Artikel ini adalah tulisan serial bertema Maqasid Syariah (Tujuan diberlakukannya Syariah) yang diulas oleh Nur Hasan. Baca juga tulisan sebelumnya: Mengenal Maqasid Syariah: Untuk Apa dan Mengapa Syariat Islam Ditetapkan?
Maqasid Syariah adalah pintu gerbang awal yang harus dilewati, supaya agama Islam mampu mengimplementasikan ekspektasinya sebagai agama yang ajarannya selalu relevan di setiap zamannya, termasuk di dalam ruang lingkup yang mengitarinya. Sehingga Islam mampu memberi solusi di setiap permasalahan yang timbul, di manapun Islam ada. Karena permasalahan yang muncul dari satu masa ke masa yang lain beragam, maka solusi yang digunakan tentu tidak semuanya sama dengan solusi yang digunakan di masa yang terdahulu. Dan Maqasid Syariah dianggap sebagai bagian dalam memunculkan solusi tersebut.
Dalam Maqasid Syariah sendiri, terdapat lima tujuan pokok Syariah atau yang dikenal dengan istilah al-Kulliyat al-Khamsah. Lima pokok tujuan Syariah tersebut terdiri dari menjaga agama (Hifdz ad-Din), menjaga jiwa (Hifdz an-Nafs), menjaga akal (Hifdz al-Aql), menjaga keturunan (Hifdz an-Nasl), dan menjaga harta (Hifdz al-Mal).
Walaupun dalam perkembangannya, muncul unsur-unsur baru dalam penjagaan yang ada dalam Maqasid Syariah seperti menjaga kehormatan (Hifdz al-‘Ird), menjaga lingkungan (Hifdz al-Bi’ah), menjaga kesejahteraan umat (Hifdz al-Ummah), menjaga keamanan (Hifdz al-Amn), menjaga kemuliaan manusia (Hifdz al-Karomah al-Insaniyah) dan lain sebagainya. Namun oleh para ulama, unsur-unsur baru yang muncul tersebut masih termasuk ke dalam al-Kulliyat al-Khomsah atau lahir darinya.
Lima tujuan pokok Maqasid Syariah tersebut, pertama kali diperkenalkan oleh al-Ghazali lewat kitabnya al-Mustasfa min Ilm al-Ushul. Yaitu ketika menjelaskan tentang apa itu maslahah;
أما المصلحة فهي عبارة في الأصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة، ولسنا نعني به ذلك، فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق وصلاح الخلق في تحصيل مقاصدهم، لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع و مقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة.
Adapun maslahat pada dasarnya adalah ungkapan dari menarik manfaat dan menolak mudarat, tetapi bukan itu yang kami maksud; sebab menarik manfaat dan menolak mudarat adalah tujuan makhluk (manusia), dan kebaikan makhluk itu akan terwujud dengan meraih tujuan-tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahat ialah memelihara tujuan syara” atau hukum Islam, dan tujuan syara’ dari makhluk itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan (ada yang menyatakan keturunan dan kehormatan), dan harts mereka. Setiap yang mengandung upaya memelihara kelima hal prinsip ini disebut maslahat, dan setup yang menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.
Dalam keterangan di atas, al-Ghazali menyatakan bahwa maslahah adalah ungkapan yang asal maknanya adalah menarik kemanfaatan dan menolak kesulitan. Akan tetapi, bukan hal tersebut yang diinginkan oleh al-Ghazali. Dalam pandangannya, maslahah adalah menjaga tujuan-tujuan Syariah (Maqasid Syariah) yang tercermin dalam lima hal yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Sehingga setiap hukum atau aturan yang mengandung lima prinsip tersebut dinamakan maslahah. Begitu juga setiap hukum yang mengabaikan, atau justru menafikan kelima hal tersebut, berarti mafsadah. Menolak dan menghindarinya adalah maslahah.
Dan menurut al-Syatibi dalam karyanya al-Muwafaqat fi Ushuli al-Syariah, ketika menetapkan lima unsur pokok Syariah tersebut harus didasarkan kepada dalil-dalil Al-Qur`an dan hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai kaidah-kaidah umum dalam menetapkan lima tujuan pokok Syariah tersebut.
Adapun ayat-ayat Al-Qur`an yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayat-ayat Makiyyah yang tidak dinasakh, dan ayat-ayat Madaniyyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makiyyah. Di antara ayat-ayat tersebut adalah ayat yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan membunuh, larangan meminum-minuman memabukan, larangan berzina dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
Urutan tentang kelima tujuan pokok Maqasid al-Khamsah tersebut sifatnya adalah ijtihadi. Artinya ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra’ (induktif). Dan para ulama Ushul Fiqih pun tidak pernah ada kata sepakat perihal kelima urutan Maqashid al-Khamsah tersebut. Oleh sebab itu, dalam merangkai kelima Maqashid al-Khamsah, al-Syatibi terkadang lebih mendahulukan menjaga akal dari pada menjaga jiwa, terkadang menjaga jiwa terlebih dahulu. Namun al-Syatibi tetap mengawali dengan menjaga agama, dan menjaga jiwa terlebih dahulu
Sedangkan al-Zarkasyi dalam al-Bahr al-Muhith menyebut urutannya mulai dari menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga keturunan, menjaga agama, dan menjaga akal. Adapun al-‘Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, memulai urutannya dari menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga akal, dan menjaga harta. Dan Menurut al-Qarafi dalam Syarh Tanqih al-Fushul urutannya dimulai dari menjaga jiwa, menjaga agama, menjaga keturunan, menjaga akal dan menjaga harta. Namun urutan yang dikemukakan oleh al-Ghazali merupakan urutan yang paling banyak dipegang oleh para ulama fiqih dan ushul fiqih. Oleh sebab perbedaan urutan di atas sifatnya adalah ijtihadi, maka semuanya sah-sah saja.
Adapun cara untuk untuk menjaga lima pokok tujuan Syariah tersebut, menurut al-Syatibi bisa ditempuh dengan dua cara: Pertama, dari segi adanya (min nahiyati al-wujud) yaitu dengan cara menjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya. Kedua, dari segi tidak adanya (min nahiyati al-‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya. Adapun penjelasan mengenai hal ini, akan dijelaskan pada artikel-artikel berikutnya.
Sekali lagi, stratifikasi lima tujuan pokok Maqasid Syariah bersifat ijtihadi, maka dalam prakteknya bisa berubah-ubah urutan atau stratifikasinya. Yang paling penting adalah kelima hal tersebut tidak boleh bertentangan, dan abai antara satu dengan lainnya. Misalnya dalam menjaga jiwa. Di era pandemi ini tidak boleh abai atau bertentangan dengan yang lainnya, misalnya menjaga jiwa, agama, menjaga harta (ekonomi), dan lainnya. Itu semua tidak lain adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat.