Minggu ini nampak menjadi masa berkabung bagi umat Muslim, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Setelah minggu lalu (18/9), Indonesia ditinggal oleh tokoh intelektual Muslim Azyumardi Azra, kini umat Muslim kembali kehilangan sosok Yusuf al-Qaradhawi, seorang intelektual, cendekiawan, ahli fiqh, dan seorang ulama progresif dari Mesir. Beliau kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa pada Senin, 26 September 2022 pada usia 96 tahun dengan meninggalkan banyak warisan keilmuwan terutama terkait wacana perkembangan Islam di zaman modern.
Benar, tokoh yang pernah berjuang dalam panji Ikhwanul Muslimin itu memang concern terhadap fenomena ketertinggalan Islam dari peradaban Barat. Sosok yang mewarisi semangat pembaharu Islam milik Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh ini terus berupaya untuk menghadapkan Islam kepada persoalan-persoalan kontemporer yang yang tidak pernah muncul pada zaman klasik sehingga Islam tetap relevan dengan gerak zaman.
Semangat Yusuf al-Qaradhawi tersebut, salah satunya, termanifestasi dalam satu magnum opus-nya “Kaifa Nata’ammal Ma’a al-Sunnah”. Di dalamnya, beliau menjelaskan bagaimana seharusnya memaknai dan mengamalkan sunnah Nabi secara kontekstual.
Al-Qaradhawi menetapkan beberapa hal yang harus diwaspadai ketika berinteraksi dengan sunnah, antara lain; berhati-hati terhadap beberapa sunnah yang menjadi justifikasi kaum ekstremis, manipulasi dari orang-orang yang sesat dengan mengadakan pemalsuan-pemalsuan dan bid’ah dalam ajaran agama Islam, penafsiran orang-orang yang tidak kompeten, serta berusaha bersikap moderat dalam memandang sunnah.
Salah satu cara untuk menjaga relevansi sunnah ala al-Qaradhawi adalah dengan memahami hadis sesuai dengan latar belakang historis dan kondisi sosial masyarakat pada masa munculnya hadis tersebut serta tujuan diberlakukannya hokum yang termuat di dalamnya.
Melihat kembali asbabul wurud sebuah hadis penting dilakukan karena hadis Nabi sewaktu-waktu hanya menyelesaikan problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporer. Dengan mengetahui konteks historis itu, seseorang dapat mengetahui hadis yang bersifat umum atau khusus, yang sementara (particular) dan berlaku selamanya (contextual). Oleh karena itu, jika situasi telah berubah dan tidak ada illat lagi maka hukum yang berkenaan akan gugur dengan sendirinya.
Konsep berpikir al-Qaradhawi tersebut sesuai dengan sebuah kaidah usul “suatu hukum berjalan sesuai dengan illat-nya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya”. Dengan demikian, maksud yang terkandung dalam sebuah hadis harus terus dijadikan pedoman dalam memahami teks hadis tersebut secara utuh.
Salah satu produk pemaknaan hadis Yusuf al-Qaradhawi adalah tentang partisipasi perempuan dalam politik sebagai anggota dewan. Dalam pergulatan diskursus gender dalam Islam, kaum Islam tradisional sangat menentang keterlibatan perempuan dalam ruang publik, termasuk berpolitik dan menjadi anggota dewan.
Salah satu dalil pengharaman perempuan untuk terlibat dalam ruang publik adalah hadis tentang larangan perempuan untuk keluar dari rumahnya kecuali dengan mahram atau ada kepentingan yang mendesak. Pendapat itu tegas ditolak oleh al-Qaradhawi. Terkait ayat larangan keluar rumah di atas, al-Qaradhawi mengatakan; pertama, ayat tersebut berbicara kepada istri-istri Rasulullah jika mengkaji konteks dan tema hadis.
Istri-istri Rasulullah memiliki kehormatan dan aturan yang lebih ketat dibandingkan perempuan lainnya, oleh karena itu, imbalan pahala yang mereka dapatkan dalam melakukan kebaikan akan dilipatgandakan, begitu juga hukuman atas perbuatan tidak baik. Kedua, Aisyah ra. mengikuti perang Jamal dan keluar dari rumah karena ia memandangnya sebagai sebuah kewajiban yaitu qishash atas wafatnya Usman bin Affan.
Satu dalil yang juga sering digunakan oleh kalangan Muslim konservatif perihal isu ini adalah tentang konsep “ar-rijālu qowwāmūna ‘ala an-nisā’i”. Yaitu bahwa parlemen merupakan wilayah laki-laki. Karena laki-laki memang memiliki karakter yang mengayomi, maka laki-laki diberi wilayah dan kekuasaan di atas perempuan.
Al-Qaradhawi merespons pandangan tersebut dengan argumentasi bahwa konsep yang terkandung dalam QS. an-Nisa: 34 tersebut membicarakan tentang qowwāmah dalam lingkup keluarga dan laki-laki sebagai pemimpin keluarga memiliki kelebihan serta tanggung jawab atas anggotanya. Kepemimpinan sebagian perempuan atas sebagian laki-laki di luar lingkup keluarga tidak termasuk dalam cakupan ayat tersebut.
Pemikiran al-Qaradhawi ini sedikit banyak terpengaruh oleh Fazlur Rahman, salah satu intelektual Muslim progresif. Menurut Fazlur Rahman, qowwāmah dalam ayat di atas dimaksudkan laki-laki memiliki tanggungjawab atas perempuan karena kelebihan yang telah diberikan oleh Allah pada sebagian atas sebagian yang lain. Kelebihan ini misalnya misalnya dalam hal mencari nafkah.
Namun Rahman menegaskan bahwa “kewajiban memberikan nafkah” ini tidak boleh ditafsirkan secara letterlek, melainkan secara fungsional. Artinya, jika seorang istri memiliki kemandirian dalam hal ekonomi dan mampu memberikan sumbangan bagi keluarganya, maka nilai keunggulan yang ada pada suami akan berkurang. Artinya, posisi kaum laki-laki atas kaum wanita, atau sebaliknya, bersifat relatif tergantung pada kualitas masing-masing individu dan perannya dalam keluarga.
Pelarangan perempuan untuk berpartisipasi dalam kebijakan publik juga dilatarbelakangi stigma bahwa perempuan kurang berpendidikan daripada laki-laki. Dalam konteks modern, Al-Qaradhawi tegas membantah hal ini. Dalam kitanya, Min Hadyi al-Islām Fatawa Mu’asirah, ia mengatakan bahwa memang dalam era klasik ilmu pengetahuan tidak tersebar luas dan merata di kalangan perempuan karena kondisi dan situasi pada zaman itu. Ijtihad dan pengambilan hukum masih menjadi domain laki-laki. Namun pada masa sekarang, jumlah pendidik perempuan sama atau mendekati jumlah pendidik laki-laki. Artinya, banyak perempuan yang memiliki kualitas intelektual dan kecerdasan di atas laki-laki.
Setelah Azyumardi Azra, satu icon Islam progresif kembali berpulang dalam kurun kurang dari satu minggu ini. Cuplikan pemikiran beliau di atas hanyalah secuil dari warisan intelektual dan pemikirannya yang melimpah terhadap peradaban dan reputasi Islam di era modern.
Akhirnya, kepergian dua tokoh besar Islam tersebut menjadi “wake up call” bagi kita. Bekal dan warisan yang mereka tinggalkan setidaknya bisa menjadi pegangan kita untuk meneruskan perjuangan menegakkan Islam yang rahmatan lil alamin dan Islam yang relevan dengan gerak zaman. Gagasan al-Qaradhawi tentang kesetaraan, penghormatan terhadap hak-hak perempuan, dan tafsir progresif layak terus kita perjuangkan. (AN)