Meninggalnya KH. Sholahuddin Wahid meninggalkan tugas berat kepada anak bangsa, terutama kepada umat muslim, yaitu menjaga dialog antara keindonesiaan dan keislaman. Sebab bila dua hal tersebut berjalan sendiri-sendiri, maka yang terjadi adalah tumpang tindih kepentingan antara agama dan nasionalisme. Padahal keduanya adalah dua hal yang berbeda yang tidak berpotensi bertentangan.
Istilah keindonesiaan dan keislaman dalam spektrum pemikiran Gus Sholah dapat dilihat dari dua artikel beliau yang dimuat dua media massa nasional: “Keindonesian dan Keislaman”, dimuat harian Kompas pada 16 Mei 2017, dan “Memadukan Keindonesiaan dan Keislaman”, dimuat harian Republika 1 September 2017. Dua artikel tersebut sama-sama berbicara salah satunya tentang pentingnya senantiasa ada dialog antara keindonesiaan dan keislaman.
Fakta Kebhinekaan
Gagasan keindonesiaan dan keislaman berpijak pada beberapa hal yang mengiringi kebhinekaan bangsa Indonesia:
Pertama, indonesia terdiri tidak dari satu agama. Indonesia terdiri dari lebih dari tiga agama hidup berdampingan dalam sebuah negara. Konsekwensinya, negara harus bisa menyusun perundang-undangan yang bisa mengayomi agama-agama tersebut. Islam sendiri sebagai satu dari sekian agama sekaligus pemilik pemeluk agama terbesar, pun mau tak mau harus bisa mengatur kesepakatan bersama dengan agama lain, juga dengan fihak yang lebih berpihak pada gagasan kenegaraan daripada agama.
Kedua, fakta pertentangan keindonesiaan dan keislaman. Pertentangan ini ada semenjak 1945, yaitu saat anggota sidang BPUPKI membicarakan bentuk dasar negara yang tepat bagi Indonesia. Tarik ulur kebijakan bernuansa Keindonesiaan dan kebijakan bernuansa Keislaman di kemudian hari selalu mewarnai pembentukan perundang-undangan. Di antaranya sistem pendidikan, UU Perkawinan, UU tentang zakat, UU tentang perkawinan dan sebagainya.
Ketiga, keberhasilan dialog keindonesiaan dan keislaman. Meski ada gesekan antara keindonesiaan dan keislaman, yang penting diingat bahwa para pendahulu dari kedua belah pihak selalu mengadakan dialog untuk menyelaraskan visi dan misi. Dan dialog ini bukan tanpa hasil. Beberapa hasil dialog tersebut adalah diterimanya pancasila sebagai asas negara pada awal 1980-an.
Dalam permasalahan pancasila, sebelum ormas Islam menerima pancasila sebagai dasar negara, syuriah PBNU membentuk sebuah tim untuk mengkaji hubungan antara Islam dan pancasila. Hasilnya, pancasila meski tidak dikenal secara istilah oleh Islam, tapi diketahui memuat prinsip-prinsip yang tidak bertentangan ajaran Islam. Sehingga menjadikan Pancasila sebagai dasar negara bukan berarti mengorbankan syariat Islam.
Perkembangan Baru Dialog Tentang Pancasila
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang notabene merupakan warga organisasi Nahdlatul Ulama’ kemudian menyatakan sikapnya secara khusus mengenai pancasila. Hal ini ditegaskan oleh KH. Achmad Shiddiq dalam muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo. KH. Achmad Shiddiq menyampaikan, Republik Indonesia adalah bentuk final. Dan ulama’ NU meyakini pancasila sebagai jalan perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial (KH. Husain Muhammad, 2015).
Dan kini, dengan disahkankannya RUU Pesantren, pesantren sebagai lembaga berorientasi Keislaman menjadi kekuatan baru bagi pancasila. RUU Pesantren disahkan oleh DPR RI pada tanggal 24 September 2019. Meski undang-undang ini tidak hanya mengakomodir pesantren sebagai lembaga pendidikan bagi penganut agama Islam, tapi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan yang kini getol memperjuangkan terpeliharanya NKRI, melalui ditegakkannya pancasila dan UUD 1945. Tentu ini akan menjadi kekuatan baru penegakan pancasila, sekaligus ancaman bagi ideologi khilafah. Disahkannya RUU pesantren adalah keberhasilan baru dialog antara Keindonesiaan dan Keislaman.
Menjaga Dialog antara Keindonesiaan dan Keislaman
Gus Sholah yang dalam dua artikel di atas mengemukakan tentang Keindonesiaan dan Keislaman tidak sedang memperjelas keberadaan dua kubu tersebut. Tapi, menunjukkan fakta keberadaan dua kubu tersebut yang tak bisa dipungkiri keberadaannya. Dan sikap seharusnya bukan dengan menyamarkan keduanya. Sebab, melarang umat muslim mengemukakan mengekspresikan pandangan Islam terhadap kebijakan Keindonesiaan secara baik dan benar sendiri, melanggar undang-undang kebebasan pendapat yang dijunjung tinggi para pemangku gagasan Keindonesiaan.
Maka keindonesiaan dan keislaman harus tetap ada. Tapi, tidak untuk dipertentangkan. Melainkan untuk senantisa dibuatkan momen dialog. Sehingga hal-hal remeh seperti perbedaan istilah secara cara pandang yang tak pada dasarnya bukan perbedaan secara subtansif, tidak menjadi pemicu perpecahan. Terlebih sampai mengorbankan jiwa, harta dan kehormatan, yang sama-sama dikawal keduanya.