Di dalam Islam, perbedaan adalah satu hal yang thabiiyah, natural. Bahkan kita tidak boleh untuk berprasangka buruk dan berpandangan monolitik dalam semua hal wa bil khusus dalam aspek teologis. Di antara pandangan monolitik dan penghakiman pada konteks teologis adalah bahwa Syi’ah sesat, kafir dan seterusnya. Padahal fakta selalu berbicara secara berbeda.
Jika kita membahas Syi’ah, maka kita harus berangkat dari pandangan bahwa Syi’ah tidak pernah tunggal. Syi’ah dikenal sebagai aliran Islam yang memiliki usia yang sangat tua. Aliran ini merupakan kelompok yang paling awal muncul dalam sejarah Islam.
Di antara beberapa kelompok ini, ada yang melebihkan Ali dari tiga khalifah lainnya. Hal ini dikarenakan Syi’ah adalah para pengikut yang cinta dan setia kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. kelompok Syi’ah sudah ada semenjak kekhalifahan Abu Bakar al-Siddiq dan berkembang pesat setelahnya.
Penyebaran Syi’ah pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, berfokus di daerah Mesir karena beberapa pengikut Ali bermukim di sana. Setelahnya pengikut Syi’ah merata berkembang di Irak. Hal ini karena daerah tersebut telah ditinggal dalam waktu yang lama oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib bersama keluarganya. Sedangkan daerah semisal Damaskus adalah merupakan daerah basis kekuasaan Muawiyah.
Perkembangan Syi’ah selanjutnya sangat bersentuhan dari konteks politik. Mereka sangat mencintai keluarga Ali bin Abi Thalib bahkan pasca wafatnya Ali. Setelah terpilihnya Muawiyah bin Abi Shofyan sebagai pemimpin Bani Umayyah, ia melakukan politik stigtmatisasi atas Ali. Oleh Muawiyah bagi setiap penceramah dianjurkan untuk mencela Ali bin Abi Thalib di atas mimbar Jumat. Oleh Abu Zahrah, ini adalah sunnah sayyiah (kebiasaan busuk politik) pada era Muawiyah yang terus berlanjut sampai ke beberapa khalifah setelahnya.
Abu Zahrah dalam Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah menjelaskan bahwa semua Syi’ah tidak berada dalam satu sprektum, aliran pemikiran. Ada yang sangat keras mengutuk terhadap tiga khalifah al-Rasyidin. Dalam politik, ada yang berpandangan bahwa Ali tetap yang lebih utama, akan tetapi karena alasan kemaslahatan dipilihlah Abu Bakar al-Siddiq Ra sebagai khalifah. Pandangan ini didasarkan atas kaidah “taqdim al-Mafhdul ala al-Afdhla”, atau dikenal juga dengan bolehnya “imamatul Mafdhul”.
Pandangan politis Syi’ah lahir dari konsep imamah. Konsep ini adalah hal paling fundament yang membedakan Syi’ah dan Sunni. Adapun selebihnya tidak ada perbedaan mencolok. Konsep Imamah, tidak bisa dilepaskan dari konteks perdebatan awal mula kekhalifahan Islam. Kekhasan itu ditampilkan dalam pandangan mereka tentang imamah (kepemimpinan).
Syi’ah awal berpendapat bahwa keimaman dan khalifahan Ali adalah hal yang telah dinashkan dan diwasiatkan, baik itu jelas atau samar. Kepemimpinan itu bukan persoalan kemaslahatan yang diserahkan prosedurnya kepada pilihan masyarakat umum, akan tetapi ia adalah persoalan pondasi agama. Pengangkatan pemimpin bersifat spesifik dan penunjukkan.
Beberapa qaul di atas merupakan kesepakatan bersama di antara fraksi-fraksi dalam Syi’ah. Meski demikian, terdapat banyak perbedaan pandangan di internal Syi’ah. Bahkan perbedaan pandangan itu melahirkan model Syi’ah moderat. Mereka tidak mau mengkafirkan para sahabat Nabi, mereka tidak pernah menghakimi para sultan, raja pada masa bani Umayyah.
Al-Syahratani menyatakan bahwa Syi’ah memiliki banyak cabang-cabang aliran di dalamnya. Di antaranya adalah al-Kisaniyah, al-Zaidiyah, al-Imamiyah, al-Itsna al-‘Asyariyah al-Ghaliyah. Al-Ismailiyah. Di dalam aliran-aliran ini sendiri terdapat banyak bentuk pemikiran di dalamnya. Bahkan ada lebih kurang 30 aliran di dalam tubuh pemikiran Syi’ah.
Perbedaan aliran dalam Syi’ah ini telah melahirkan banyak berbagai karya di segala keilmuan Islam. Mulai dari hadis, fikih, hingga tasawwuf. Sebagaimana kata al-Syahrastani, bahwa berbagai kelompok dalam Islam selalu memiliki pandangannya sendiri, dan kitab-kitab yang ditulis