Dalam pandangan Sunni, Syiah selalu beragam karena sejatinya ia tidak pernah tunggal. Para ulama telah jauh membahas berbagai faksi di aliran ini. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, perbedaan doktrin dalam Syiah terbentuk dari tradisi panjang pemikiran di dalamnya. Beberapa pemikiran tersebut bisa dikategorikan dalam beberapa kelompok. di antaranya, Ja’fariyah Ismailiyyah dan Itsna Asyariyah.
Secara esensi Ja’fariyah , Ismailiyyah, dan Itsna Asyariyah tidak berbeda satu sama lain. Akan tetapi beberapa doktrin menunjukkan perbedaan di antara ketiganya. Oleh al-Syahrastani, Ja’fariyah dikategorikan secara setara dengan Ismailiyyah dan Itsna Asyariyah. Ketiganya merupakan faksi yang berada di bawah Imamiyah.
Doktrin Imamiyah memercayai bahwa kepemimpinan merupakan perkara nash dan diwasiatkan (nasshan wa washiyatan). Baik Ismailiyyah ataupun Itsna Asyariah memercayai bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai imam, pemimpin spiritual umat Islam setelah wafat nabi Muhammad Saw. keduanya juga berpandangan bahwa kepemimpinan Abu Bakar al-Siddiq bukan tidak legal, hanya saja ia diperbolehkan. Hal ini dikarenakan pemikiran bahwa orang yang paling utama tidak selalu didahulukan sebagai khalifah.
Secara etimologis, Imamah dan Khalifah merupakan dua hal yang berbeda. Dalam pandangan Syiah, keimamahan tidak mendahului kekhalifahan, karena ia bersifat nash. Berbeda dengan Abu Bakar al-Siddiq, ia dikenal sebagai Khalifatu Rasulillah, dan Umar bin al-Khattab dikenal dengan Khalifatu Khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti rasul). Umar kemudian diberi gelar dengan Amir al-Mu’minin (pemimpin tentara kaum Muslimin).
Dari perbedaan cara pandang kedua terminologis ini, Imamiyah menemukan makna lain dari kepemimpinan. Perbedaan ini tidak merubah eksistensi kepemimpinan.
Pandangan Ja’fariyyah merujuk kepada kepemimpinan Ja’far al-Shadiq. kelompok Ja’fariyah memiliki pandangan yang sama dengan al-Baqiriyah yang menganggap Muhammad bin al-Baqir bin Ali Zainal Abidin sebagai pemimpin. Baik Ja’far al-Shadiq atau Muhammad bin al-Baqir, keduanya merupakan keturunan Ali bin Abi Thalib. al-Syahrastani menjelaskan bahwa kesamaan keduanya bukan karena para pengikutnya, akan tetapi karena mereka menisbahkan dirinya kepada kesamaan panutan.
Adapun pengikut Ismailiyyah mengatakan bahwa kepemimpinan setelah Ja’far al-Shadiq adalah Ismail bin Ja’far al-Shadiq. kelompok Ismailiyyah berpendapat bahwa Ismail bin Ja’far sebagai pemimpin yang sah dikarenakan ia sebagai putra tertua Ja’far al-Shadiq. akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kematiannya saat Ja’far al-Shadiq masih hidup.
Perbedaan mengenai status imamah ini menyulut kelompok lain baik Sunni maupun syiah untuk menisbatkannya sebagai kelompok bathiniyah. Penamaan ini didasarkan kepada pandangan Ismailiyyah bahwa setiap fakta, kejadian ada aspek bathin (intuitif) yang menentukan.
Di sisi lain, dalam persoalan Imamah, kelompok Itsna Asyariah berpendapat bahwa Muhammad bin al-Hasan sebagai pemimpin terakhir. Konon, Muhammad bin al-Hasan dikenal dengan pemimpin al-Mastur (disembunyikan oleh Allah). Hal ini didasarkan sebuah kisah bahwa Muhammad ketika memasuki sebuah gua ia hilang dan tidak ditemukan keberadaannya.
Konon, ia juga dikenal sebagai al-Mahdinya Syiah. Ketidakjelasan ini melahirkan perbedaan pendapat soal keberadaannya. Oleh al-Syahrastani, ada yang berpendapat bahwa Ia wafat dan kepemimpinannya terputus. Ada juga yang menilai bahwa kelak ia akan muncul di sebagai al-Mahdi.
Kelompok Imamiyah di samping dikenal dengan pandangan politis, mereka banyak juga terdiri dari para periwayat hadis. Beberapa nama di antaranya sering tercantum dalam para perawi di kitab-kitab hadis Sunni seperti al-Bukhari, Muslim. Di antara nama tersebut ada al-A’mash, Thawus, al-Sya’bi.
Pada perkembangan selanjutnya, Itsna Asyariyah di abad pertengahan tersebar di beberapa wilayah Islam. Bahkan perkembangan dan ketersebaran keduanya sekarang berada di Negara-negara Islam, seperti Irak, Iran dan beberapa daerah di Pakistan. Abu Zahrah mengatakan bahwa kelompok ini secara umum tidak bertentangan pemahamannya dengan al-Quran. Penerimaan Sunni ini mengindikasikan bahwa kelompok ini tidak menyimpang.