Berawal dari sebuah obrolan santai dengan salah satu santri pondok pesantren salaf di Yogyakarta, saya banyak mendapat cerita tentang tradisi puasa di pesantren yang unik: puasa ngrowot. Puasa ini boleh jadi belum banyak diketahui, kecuali bagi para ulama atau orang Jawa asli yang memang familiar dengan puasa kejawen yang dilakukan oleh simbah-simbah terdahulu.
Beda nama puasa, beda pula tata cara pelaksanaannya. Seperti halnya puasa nganyeb yang memiliki pantangan tidak boleh mengkonsumsi makanan berasa (manis, asin, pahit, pedas, dll), atau puasa mutih yang dalam pelaksanaannya hanya boleh makan nasi dan air putih, puasa ngrowot mengharuskan pengamalnya untuk tidak mengonsumsi makanan yang berasal dari beras (beras putih, beras merah, dan ketan). Termasuk nasi dan segala jenis olahannya.
Tradisi pesantren salaf ini juga dikenal dengan istilah tirakat, alias laku prihatin. Ditelusur dari sejarah persebarannya, adalah salah satu ulama Nusantara, Kiai Chudlori (pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang) yang terkenal sangat gigih menjalankan puasa ngrowot.
Bergeser ke arah timur, di Nganjuk ada juga ulama laun seperti Kiai Mujajad (Mbah Jad) yang selama hidupnya istikomah menjalankan puasa ngrowot. Hal serupa juga dilakukan oleh beberapa pengasuh dan santri pondok pesantren di Yogyakarta.
Secara teknis, puasa ngrowot ini terbilang unik karena berbeda dengan puasa pada umumnya. Pertama, mereka yang hendak mengamalkannya harus mendapat “ijazah” dari seorang yang telah mengamalkannya terlebih dahulu, biasanya adalah dari kiai atau ulama sepuh. Artinya, puasa ini tidak bisa dilakukan serampangan.
Kedua, puasa ngrowot mafhumnya dilakukan dalam jangka waktu tertentu, minimal satu tahun. Dan, ketiga, selama menjalankan puasa harus membaca wirid khusus setiap selesai shalat.
Adanya seuntai aturan tersebut tentu saja tanpa alasan. Ia sekurang-kurangnya memiliki makna yang dalam dan memberi dampak positif.
Al-Ghazali (2014) dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin mengatakan bahwa ada dua hal yang bisa dilakukan oleh manusia dalam usahanya untuk mengolah diri mereka, yaitu mematahkan nafsu perut dan nafsu syahwat. Mematahkan nafsu perut ini dilakukan dengan, salah satunya, berpuasa atau sedikit makan, serta memilih jenis makanan yang akan dimakan. Adapun mematahkan nafsu syahwat dapat dilakukan melalui puasa itu sendiri, karena pada dasarnya puasa adalah salah satu cara mengekang hawa nafsu, termasuk nafsu syahwat.
Seseorang yang menjalankan puasa sejatinya adalah belajar bagaimana menahan keinginan-keinginan yang muncul dari dalam diri. Diantara faedah lapar atau menyedikitkan makan yaitu mendapatkan kesehatan jiwa dan tubuh, dimana orang yang makannya sedikit akan lebih bisa terhindar dari penyakit.
Sejalan dengan pemikiran Al-Ghazali, tokoh Islam Jawa seperti Sunan Kalijaga juga menyampaikan ajaran makrifat yang tercantum dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Begini kurang lebih penggalan episode pertama bait ketiga yang menjelaskan tentang cara mengendalikan hawa nafsu:
“…denya amrih wekasing urip dadyo nafsu ingobat, kebanjur kalantur eca dhahar lawan nendra saking tyas awan perang lan nafsu eki…”
Penggalan itu kira-kira menjelaskan bahwa berbagai usaha seyogianya ditempuh agar di akhir hidup nanti kita mampu mengatasi dan mengobati hawa nafsu, dan jangan sampai terlena oleh puas makan dan tidur, sebab yang demikian itu menyebabkan hati akan kalah dengan nafsu.
Dalam pengertian itu, laku prihatin serupa puasa ngrowot—sebagai upaya menundukkan nafsu—bisa dijadikan counter positif bagi gaya hidup masyarakat yang terlalu hedon. Pasalnya, tidak dimungkiri bilamana masyarakat modern cenderung pragmatis dan lebih bebas sehingga psikologisnya pun rentan dipermainkan.
Perilaku atau kecenderungan bersikap hedonis itu tentu saja menjadi salah satu sumber masalah, dan di titik tertentu menimbulkan kegelisahan hidup (Tamami, 2011). Oleh karena itu, pendekatan spiritualitas dalam upaya mengendalikan hawa nafsu memiliki pengaruh yang signifikan pada kondisi psikologis seseorang, sehingga individu yang berhasil mengendalikan dirinya akan memiliki kesehatan mental yang lebih baik juga (Irawan, 2005).
Sebuah penelitian tentang puasa ngrowot di desa Dadap Ayam Suruh, Kabupaten Semarang oleh El Haq (2016), misalnya, mengatakan bahwa mereka yang mengamalkan puasa ngrowot merasakan manfaat yang besar, seperti kebahagiaan yang mencakup keoptimisan dalam diri, kepuasan, kelegaan, keikhlasan, serta kepedulian terhadap sesama.
Lebih jauh, para pelaku puasa ngrowot umumnya berusaha melepaskan diri dari ketergantungan terhadap makanan pokok, seperti nasi. Alhasil, mereka akan belajar memilih dan mengontrol makanan yang masuk ke dalam tubuh. Konsistensi untuk menahan diri dari segala bentuk makanan yang tidak boleh dimakan itu akan membawa dampak positif terhadap kemampuan self-adjustment, regulasi diri, dan self-control. Akhirnya sejumlah mekanisme natural itu memungkinkan seseorang untuk mencapai kondisi sehat mental dan merasakan kesejahteraan psikologis.
BACA JUGA Kenapa Rasulullah Mengistimewakan Sya’ban dengan Puasa Sunnah? Ini Alasannya ATAU Artikel-artikel menarik lainnya