Kalau kita membuka Al-Qur’an yang masing-masing kita baca, pernahkah terlintas di benak kita siapa yang menuliskan teks Al-Qur’an ini? Apakah teks Al-Qur’an ini ditulis sudah sebagai font computer sehingga dikerjakan secara digital, atau masih ditulis manual? Dan, mengapa terkadang kita melihat bentuk model penulisan yang sedikit berbeda dari satu naskah Al-Qur’an ke naskah yang lainnya?
Jawabannya, itu disebabkan oleh perkembangan rasm (tulisan) Al-Qur’an yang berbeda-beda. Ada beberapa pengenalan istilah singkat yang penulis rasa perlu diketahui. Kata rasm merujuk kepada tulisan Al-Qur’an itu sendiri, yang telah distandarkan sejak zaman ‘Utsman bin ‘Affān. Beragam perkembangan gaya huruf Arab/jenis font Arab termasuk yang digunakan dalam penulisan Al-Qur’an, itulah yang disebut sebagai khatt. Karenanya, ada berbagai macam khatt, mulai dari naskhī, riq’ah/riq’ī, tsuluts, dīwānī, dan sebagainya. Yang terakhir inilah yang akan kita bicarakan salah seorang tokohnya, bernama ‘Utsman Thaha.
Selain rasm dan khaṭ, ada juga yang kerap kita sebut sebagai harakat (untuk huruf apakah dibaca a, i, u, tanpa suara (sukun), tasydid atau tanwin). Ilmu yang membahas cara menuliskan harakat, atau sebenarnya yang lebih tepat adalah Ilmu Ḍabt al-Mushaf, yaitu ilmu yang membahas tentang tata penulisan fonetis (diakritik) huruf-huruf Al-Qur’an. Seperti dibahas dalam buku Diakritik al-Qur’an: Mengenal Lebih Dekat Ilmu Ḍabt Mushaf karya Ulin Nuha Mahfudhon, ilmu Ḍabt ini yang kemudian beriringan dengan kajian ilmu Tajwīd. Jika Ḍabt fokus pada cara penulisan tanda baca, maka tajwīd pada bagaimana membaca tanda baca tersebut. Dan, baik Ḍabt maupun tajwīd bergantung kepada jenis Qirā’at (ragam riwayat bacaan Al-Qur’an yang diterapkan)
Profil Utsman Thaha: Penulis Khat Al-Qur’an
‘Utsman Thaha aslinya merupakan warga Suriah. Sosoknya bernama lengkap ‘Utsman bin ‘Abduh bin Husain bin Thaha al-Halbi. Dari namanya, kita bisa tahu kalau beliau berasal dari wilayah Suriah, tepatnya kota Aleppo (Arab: Halb). Beliau dilahirkan di wilayah pedesaan kota Aleppo pada tahun 1934 M/1352 H. Ayahnya adalah Syaikh ‘Abduh Husain Thaha, seorang Imam Masjid dan pengajar agama di kampung. ‘Utsman pertama kali belajar tulisan Arab indah (al-Khaṭ al-‘Arabī) dari ayahnya sendiri, yang pakar dalam menulis kaligrafi dengan khaṭ Riq’ah.
Sejak belia, ‘Utsman nampaknya sudah tertarik dengan bidang Seni Kaligrafi. Ini terbukti sejak ia di sekolah dasar hingga masa sebelum kuliah, beliau banyak berguru kepada para guru di bidang Khaṭ di kota Aleppo. Beberapa nama guru beliau diantaranya adalah Syaikh Muhammad ‘Ali al-Mawlawi, Muhammad al-Khatīb, Husain Hasani at-Turki, Syaikh ‘Abd al-Jawwad, dan al-Ustādz Ibrāhīm Rifā’ī (ahli khat terkenal dari kota Alleppo).
Alih-alih beliau mendalami ilmu khat sejak belia, ketika memamsuki universitas, beliau melanjutkan kuliah di bidang Syariah di Universitas Damaskus pada tahun 1964 M/1383 H dan Diploma Pendidikan di Fakultas Tarbiyah pada universitas yang sama di tahun berikutnya. Namun kembali lagi, selama belajar di Damaskus, ‘Utsman Thaha kembali berkenalan dengan ahli khat di kota tersebut, seperti Muhammad Badawi ad-Dīrānī (ahli khat wilayah Syam) yang menjadi guru ‘Utsman di bidang Khatt Fārisī dan Khatt Tsulus; Ustadz Hasyim Muhammad al-Baghdādī, ulama Irak yang pernah mengunjungi kota Damaskus. Banyak masjid di kota Baghdad kaligrafinya merupakan buah karya Hāsyim al-Baghdadī. Saat beliau berkunjung ke Damaskus, ‘Utsman belajar banyak darinya tentang khat Tsulus dan Naskhi darinya.
Saat di Damaskus juga, ‘Utsman Thaha menerima ijazah keilmuan di bidang menulis khatt indah dari Ahli Khat Turki yang dijuluki sebagai Syaikh al-Khaṭṭāṭīn (gurunya ahli menulis indah), Syaikh Musa ‘Azmī atau yang lebih dienal dengan Hāmid al-Āmidī. Hāmid juga salah seorang guru dari Hasyim al-Baghdādī, guru ‘Utsman Thaha juga.
Awal Karir Menulis Al-Qur’an
Pasca mendapatkkan ijazah dari Syaikh Hāmid, ‘Utsman Thaha mulai diterima menjadi penulis naskah mushaf Al-Qur’an. Pertama kali yang meminta beliau adalah Kementerian Wakaf Suriah (seperti Kementerian Agama kalau di Indonesia) sendiri, tahun 1970 untuk menulis Mushaf Al-Qur’an Suriah. Beberapa tahun kemudian, beliau diminta secara langsung oleh Pemerintah Arab Saudi untuk menjadi penulis naskah Al-Qur’an yang akan dicetak oleh Percetakan Al-Qur’an Arab Saudi, Majma’ Malik al-Fahd li Thibā’ah al-Muṣḥaf al-Sharīf. Karyanya dirilis pada tahun 1988, empat tahun setelah pembukaan Majma’ sendiri di tahun 1984.
Penting diketahui kalau teks Al-Qur’an sebenarnya adalah bagian dari karya seni karya para ahli khatt (kaligrafi) Arab. Dan, sebelum era digitalisasi, penulisan gaya huruf bahasa apapun, termasuk huruf Arab, dalam hal ini yang digunakan dalam penulisan Al-Qur’an, awalnya dikerjakan secara manual.
Dalam teks Al-Qur’an sendiri sebenarnya ada banyak aspek yang sifatnya ijtihadi dan baru muncul beberapa abad setelah Nabi wafat. Misalnya, penambahan titik pada beberapa huruf (ta’, tsa’, syin, ya’) dan harakat, baru mulai mapan di era Khalīl al-Farāhīdī, seorang ahli bahasa di Baghdad yang dikenal sebagai perintis kajian bahasa Arab yang saat ini kita kenal. Sebelumnya, upaya fonetis pertama dilakukan oleh Abu al-Aswad ad-Du’ali yang hanya menambah titik, dengan titik di atas huruf penanda bacaan fathah dan titik di bawah sebagai penanda bacaan dhammah.
Karenanya, penulisan Al-Qur’an sendiri, meskipun tetap berpegang pada standar-standar kaidah yang ditetapkan dalam kajian Qira’at, Rasm, maupun Khatt, namun ini tetap menghasilkan keragaman sedikit dalam penulisan Al-Qur’an. Termasuk antara antara naskah Al-Qur’an yang ditulis oleh ‘Utsmān Thaha untuk Al-Qur’an yang dirilis Pemerintah Arab Saudi dengan Al-Qur’an yang dirilis di Indonesia sendiri. Di Indonesia misalnya, naskah Al-Qur’an yang resmi dirilis oleh Unit Percetakan Al-Qur’an Kementerian Agama disebut sebagai Mushaf Standar Indonesia yang pertama kali dirilis pada tahun 1984.
Sebelumnya, naskah Al-Qur’an yang beredar di wilayah Indonesia atau Asia Tenggara pra-kemerdekaan, berasal dari percetakan-percetakan di Singapura, India (dikenal dengan istilah Mushaf Bombay, dan merupakan naskah yang paling banyak direproduksi berbagai penerbit Al-Qur’an di Indonesia sebelum distandarkan oleh Kementerian Agama), Turki, dan Mesir.
Ciri Khas Mushaf Karya ‘Utsman Thaha
Selama hidupnya, ‘Utsman Thaha disebut sudah menulis sebanyak 13 naskah Al-Qur’an. Ada beberapa ciri Mushaf yang ditulis oleh ‘Utsman Thaha diantaranya adalah:
- Menghindari cara penulisan huruf yang terlalu bertumpuk, sehingga terjaga dari kerumitan dalam pembacaan serta terhindar dari penyimpangan kaidah penulisan yang benar.
- Meniadakan penggunaan variasi dari pola-pola huruf tertentu untuk menghindari kerancuan antara satu huruf dengan huruf lain yang mirip cara penulisannya, seperti: bentuk “ha besar yang terbuka”, bentuk “mim kecil yang tertutup” dengan berbagai ragamnya, bentul “ra’ yang panjang melengkung”, dan lain-lain.
- Menggunakan pola penulisan huruf yang melebar dari satu huruf ke huruf selanjutnya, agar penulisan harakat pada setiap huruf tampak jelas dan tidak bertumpuk. Pola ini digunakan dalam khath Kufi yang menjadi standar penulisan Al Qur’an di jaman para sahabat dahulu.
- Memiliki standar baris pada tiap halaman yang tidak dimiliki oleh mushaf yang lain, sehingga terdapat keseragaman dalam setiap juznya. Aturannya adalah: Satu juz selalu terdiri dari 20 halaman [kacuali juz 30 yang terdiri dari 23 halaman] dan satu halaman selalu terdiri dari 15 baris. Akhir halaman juga selalu akhir ayat atau akhir surat (ciri khas ini juga dapat kita temukan dalam mushaf standar Indonesia terbitan Kementerian Agama).
Untuk Majma’ Fahd sendiri, mengutip dari harian Alriyadh, naskah Mushaf yang ditulis ‘Utsman Thaha sudah mencapai empat naskah. Setiap naskah ditulis selama lebih dari 3 tahun dan membutuhkan waktu uji sahih dan koreksi selama sekitar 1 tahun. Setiap naskah ditulis di sebuah lembaran besar berukuran 100 x 70 cm. Berat setiap naskah mencapai 60 kg. Setiap naskah menggunakan tinta dan kertas yang khusus. Buah karya ‘Utsman Thaha inilah yang menjadi bagian dari kurang lebih 300 juta naskah cetakan yang diterbitkan Majma’ Fahd, baik terdiri dari naskah Al-Qur’an satuan, naskah Al-Qur’an per juz, maupun naskah Al-Qur’an terjemah (termasuk yang pernah beredar luas di Indonesia).
Hasil buah tangan ‘Utsman Thaha begitu bermanfaat untuk pembaca Al-Qur’an tidak hanya di Arab Saudi, tapi di berbagai belahan dunia yang menerima upaya penyebaran Al-Qur’an yang dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi. Salah satu kisahnya adalah seorang tamu dari Sudan yang menjadi tamu undangan Umrah dari Raja Salman. Ini terjadi saat ‘Utsman Thaha berada di ruangan yang disediakan untuk tamu umrah undangan Raja Salman. Tamu asal Sudan itu lalu mencium kepala ‘Utsman Thaha seraya berkata: “khattathta kalaama Allah bi yadik, tastahiqqu man yuqabbil ra’saka” (Engkau menulis firman Allah dengan tanganmu, wajahmu mendapatkan kepantasan untuk dicium).