Hikayatnya, untuk kali pertama, saya merasa mampu dan berhasill duduk berlama-lama, di ruangan seorang pimpinan, sembari sok masygul bercengkrama ngudud barengan, hingga menikmati panas kopi hitam yang disuguhkan.
Itu waktu kisaran bulan September-Oktober Tahun 2022 silam. Selepas wayah lohoran, tak sengaja saya jalan-jalan melewati ruang-ruang di lantai VIII Gedung Kementerian Agama, Jl. MH Thamrin No. 6, dan tepat di hadapan meja Kasubdit Penyuluh Agama Islam, Abdul Mu’thi Shofiq atau yang kemudian biasa saya sapa Yai Shofiq, lantas menyapa dengan kilatan senyum ringan.
Bagi saya, yang merasa marbot ingusan ini dan juga sudah lama mengagumi sikap kalem beliau, terutama sejak saya mulai menginjakkan pengabdian di Urais Bimas Islam akhir 2016 lalu, maka tak mungkin untuk mengelak ajakannya itu.
Seraya begitu saja saya langsung merapat mendekati meja, dan menyalimi tangannya.
“Mas Faat, sampeyan ini di Urais kan? Mari sini, kita ngopi-ngopi sebentar”, sapanya.
Wah, dalam batin saya, ada hal penting tampaknya yang ingin beliau obrolkan.
“Nggeh, siap Yai. Kula leres di Urais, tepatnya di Subdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik nggeh”, sambut saya.
Sembari itu, Yai Shofiq lanjut berdiri mengambil beberapa lembar berkas dan membuatnya memunggungi saya. Sekelibat saya kepikiran untuk menebak gerangan apa yang ingin beliau obrol-tunjukkan.
Secara struktural beliau ini kan Kasubdit Penyuluh Agama Islam, dan fokusnya mesti lebih kepada penguatan kapasitas aktor 50 ribu orang, ya biasanya ala-ala bimbingan teknis atau pelatihan lapangan. Karenanya ketika ia kelihatan sibuk menyibak berkas dan bundel dokumen itu, maka langsung saja saya tebak, ini mesti ada informasi lembaran data yang menarik, serta haqqul yakin saya mengira ini bukan tentang laporan rutin PAI terhadap kelompok taklim atau binaan semacamnya itu.
Tak pelak lagi, tebakanku benar, bundel itu merupakan lembaran dalam kategori dokumen “penting”. Maklum, saat itu dalam pemahaman awam saya, segala berkas yang sifatnya berupa produk regulasi pemerintah (meski berbentuk fotokopian lusuh sekalipun adalah sumber data primer dalam kajian atas sebuah kebijakan).
“Ini, saya ketitipan amanat, di laci saya ada beberapa lembar berkas fotokopian terkait Badan Kesejahteraan Masjid (BKM), dan bukankah di situ (baca: Dit. Urais Binsyar atau Subdit Kemasjidan) baru bangkit lagi beresin BKM ? Singgung Yai Shofiq. “Coba berkas ini dimanfaatkan oleh Urais, yang sedang dapat amanat Gus Men untuk kembali menghidupkan BKM, semoga saja ada fotokopian aturan ini yang bermanfaat,” sambungnya.
Kembali dalam hari saya bergumam, kalau tidak salah Yai Shofiq, dalam karir kepegawaiannya di tahun 2003-an memang pernah memulai tugas di bidang perwakafan, di mana Masjid menjadi salah satu objek penting layanan terpenting. Dan dugaan saya, kenapa Yai Shofiq ini jeli benar karena selain ia mendapatkan titipan berkas fotokopian tersebut, beliau juga berkenan untuk bertukar pikiran menunjukkan urgensi antara regulasi wakaf, status fenomena masjid dan bidang konflik, justeru karena ketiganya kerap berkelindan sebagai sumber sengketa di masyarakat yang sulit diabaikan. Maka khusnudzan saya, karena alasan ini beliau merasa berkepentingan untuk menyampaikan amanat yang beliau pegang.
Kembali saat melihat satu contoh lembar fotokopian yang Yai Shofiq berikan, saya terperanjat senang, “wah dokumennya berisikan kebijakan di eranya Kiai Wahib Wahab, nih ! Hingga lanjut kemudian melihat pada dua-tiga lembar fotokopian lainnya, saya sempat mengucapkan terima kasih ke beliau karena tampak penanda kepemimpinan era selanjutnya, yakni Kiai Saifuddin Zuhri, A. Mukti Ali dan Alamsjah Ratu Perwiranegara, hingga Munawir Syadzali.
Jika dihitung dalam rentang era kepemimpinan tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa kebijakan terkait BKM berdasarkan bundel fotokopian regulasi yang ditunjukkan oleh Yai Shofiq itu, yakni keaktifannya berlangsung cukup dinamis pada fase Kiai Wahib Wahab (1959-1962), fase Kiai Saifuddin Zuhri (1962-1967), A. Mukti Ali (1971-1978) dan Alamsjah Ratu Perwiranegara (1978-1983), hingga Munawir Syadzali (1983-1993), atau kisaran 34 tahun masa pemerintahan.
Laju, bentuk dan sikap sumringah tiba-tiba muncul, khususnya ketika mendapatkan fakta di atas, yang memuat beragam informasi (yang memiliki penanda atas nama siapapun) dan berposisi sebagai pemegang otoritas Kementerian Agama akan sangat berharga. Hal ini secara kebetulan berdasarkan ghirah kebutuhan mandiri, yang dengan awam menilai bahwa ada situasi mendesak untuk melacak kembali sejarah ihwal kebijakan layanan keagamaan dari “rumah tua 46” ini. Kemendesakan untuk melacak kembali aspek historis peranan layanan keagamaan dari organisasi yang berusia 78 tahun ini, menjadi sangat urgen dan penting guna membuktikan betapa kemaslahatan publik (maslahatul ammah), adalah tujuan sebesar-besarnya lahir dan berdirinya sebuah republik.
Cukup jamak diketahui bahwa Kementerian Agama secara de jure ditandakan baru muncul di tanggal 3 Januari 1946, namun berdasarkan riwayat kebijakan yang dikawal dan dilayaninya telah hidup melewati fase-fase hishtoris di era pemerintahan (Republik Indonesia maupun Kolonial) sebelumnya. Misalnya melalui Badan Kesejahteraan Masjid (Bakemas kemudian BKM) dapat diketahui meski dalam penggunaan nomenklaturnya baru tertera di tahun 1964, namun estafet kebijakannya melekat kuat pada fase sebelumnya yakni dengan nomenklatur Pengurus Kas Masjid (1947-1964) diiringi penanda jauhnya bahwa layanan Kementerian Agama di bidang Kemasjidan itu memiliki cikal kebijakan sejak tahun 1893 dengan sebutan “Beheerscommissie” atau Komisi Kas Masjid di era Kolonial Belandaa.
Kedudukan Kas Masjid menjadi sangat penting, karena ia merupakan bagian dari layanan keagamaan yang telah ada sejak era kolonial namun tetap berlangsung hingga pasca kemerdekaan, seperti halnya masalah Pencatatan Perkawinan umat Islam, peranan Peradilan Agama, Penentuan Awal Bulan Qamariyah, Pendidikan Agama dan seterusnya. Kalau meminjam istilahnya Mukti Ali, terkait hal keagamaan ini (konteks awalnya terkait Hisab dan Rukyat) adalah hal klasik yang selalu aktual.
Dalam bahasan Aqib Suminto (1985) yang merujuk pada paper Pijper, disebutkan bahwa Kas Masjid adalah sejumlah uang yang dikumpulkan dan menjadi milik suatu masjid. Adapun keuangan masjid, diperoleh dari uang nikah, zakat, waqaf dan sadaqah. Kepengurusannya kemudian ditangani oleh Penghulu yang berada di bawah pengawasan Bupati, dan turut berkewajiban dalam pengelolaan urusan masjid (peribadatan dan layanan), serta menerima honorarium melalui kas masjid tersebut.
Perkembangan kas masjid setelah melewati fase kemerdekaan di era orde lama, orde baru hingga reformasi kemudian terus berkembang secara dinamis, unik dan situasional.
Sebagaimana temuan Amelia Fauzia (2016), Kas Masjid menjadi bagian tak terpisahkan dalam perkembangan model pemberdayaan filantori Islam di Indonesia di masa mendatang, terutama pada puncak jalur konstitusional yakni pada pengelolaan zakat (UU No. 38/1999) dan wakaf (UU No. 41/2004), yang dalam aturan mainnya memberikan ruang otoritas terbuka baik oleh pemerintah maupun non pemerintah (yayasan, ormas keagamaan dll).
Uniknya dalam kajian Fauzia di atas, kedudukan Kas Masjid belum mendapatkan porsi penelitian dari aspek kelembagaannya terutama yang berkisar dalam otoritas Kementerian Agama, seperti perjalanan Pengurus Kas Masjid (PMA No. 3/1952), Yayasan Kas Masjid Pusat (No. Akta Notaris 1954/PMA No. 52/1956), Badan Pengawas Kas Masjid Pusat (PMA. No. 4/1954), Badan Kesejahteraan Masjid (Bakemas; PMA No. 5/1964), Badan Kesejahteraan Masjid BKM (PMA No.1/1970), maupun pada unsur perkembangan tata kelola sumber dana BKM selain wakaf, yakni pada Dana Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (KMA No. h65/1972).
Bahwa ditemukannya dinamika perkembangan Kas Masjid dalam peneguhan kelembagaan filantropi Islam, seperti Baitul Maal, Badan Amil Zakat daerah, Baznas dan tata Kelola Wakaf melalui Badan Wakaf Indonesia, itu menjadi sangat penting. Dan hal tersebut justeru dapat menunjukkan betapa pereduksian fungsi Badan Kesejahteraan Masjid (yang bermula dari Kas Masjid), di era kiwari tidak lagi menjadi wadah tunggal pengelolaan Ziswaf maupun penyalurannya, dikarenakan hanya sekadar atau tersisa pada aspek pengelolaan dari sisi administrasi data kemasjidan (Tipologi Masjid, Registrasi Sistem Informasi Masjid, Rekomendasi Bantuan, Standardisasi Imam, Masjid Percontohan dan Program Masjid Ramah) an sich. Begitupula selanjutnya, setelah ada aturan baru tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka uang nikah sudah tidak lagi menjadi sumber dari BKM.
Syahdan, dengan sedikit mengerem dan mengendalikan emosi kebahagiaan saya saat berdiskusi ringan dengan sosok Yai Shofiq, lantas saya memohon maaf serta coba meminta izin kepada beliau bahwa langkah tepat yang bisa segera diambil atas dokumen historis itu adalah dengan mengkoordinasikannya kepada unit kerja terkait, yakni Subdit Kemasjidan, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah.
Tak lama dari pertemuan September 2022 itu, Yai Shofiq mendapatkan amanat baru sebagai Kasubdit Seni Budaya dan Penyiaraan Islam, saya sempat bertemu dengannya satu kali, dan lagi-lagi terjadi pada saat Rapat Kerja Nasional BKM di Asrama Pondok Gede, Bekasi September 2023. Dalam pesannya beliau sempat melanjutkan update informasi bahwa sebundel kecil berkas BKM telah dikoordinasikan ke Bagian Kemasjidan, dan bersyukur bahwa amanat yang dititipkan padanya sudah ditunaikan-dimanfaatkan dalam kepentingan kebijakan.
Memasuki awal tahun 2024 atau beberapa bulan lalu, Yai Shofiq tak disangka justru melanjutkan tugasnya sebagai Kasubdit Kelembagaan dan Informasi Zakat Wakaf, Ditjen Bimas Islam. Tak sempat saya bertemu kembali dengan beliau di tahun 2024 ini, malah tiba-tiba tanggal 5 Syawwal 1445 H/15 April 2024, mendapatkan kabar duka, tentang kepulangannya untuk selama-lamanya. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun.
Selamat Berpulang Yai Shofiq, telah sampai dirimu pada titik wakaf, namun niscayalah jariyah kebaikanmu akan langgeng dan bermaslahat untuk selamanya.