Bangsa Indonesia mempunyai warisan pengalaman ideologisasi Islam sejak era kemerdekaan. Sekalipun organisasi ideologis Islam banyak yang tumbang dalam dinamika perpolitikan Indonesia, tetapi ideologi itu tidak pernah hilang. Ideologi Islam tetap bertahan dan bermetamorfosis dalam berbagai bentuk strategi baru. Bisa dikatakan, aspirasi mendirikan negara Islam masih hidup di tengah-tengah masyarakat kita.
Salah satu strategi yang digunakan kelompok dengan aspirasi negara Islam adalah mengupgrade pemikiran yang memiliki daya dorong lebih kuat untuk mewujudkan cita-cita negara Islam. Salah satunya, adalah pemikiran Salafi-Jihadisme. Pemikiran ini lahir dalam pengalaman perang Afghanistan pada akhir tahun 80-an. Awal 90-an, pemikiran ini telah mengkristal menjadi berbagai organisasi yang mengadopsi kekerasan sebagai jalan menyelesaikan persoalan. Melalui organisasi-organisasi jihad yang terkoneksi, ideologi Jihad Salafi menyebar ke berbagai kawasan di dunia. Termasuk Indonesia. Jamaah Islamiyah (JI) merupakan organisasi yang berperan penting dalam mentransfer ideologi Salafi-Jihadisme ke Indonesia. Bagaimana sebagian anak muda Muslim Indonesia mendapatkan ideologi ini?
Salafi-Jihadi menggabungkan antara pemikiran yang diklaim berorientasi pemurnian doktrin keagamaan dan penggunaan kekerasan militeristik untuk menjawab berbagai persoalan sosial umat dan bangsa. Apapun persoalannya, respon dengan kekerasan adalah jawaban yang diyakini dapat menuntaskan. Salafi-Jihadi menyebar selain melalui institusi pendidikan tertentu, tetapi pada praktiknya, yang paling efektif dan menjadi obsesi tersendiri bagi para anggota Salafi-Jihadi adalah belajar langsung di kawasan konflik.
Mereka dapat bertemu dengan para instruktur yang punya pengalaman internasional, mempelajari ajaran teologi yang punya dukungan praktis dalam aksi-aksi kekerasan, dan mempraktekkan berbagai teknik militer yang diperoleh dalam aksi “perang” melawan aparat pemerintah yang mereka sebut Thaghut. Sampai di titik ini, implikasi teologi kebencian yang ditanamkan sejak lama dapat mereka luapkan melalui aksi-aksi kekerasan.
Hal ini dapat diamati dalam kasus kekerasan sektarian antar agama yang terjadi di Indonesia menjelang tahun 2000-an. Ambon menjadi titik konflik pertama yang menarik perhatian kelompok Islam. Ada sebagian organisasi Islam mencoba terlibat dalam memberikan dukungan terhadap kelompok yang dinilai seagama. Laskar Jihad, di bawah komando Jafar Umar Thalib, menjadi salah satu kelaskaran yang berangkat menunju Ambon dari pulau Jawa. Jafar Umar Thalib pernah berlatih di Afghanistan pada tahun 80-an. Atas izin gurunya di Arab Saudi, ia membentuk laskar pemuda Muslim untuk merespon kasus Ambon.
Laskar Jihad bukan satu-satunya kelompok milisi yang berangkat. Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) membentuk organisasi sayap bernama Komite Penanggulangan Krisis (KOMPAK). Belakangan diketahui jika organisasi sayap ini terkoneksi dengan orang Jamaah Islamiyah (JI). KOMPAK dibentuk untuk menggalang dana kemanusiaan yang akan disalurkan ke kawasan konflik, Ambon. KOMPAK kemudian tidak hanya berfokus pada urusan bantuan kemanusiaan, tetapi juga melakukan program pelatihan militer (tadrib askari). Bahkan, program kedua ini semakin menguat sehingga KOMPAK kemudian dikenal sebagai organisasi para militer. Pelatihan militer sangat tergantung pada sumber daya yang dimiliki JI. Para instruktur JI bukan saja memberikan materi keagamaan berpaham Salafi, tetapi juga keterampilan militeristik.
Dalam suasana konflik yang dipahami sebagai ‘perang jihad fi sabilillah’, JI-KOMPAK mengkoordinasi penggalangan dana, pelatihan militer-keagamaan, dan pembelian persenjataan dari kawasan Filipina Selatan. Kesuksesan JI-KOMPAK dalam mendidik anggota baru milisi Islam di Ambon, berlanjut dalam kawasan konflik baru, Poso, Sulawesi Tengah. Kawasan ini juga mengalami konflik antar agama yang tidak kalah kerasnya. Kelompok Muslim dan Kristen saling serang selama beberapa lama hingga disepakati perjanjian damai pada tahun 2000-an. Tetapi, konflik ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh aliansi JI-KOMPAK untuk membangun basis sosial. Memanfaatkan dendam umat Islam yang menjadi korban, JI-KOMPAK menempatkan diri sebagai pahlawan. Bersama dengan mereka yang diliputi rasa dendam karena keluarganya dibantai, JI-KOMPAK melakukan mobilisasi kombatan untuk melakukan serangan terhadap kelompok Kristen di satu sisi, dan aparat pemerintah di kemudian hari di sisi lain.
Aparat pemerintah menjadi sasaran karena belakangan para kombatan JI-KOMPAK juga menjadi sasaran penangkapan. Para kombatan JI-KOMPAK kemudian melakukan aksi-aksi teror seperti pengeboman dan pembunuhan. Hubungan JI-KOMPAK dengan aparat pemerintah kemudian mengkristal menjadi musuh bebuyutan. Hal ini karena sedari awal, memang JI-KOMPAK mengembangkan sentimen politik terhadap pemerintah Indonesia. Dengan dibungkus bahasa agama, kombatan JI-KOMPAK menyebut aparat pemerintah, terutama kepolisian dan militer, sebagai Thaghut dan perjuangan mereka melawan aparat pemerintah sebagai jihad qital fi sabilillah. Teologi kebencian sebenarnya lebih dari cukup untuk menjelaskan mengapa mujahidin JI-KOMPAK menyerang aparat pemeritah, khususnya kepolisian. Tetapi konteks di lapangan menambah kekuatan alasan mengapa mereka perlu ‘perang’ terhadap kepolisian.
Ulasan sederhana ini menunjukkan bahwa JI telah berhasil melakukan transfer ideologi Salafi-Jihadi ke para kombatan KOMPAK. KOMPAK bahkan menjadi kelompok yang bukan saja pernah dididik oleh kombatan JI, tetapi kemudian bergerak sendiri dengan program-program pelatihan dan ‘perang’ terhadap pemerintah Indonesia. Di antara aksi kekerasan yang melibatkan mujahidin KOMPAK adalah:
- Pemboman Gereja Petra, Jakarta Utara, 2001.
- Meledaknya bom yang sedang diracik oleh anggota KOMPAK di Poso, 2003.
- Serangan yang menewaskan 13 orang penduduk desa Kristen di Poso dan Morowali, 2003
- Pemenggalan kepala tiga orang siswa SMK Kristen, 2005.
Kolaborasi JI-KOMPAK telah menarik berbagai faksi islamis dari Jawa seperti NII, JAT, Ring Banten, Jamaah Tauhid Wal Jihad dan lainnya. Mereka berdatangan ke Poso untuk berlatih kemiliteran dan mempelajari ideologi yang lebih cadas yang dapat membuat mereka lebih kuat dalam membenci pemerintah. Kawasan konflik Poso pada akhirnya melahirkan kelompok jihadis baru bernama Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Kelompok ini menjadi populer di bawah kepemimpinan Santoso alias Abu Wardah. Di sini, apapun faksi dan organisasinya, tetapi kita akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan pemikiran sebagai penganut teologi Salafi-Jihadi.