Sebelum berakhir ‘masa tugas’ Rasul Muhammad SAW sebagai pembawa risalah keislaman kepada seluruh umat manusia, beliau telah menyiapkan wasiat bahwa sepeninggalannya nanti, akan ada pewaris tahta keilmuannya. Sehingga manusia tak akan salah jalan dan tetap berada di jalur keislaman seperti yang telah rasul arahkan. Pewaris tersebut adalah ulama, sosok yang mewarisi ajaran dan akhlak rasul untuk kemudian menjadi pemandu umat dalam meniti hidup yang penuh berkat.
Lantas, siapakah orang yang layak disebut ulama? Apakah mereka yang menguasai mimbar-mimbar keagamaan? Atau justru mereka yang memilih berada di keheningan, jauh dari hingar bingar kemewahan keduniaan?
Dalam kitab Akhlaq al-Ulama’, Abu Bakar Muhammad bin Al Husain bin Abdullah Al Ajurri menjelaskan bahwa ulama, meskipun mereka adalah pewaris nabi, bukanlah manusia sempurna. Mereka terkadang juga melakukan kekhilafan, sama seperti manusia lain pada umumnya. Hanya saja, para ulama ini memiliki tingkat moralitas tinggi yang menjadi rujukan semua insan. Mereka segera memohon ampun kepada Tuhan saat sadar telah melakukan kesalahan. Mereka pun tak anti untuk meminta maaf terhadap sesama jika memang telah berbuat dosa.
Mengutip ayat Quran Surat Fathir: 28, ciri utama ulama memang bukan kesempurnaannya, tetapi taqwanya terhadap Allah. “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama…” demikian kata Allah.
Karenanya, orang yang berilmu belum tentu bisa disebut sebagai ulama, hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Abdussalam bin Barjas, “Bukan dinamakan alim bila sekadar fasih (piawai) dalam berbicara atau pandai menulis, orang yang menyebarluaskan karya-karya atau orang yang men-tahqiq kitab-kitab yang masih dalam tulisan tangan.”
Gelar ulama hanya layak disandangkan kepada orang-orang yang dapat memadukan antara ilmu dan akhlak. Ibnu Rajab al Hambali menjelaskan ciri ulama sebagai berikut; “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-ngaku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi as-Sunnah.”
Berbeda dengan orang yang hanya berilmu, ulama tidak menggunakan keilmuannya hanya untuk ajang gagah-gagahan atau pamer kesombongan. Mereka simpan dan gunakan baik-baik ilmunya hanya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka juga tak suka dengan segala bentuk pujian, karenanya ulama yang sesungguhnya tak akan pernah berebut panggung hanya agar mendapat sanjungan. Akhlak mulia ulama juga menjauhkannya dari sikap mencela sambil merasa diri paling mulia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ulama bukanlah mereka yang paling rajin mengisi mimbar-mimbar keagamaan namun menyesakinya dengan orasi kebencian, bukan pula mereka yang gemar membuat sensasi agar mendapat sorot kamera TV. Keilmuan seorang ulama tak bisa diukur dari banyaknya jumlah hafalan ayat, namun pada seberapa banyak mereka mampu memberi manfaat.
Kepada para ulama yang demikian, kita wajib patuh, menyayangi serta memuliakan. Mereka adalah pewaris nabi dan Allah meninggikan derajat mereka sebagaimana disebut di QS; Al Mujadilah: 11. Sementara kepada orang-orang yang mendaku diri sebagai ulama, kita mohonkan ampunan dan petunjuk agar mereka dikembalikan ke jalan yang benar.
*) Khoirul Anam, peneliti Pusat Studi Pesantren.