masalah kontemporer tersebut.
Dengan tahapan-tahapan di atas. Maka, tafsir masa depan yang tengah digagas mampu memberikan kontribusi positif di tengah masyarakat. Semangat kemukjizatan al-Qur’an akan selalu hidup walaupun sang penerimanya sudah wafat 14 abad yang lalu. Pada akhirnya, blue print dari tafsir masa depan sebenarnya adalah mampu membebaskan manusia dari kebodohan. Semangat itulah yang pada hemat saya dibutuhkan era sekarang maupun masa depan. Wallahhu a’lam.
Muhammad Autad An Nasher, penulis adalah penikmat kajian tafsir al-Qur’an. Bisa disapa melalui akun twitter @autad.