Dalam kesejarahan Islam klasik sebenarnya tidak hanya cerita-cerita saja saja, melainkan juga ada cerita yang menegangkan bahkan konflik di dalamnya. Salah satu sejarah konflik di masa Islam klasik adalah tragedi mihnah. Tragedi mihnah diperlihatkan secara spesifik pada masa dinasti Abbasyiah, khususnya pada khalifah Al-Ma’mun sekitar 813 Masehi. Al-Ma’mun dikenal sebagai pecinta ilmu.
Pada masa pemerintahannya, Al-Ma’mun mendirikan Bait Al-Hikmah untuk menunjang perkembangan keilmuan di dunia Islam. Upaya Al-Ma’mun untuk mendirikan pusat studi tidak sia-sia. Khazanah intelektual Islam berkembang sangat pesat. Tradisi keilmuan Yunani kuno diterjemahkan dalam bahasa Arab. Perkembangan ilmu filsafat, astronomi, dan ilmu lainnya menunjukkan kapasitas seorang khilafah yang mencintai ilmu.
Akan tetapi, dibalik kecintaannya terhadap ilmu, Al-Ma’mun justru tidak menaruh rasa simpati dan hormat kepada ulama fiqh. Terbukti ketika ada perselingkungan antara agama dan politik, Al-Ma’mun menggunakan kekuasaannya untuk menyamaratakan pemahaman tentang kemakhlukan Al-Qur’an kepada warga negaranya, baik pejabat maupun masyarakat sipil. Tragedi ini kemudian dikenal dengan istilah mihnah.
Dari segi bahasa ‘mihnah’ berarti ujian. Secara umum kata ‘mihnah’ digunakan bagi semua penderitaan yang dirasakan manusia baik karena sakit, kesulitan hidup, dipersulit hidupnya, pemukulan, penghinaan atau pembunuhan. Menurut Abid Al-Jabiri, mihnah pada masa dinasti, memiliki pengertian tindakan senonoh dan penyiksaan yang diterima oleh ulama karena suatu pendapat atau sikap mereka yang dilakukan oleh penguasa atau dari lawan-lawan mazhab mereka (Abid al-Jabiri: 2003).
Pada saat Al-Ma’mun menjabat sebagai khalifah, Al-Ma’mun mengeluarkan surat-surat untuk dilaksanakannya mihnah. Belum lama surat pertama baru ditulis, Al-Ma’mun menulis surat kedua untuk gubernur Irak. Dalam isi surat kedua tersebut, Al-Ma’mun memerintahkan gubernur Irak untuk membawa tujuh ulama.
Terdapat dua hal baru dalam surat kedua Al-Ma’mun. Pertama, tuduhan Al-Ma’mun terhadap pihak yang menentang kemakhlukan al-Qur’an sebagai menyerupai kaum Nasrani yang berpandangan bahwa Isa sebagai ‘Firman Tuhan yang kadim’, karenanya mereka telah menjadikan adanya sekutu bagi ke ‘kadiman Tuhan’. Kedua, perintah Al-Ma’mun kepada gubernurnya di Baghdad untuk memberlakukan mihnah secara umum yang melibatkan semua pejabat Negara, apabila mereka telah sejalan dengan pandangan khalifah, mereka disuruh melaksanakan mihnah kepada seluruh bawahannya seperti para hakim, juru saksi dan lain sebagainya.
Al-Jabiri menjelaskan bahwa mihnah di atas merupakan yang pertama. Kematian Al-Ma’mun menjadi tanda berakhirnya mihnah pertama. Akan tetapi, tragedi mihnah tidak terkubur bersama meninggalnya Al-Ma’mun. Setelah kematian Al-Ma’mun yang menjadi khalifah adalah al-Mu’tashim kemudian diteruskan oleh al-Watsiq. Bahkan tindakan mihnah semakin menguat, khususnya terhadap Ibnu Hanbal seorang ulama fiqh ahl sunnah.
Ini membuktikan bahwa persoalan mihnah tidak hanya persoalan pemikiran keagamaan yang dipaksakan oleh Al-Ma’mun, akan tetapi merupakan persoalan negara atau keamanan negara. Persoalan ini juga mempertegas bahwa pandangan tentang kemakhlukan al-Qur’an merupakan sikap politik negara yang harus dipertahankan.
Sikap politik ini ditunjukkan oleh al-Mu’tashim dengan cara yang lebih represif terhadap ancaman yang bersifat ideologis seperti yang ditunjukkan oleh kalangan ahli sunnah wal jamaah yang memiliki jargon “al-Qur’an ghairu makhluqin”. Untuk mengantisipasi merebaknya ideologi tersebut, al-Mu’tashim memerintahkan kebijakan yang terkait dengan kemakhlukan al-Qur’an ke seluruh wilayah negara. Al-Mu’tashim memerintahkan para guru agar mengajarkan pandangan tersebut kepada para anak didiknya, bertindak keras terhadap yang keberatan, membunuh banyak ulama yang bersikeras menolaknya, serta menyiksa imam Ahmad bin Hanbal.
Penyiksaan terhadap imam Ibn Hanbal terjadi dua tahun sesudah al-Mu’tashim berkuasa. Ibnu Hanbal mengalami siksaan dengan didera menggunakan cambuk, diteror dan diinterogasi serta dijebloskan ke dalam penjara selama 28 tahun. Hal ini dikarenakan Ibnu Hanbal masih bertahan dengan gagasannya yang menolak kemakhlukan al-Qur’an. Oleh karenanya, meskipun khalifah telah berganti, Ibnu Hanbal masih mendapat siksaan dari pemerintah pada saat itu. Di samping itu juga, hal ini menjadi penanda adanya mihnah kedua setelah kematian al-Ma’mun.
Mihnah kedua ini berakhir ketika al-Mu’tashim meninggal dan digantikan dengan al-Watsiq. Digantikannya khalifah al-Mu’tashim oleh al-Watsiq menandakan tragedi mihnah telah memasuki babak ketiga. Babak ketiga tragedi mihnah ini ditandai dengan digantikannya peran utama dalam mihnah ke dua yaitu Ibnu Hanbal. Semenjak memasuki babak ketiga, situasi di Baghdad semakin kacau. Bahkan pada saat ada pertemuan di rumah Ibnu Hanbal, mereka menyepakati untuk bertindak melawan terhadap kekuasaan. Isu ini kemudian didengar oleh penguasa dan akhirnya Ibnu Hanbal mendapat surat dari khalifah untuk tidak mengadakan pertemuan di rumahnya.
Pada saat itu juga Ibnu Hanbal sudah tidak muncul lagi di hadapan publik. Akan tetapi, pada saat kekuasaan al-Watsiq muncul nama lain yang menjadi simbol pahlawan yaitu Ahmad bin Nashr al-Khaza’i. Beliau adalah seorang ahli hadits. Dalam tragedi ini, beliau banyak berdebat dengan khalifah al-Watsiq tentang kemakhlukan al-Qur’an. Akan tetapi, karena al-Khaza’i bersikukuh dengan pandangannya yang menolak menganggap bahwa al-Qur’an adalah makhluk, maka beliau kemudian dihukum mati dan pengikutnya juga dipenjarakan.
Itulah ketiga babak mihnah dalam sejarah Islam di masa penguasa dinasti. Tragedi itu menunjukkan bahwa sejarah Islam klasik tidak didominasi oleh cerita-cerita yang manis belaka, akan tetapi dibalik itu semua sesungguhnya ada catatan sejarah yang tidak akan pernah dilupakan. Ini menjadi pembelajaran umat muslim semua bahwa memang persekongkolan antara politik dan agama tidak sepatutnya menyebabkan adanya pembunuhan dan diskriminasi atas sesama umat muslim.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.