Fakta bahwa Al-Qur’an dipenuhi dengan isu-isu yang dialami oleh bangsa Arab abad ke-7 dan jarang mendiskusikan berbagai peristiwa yang terjadi diluar kawasan itu, menjadi bukti bahwa ayat-ayat Alquran diturunkan sesuai dengan lingkungan Arab saat itu, juga tentang bagaimana Al-Qur’an merespon persoan-persoalan kaum perempuan, ketidaksetaran, dan sebagainya.
Jika kemudian hari berkembang ilmu untuk memahami Al-Qur’an, bukan berarti tak perlu lagi memahami potret tradisi dan budaya sebelum Al-Qur’an diturunkan. Ibnu Marzuban misalnya, menyusun Al-Hawi Fi Ulum Alquran pada abad keempat Hijriah. Disusul kemudian misalnya juga oleh Al-Zarkasy yang menulis Al-Burhan Fi Ulum Alquran yang kurang lebih memuat sekitar 114 tema pokok yang berkaitan dengan Alquran.
Bagaimana respon Al-Qur’an dan cara Al-Qur’an memberi rambu-rambu atas persoalan-persoalan di Arab saat itu, nilai-nilai apa yang bisa ditangkap dari semangat perubahan yang dilakukan oleh Alquran adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa terjawab tanpa mengetahui bagaimana potret tentang gambaran masyarakat Arab itu sendiri. Memahami konteks sosial-historis sebelum Alquran diturunkan, menjadi pengantar untuk memahami apa dan bagaimana kemauan Al-Qur’an.
Seorang profesor Sejarah Timur Tengah di The University of Chicago, Fred M. Donner menggambarkan Arab, sebagai berikut:
Arab terkunci di antara dua kekauatan kekaisaran besar di perbatasan sebelah selatan padang pasirnya. Wilayah itu merupakan tanah yang sangat luas dan sangat kering, membentang di utara sampai ke dataran kering negara modern Yordania, Syria, dan Irak. Tidak ada hubungan sebagaimana yang kita pahami sekarang; tetapi suku masing-masing atau keluarga besar memberikan keamanan dari hari ke hari, karena setiap gangguan terhadap anggota suku, terutama pembunuhan, akan melahirkan balas dendam terhadap suku yang mengganggu itu. Agama tradisonal Arab ketika itu adalah politeis—satu bentuk paganisme yang menunjuk dewa-dewa langit (matahari, bulan, Venus, dan lain-lain), di antara lainnya, dan yang ada dalam berbagai varian seperti kultus-kultus lokal, sisa-sisa agama pagan yang masih ada di Timur Dekat.
Pere Lammens, sejarwan Prancis, mengatakan bahwa tabiat dan perilaku bangsa Arab itu bersifat demokratis berlebihan tanpa batas. Kecintaan dan kesetiaan mereka kepada prinsip-prinsip kebebasan individu terasa lebih tinggi dan lebih besar daripada tingkat kesanggupan berfikir mereka. Mereka sangat patuh dan setia kepada tatanan adat istiadat kabilah mereka masing-masing, dan gemar sekali menjamu tamu-tamunya.
Ibnu Khaldun, sosiolog Muslim terkenal kelahiran Tunisia, mengtakan bahwa pada masa jahiliyah, bangsa Arab adalah orang-orang yang tidak beradab, pembuat onar, serta gemar melakukan perampasan dan perusakan. Tetapi pembawaan mereka sebenarnya bersifat bersih dan murni, pemberani, dan sanggup berkorban untuk hal-hal yang mereka pandang baik.
Selanjutnya, De Lacy O’leary mengatkan bahwa bangsa Arab itu sangat materialistik, berpandangan sempit, dan berperasaan beku. Tetapi mereka terlampau peka bila kehormatan, nama baik, dan kebebasan mereka tersinggung. Mereka bersifat dermawan terhadap tamu-tamu mereka dan sangat setia kepada kabilah mereka. Mereka adalah orang-orang yang sangat fanatik dan mudah marah. Mereka memiliki dasar-dasar kecerdasan, dan hal ini tempak jelas dari susunan bahasa mereka. Lindah mereka lebih fasih dan pandai dibanding dengan akal pikiran mereka.
Dipandang dari struktur sosial dan cara hidup, orang-prang Arab dapat dibedakan menjadi dua golongan penduduk. Pertama, penduduk gurun yang disebut suku Badui. Kedua, penduduk negeri atau penduduk kota yang disebut Ahlul Hadhar. Struktur sosial dan cara hidup penduduk gurun (Badui) dan penduduk kota (Ahlul Hadhar) ini sangat kontras dalam semua aspeknya. masing-masing mempunyai struktur sosial dan cara hidup sendiri sesuai lingkungan alam dan sosial yang mereka alami dan jalani.
Seperti halnya masyarakat pada umunya di dunia ini, masyarakat Arab Pra-Muhammad juga tidak dapat dilepaskan dari ikatakan kepenganutan agama dan kepercayaan. Agama dan kepercayaan telah menjadi sistem, elemen, dan faktor penting dalam bingkai kehidupan masyarakat Arab. Sebelum agama Muhammad datang dan berkembang di Jazirah Arab pada abad ke-7 M, ada beberapa agama dan kepercayaan yang dianut oleh bangsa Arab. Agama dan kepercayaan tersebut antara lain adalah monoteisme, paganisme, kepercayaan khurafat dan politeisme.
Dengan demikian, masyarakat pra turunnya Al-Qur’an bukanlah masyarakat yang kosong dari tradisi dan budaya. Terlebih ketika melihat karya-karya sejarah masyarakat Arab yang berjilid-jilid itu. Dengan begitu, Alquran turun tidak dalam ruang hampa.
Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa semangat Al-Qur’an tidaklah semata-mata merubah kejahiliahan masyarakat Arab saat itu saja. Semangat Al-Qur’an paling tidak dapat digambarkan dengan adanya perubahan-perubahan yang bertujuan demi terciptanya kebaikan bersama-sama.
Selain itu, perlu diperhatikan pula bahwa tidak semua riwayat yang menceritakan tentang kondisi sosio-historis adalah benar adanya. Tidak jarang riwayat-riwayat tersebut juga merupakan riwayat yang lemah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, perlu adanya ketelitian dan kejelian. Kewaspadaan tersebut setidaknya sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun.
Menurutnya, para sejarawan Muslim terkemuka telah mencatat sejarah-sejarah masa lalu secara menyeluruh. Namun, oleh orang-orang kerdil kerja keras mereka dicampuradukkan dengan kebatilan-kebatilan dan riwayat-riwayat yang lemah hingga diikuti oleh orang-orang yang datang kemudian. Upaya penelitian sedikit dilakukan dan kesempurnaan pun cacat.
Wallahu A’lam.