Tersebutlah nama Raden Ajeng Kartini, anak Bupati Jepara. Gadis ini selalu berminat menyimak pengajian tafsir yang disampaikan KH. Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani, guru para ulama di penghujung abad XIX. Bahkan, saking antusiasnya, Kartini mengikuti pengajian Kiai Soleh hingga ke Demak. Dalam suatu pengajian yang dihelat di bangsal pendopo Kabupaten Demak, Kartini merasa kurang puas dengan uraian Kiai Soleh tentang tafsir al-Fatihah. Seusai pengajian, Kartini yang terkenal kritis memberanikan diri menemui Kiai Soleh.
Ia meminta kepada guru kinasihnya agar bersedia menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Kiai Soleh, yang rendah hati, awalnya keberatan karena diperlukan prasyarat keilmuan yang berat menjadi seorang mufassir alias ahli tafsir al-Qur’an.
“Tapi, bukankah Romo Guru sudah ahli dan menguasai ilmu-ilmu itu? Maka sekarang Ananda mohon sudi kiranya Romo Guru berkenan segera menulis untuk bangsa kita pada umumnya. Berupa kitab terjemahan dan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Sebab hal itu akan menjadikan mereka memahami bisikan kudus dari kitab tuntunan hidup mereka. Dan, Romo Guru akan besar sekali jasanya,”
Mendengar permintaan Kartini, raut wajah kiai tua asal Darat-Semarang itu berseri. Seketika itu pula air mata Kiai Soleh tumpah, menangis haru mendengar pinta perawan bangsawan itu.
Bermula dari dialog di pendopo kabupaten itulah, setahun berikutnya kitab yang diidam-idamkan Kartini terbit. Judulnya Faidh al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an. Kitab karya Kiai Soleh ini berukuran folio, dicetak pertama kali di Singapura pada tahun 1894. Terdiri dari dua jilid, kitab ini menjadi referensi pribumi Jawa yang bermukin di tanah Melayu. Bahkan kaum muslim di Pattani, Thailand Selatan juga memakai kitab ini. Ditulis dengan aksara Arab Pegon, kitab tersebut dihadiahkan kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat yang menjabat sebagai Bupati Rembang. Kiai Soleh Darat wafat pada tanggal 28 Ramadan 1321 H, atau bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1903. Penulis produktif ini dimakamkan di komplek Pemakaman Umum Bergota Semarang.
Kiai Soleh, yang merupakan guru KH. M. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, menandai salah satu fase perkembangan tafsir al-Qur’an di Nusantara. Hampir sezaman dengan Kiai Soleh, terdapat nama Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-18970, seorang ulama Banten yang menjadi guru besar di Haramain. Syekh Nawawi menulis sebuah kitab berjudul Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil yang selesai ditulis pada hari rabu, 5 Rabiul Awal 1305 H, ketika ia tinggal di Makkah. Sebelumnya, naskah tafsir ini disodorkan kepada ulama Makkah dan Madinah untuk diteliti, lalu naskahnya dicetak di negeri itu. Atas reputasi keilmuannya yang luar biasa ini, para ulama menggelarinya sebagai “Sayyid ulama Hijaz”.
Kecemerlangan Kiai Soleh Darat dan Syaikh Nawawi sebagai mufassir ini kemudian dilanjutkan oleh beberapa ulama pada dekade berikutnya. Corak metodologinya pun beragam, demikian pula dengan bahasa yang digunakan. Pada era 1930-an, seorang ulama asal Sukabumi, KH. Ahmad Sanusi, menulis kitab tafsir lengkap 30 juz, Raudlatul Irfan fi Ma’rifat al-Qur’an menggunakan bahasa Sunda. Ia juga menulis karya lain seputar tafsir al-Qur’an dengan corak berbeda. Total terdapat 75 karya tulis dengan beragagam perspektif keilmuan yang dihasilkan oleh ulama yang sempat aktif di Sarekat Islam dan BPUPKI ini.
Sezaman dengan Kiai Ahmad Sanusi ini, terdapat nama Syekh Mahmud Yunus. Nama terakhir ini selain terkenal dengan kamus Arab-Melayu yang ia ciptakan, rupanya masih memiliki karya tafsir. Judulnya Tafsir Al-Qur’an al-Karim Bahasa Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Mahmud Yunus sendiri dalam Kata Pengantar di buku tafsirnya, ia memulai penulisannya pada bulan Nopember 1922 dan selesai pada 1938. Di Indonesia, Syekh Mahmud Yunus merupakan di antara pelopor tafsir runtut 30 juz sesuai urutan mushaf.
Setelah Syek Mahmud Yunus, terdapat nama A. Hassan dengan al-Furqan: Tafsir al-Qur’an. Pendiri organisasi Persatuan Islam ini memulai menuliskan karyanya pada bulan Muharram 1347 H bertepatan dengan Juli 1928. Karena kesibukannya sebagai seorang aktivis organisasi dan dai, ia baru bisa merampungkan karyanya ini pada tahun 1956 M.
Selain itu, dari rahim tanah Sumatera, lahir pula kitab Tafsir al-Qur’an al-Karim yang ditulis oleh tiga serangkai, yaitu Ustadz A. Halim Hassan, Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahim Haitami. Penulisannya dimulai pada bulan Ramadan 1355 H di Langkat. Beberapa kali penulisannya sempat terhenti akibat Perang Dunia II dan langkanya stok kertas. Istimewanya, juz I dan II diterbitkan dalam bahasa Melayu dengan memakai aksara Arab untuk diajarkan di Sembilan kerajaan di Malaysia saat itu.
Setelah Indonesia merdeka, bangsa ini seolah tak pernah kekurangan stok mufassir. Di antara yang monumental ialah Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, yang mulai ia rintis melalui pengajian subuh di Masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, 1958. Ketika Buya Hamka dipenjara di era Orde Lama, justru ia bisa lebuh fokus merampungkan karyanya ini. Hingga kemudian, pada 1967, karya ini terbit dengan judul Tafsir Al-Azhar.
Langkah ulama terkemuka dari Muhammadiyah ini juga hampir berbarengan dengan dirilisnya Tafsir Ibriz berbahasa Jawa yang ditulis oleh ulama NU, KH. Bisri Mustofa, ayahanda KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Adiknya, KH. Misbah Mustofa, Tuban, tak mau kalah. Ia menerbitkan pula Tafsir Iklil yang juga berbahasa Jawa.
Di Makassar, ada KH. Abdul Mu’in Yusuf yang menulis tafsir al-Qur’an berbahasa Bugis dan ditulis menggunakan aksara tradisional Bugis. Selain itu, ada juga Anregurutta Daud Ismail yang menerapkan bahasa daerah Bugis dalam proses penafsiran al-Qur’an. Di Minangkabau, tercatat sekitar lima ulama yang menyumbangkan karya tafsir al-Qur’an dengan bahasa Minangkabau. Pemilihan tafsir dalam bahasa lokal, urai Islah Gusmian dalam “Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika Hingga Ideologi” (2013), justru menunjukkan orientasi pragmatis, yaitu agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat lokal tertentu sesuai dengan bahasa yang digunakan. Luar biasa, bukan?
Di sisi lain, karya tafsir ulama Indonesia semakin beragam dan ditulis dengan beragam corak dan varian metodologi yang berbeda satu sama lain. Hasbi Asshiedqy bahkan menulis dua karya, yaitu Tafsir al-Bayan dan Tafsir An-Nur. Karya pertama selesai ditulis tahun 1971. Karena kurang puas dengan terbitan pertama, ia lalu menulis karya kedua.
Pihak Departemen Agama RI juga tidak mau kalah. Lembaga plat merah ini meluncurkan al-Qur’an dan Tafsirnya yang setelah mengalami beberapa kali perbaikan bisa diterbitkan oleh Badan Wakaf UII Yogyakarta pada tahun 1995. Pakar tafsir al-Qur’an, Prof. Dr. Quraish Shihab kemudian menerbitkan karya monumentalnya, Tafsir Al-Mishbah dan Tafsir Al-Lubaab. Ada pula Prof. KH. Didin Hafiduddin dengan Tafsir al-Hijri-nya.
Yang pasti, jumlah tafsir al-Qur’an di Indonesia sendiri, semenjak dakwah Walisongo, bisa dipastikan berjumlah ratusan manakala kita juga memasukkan beberapa obyek tafsir seperti Tafsir Al-Fatihah, Tafsir Al-Kahfi, Tafsir An-Nisa’, Tafsir Surat Ya-Sin, Tafsir Juz Amma dan lain sebagainya, maupun beberapa tafsir tematik (pendidikan, feminis, sufistik, hukum, dan sebagainya).
Meski tulisan kali ini terlalu singkat membedah khazanah tafsir Nusantara (Indonesia), namun mengutip periodesasi tafsir Indonesia yang dilakukan oleh Howard M. Federspiel, ada beberapa fase perkembangan tafsir Indonesia yang menarik dicermati. Generasi pertama, kira-kira permulaan abad ke-20 hingga awal 1960-an, yang ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung pada surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua merupakan penyempurnaan atas generasi pertama, yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an.
Cirinya, biasanya memiliki catatan, catatan kaki, terjemahan per kata, dan kadang-kadang disertai indeks yang sederhana. Adapun tafsir generasi ketiga mulai muncul pada 1970-an yang telah berwujud penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang disertai terjemahannya. Ini merupakan periodesasi tafsir di Indonesia yang dibuat oleh Howard M. Federspiel dalam “Kajian al-Qur’an di Indonesia” (1996).
Pelopor Tafsir di Nusantara
Siapakah yang mula-mula merintis tafsir di kawasan Nusantara? Tersebutkan seorang ulama besar asal Aceh, Syaikh Abdurrauf As-Sinkili (1615-1693). Azyumardi Azra, dalam “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” (2004) menilai bahwa As-Sinkili adalah ulama terkemuka dengan reputasi internasional. Sebab, matarantai intelektual dan tarekat yang membentang antara Hijaz dan Nusantara di kawasan Asia Tenggara melalui bertaut pada dirinya. Dengan reputasinya yang jempolan ini, As-Sinkili bahkan mengkader beberapa ulama dari Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Malaysia, hingga Thailand Selatan.
Sebagai pelopor tafsir al-Qur’an di kawasan Nusantara, ia menulis Tarjuman al-Mustafid, sebuah kitab tafsir yang diulas menggunakan bahasa dan aksara Melayu-Jawi (Arab-Pegon). Bahasa yang dipilih ini merupakan lingua franca di zamannya karena menjadi bahasa pengantar dalam birokrasi pemerintahan, intelektual, hubungan diplomatik antar negara, hingga bahasa perniagaan.
Tarjuman al-Mustafid karya As-Sinkili ini sebenarnya telah didahului oleh Faraid al-Qur’an dan Tafsir Surah al-Kahfi. Namun sampai sekarang dua karya ini tiada diketahui siapa penulisnya. Dua karya ini ditengarai ditulis di era pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), atau bahkan di era sebelumnya, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1537-1604). Dan, As-Sinkili yang telah menulis Tarjuman al-Mustafid 30 juz lengkap sampai sekarang dianggap sebagai pelopor tafsir di Nusantara.
Melalui pemaparan singkat ini, pembaca bisa menilai kualitas dan kapabilitas keilmuan para ulama Nusantara, bukan?
WAllahu A’lam Bisshawab
(disampaikan dalam kajian bakda dzuhur dengan tema “Jejak Spiritualitas dan Inteletualitas Ulama dalam Sejarah Indonesia” di musalla Baitul Irsyad Intiland Tower, Surabaya. Senin, 5 Juni 2017)