Menyimak perdebatan di media sosial mengenai polemik wisata halal (halal tourism), penulis teringat pada pengalaman ketika sedang berlibur di Bali beberapa waktu yang lalu. Ketika memasuki waktu salat Ashar, penulis yang sedang berada di pantai Kuta kesulitan mencari tempat salat. Setelah bertanya-tanya kepada penduduk setempat, mereka menyarankan agar penulis menuju ke Beachwalk shopping yang terletak kurang lebih 500 meter dari pantai tersebut. Di mall itulah penulis kemudian menemukan tempat salat yang nyaman.
Pada saat itu penulis bertanya-tanya, mengapa di pantai Kuta tidak disediakan tempat ibadah seperti halnya di tempat-tempat umum lainnya? Tidak perlu berlabel agama tertentu, tetapi tempat ibadah tersebut bisa digunakan oleh orang-orang dari lintas keyakinan. Ketersediaan tempat ibadah di tempat umum adalah suatu keniscayaan di tengah masyarakat yang religius seperti Indonesia.
Ide halal tourism bukanlah hal baru. Di negara-negara yang tengah menggenjot sektor pariwisata sebagai komoditas, pengembangan wisata inklusif bagi kelompok muslim memang tengah menggeliat. Hal ini bukan tanpa sebab. Kelompok muslim memiliki berbagai kebutuhan khusus yang perlu mendapatkan perlakuan ‘istimewa’ seperti halnya ibu menyusui dan penyandang difabilitas.
Salat lima waktu dan jaminan makanan yang halal adalah dua di antara kebutuhan yang paling perlu diakomodir. Hal ini terkait dengan keyakinan teologis yang tidak bisa ditawar-tawar. Di berbagai negara maju, upaya mewujudkan ruang publik yang moslem friendly pun terus dilakukan. Di Baiyun International Airport Guangzhou, Tiongkok, misalnya, penulis cukup mendapat kemudahan dalam mengonsumsi makanan karena ada beberapa resto di bandara tersebut yang bersertifikasi halal. Di titik inilah penulis menyadari pentingnya label halal bagi seorang muslim untuk menentukan pilihan konsumsinya.
Halal vs haram tourism
‘Jika ada wisata halal di Bali, mari kita dorong wisata haram di Aceh’. Begitu bunyi salah satu narasi yang dibangun oleh kelompok penolak ide wisata halal. Narasi tersebut kurang tepat, namun penulis tidak sepenuhnya menyalahkan dorongan bernada sarkasme tersebut. Munculnya narasi yang demikian bisa diakibatkan beberapa hal.
Pertama, adanya phobia di kalangan masyarakat kita terhadap label-label yang bersifat teologis, atau lebih tepatnya berbahasa Arab. Hal ini buah dari penggunaan term teologis yang tidak sesuai dengan fungsi dan pengertian asalnya. Misalnya saja term hijrah yang justru dimaknai sempit sebagai perubahan cara berpakaian seseorang. Ada banyak tokoh publik yang mendeklarasikan dirinya hijrah justru berubah menjadi lebih eksklusif perilakunya. Para pengguna term teologis yang tidak sesuai itu acapkali menggunakan mimbar ceramah untuk menyerang kelompok lain.
Munculnya kelompok-kelompok eksklusif yang menggunakan agama sebagai topeng dalam melakukan tindak kekerasan menambah ketakutan tersebut. Imbasnya, ada banyak cerita di mana nama-nama berbahasa Arab seperti ‘Ahmad’, ‘Abdullah’, dan sebagainya kesulitan mendapat akses masuk ke negara Barat karena ulah sebagian orang yang menampilkan wajah Islam sebagai wajah yang menakutkan. Ini menjadi otokritik di kalangan umat Islam agar bahu membahu ‘membersihkan’ nama Islam dari tindakan-tindakan bengis yang tidak sesuai dengan ajaran agama tersebut.
Kedua, adanya polarisasi di tengah masyarakat yang begitu akut sehingga suatu daerah diidentikkan dengan agama tertentu. Untuk merespons suatu isu pun sampai menggunakan pembanding yang dianggap ‘impas’. Adanya pergeseran paradigma beragama dari inklusivisme menuju eksklusivisme menjadi pendorong mengapa polarisasi ini begitu menguat beberapa tahun belakangan. Karenanya, ide halal tourism dianggap sebagai bentuk ancaman pada lokalitas.
Ketiga, penolakan ide wisata halal tersebut merupakan bentuk protes sosial kepada pemerintah yang terlalu mengistimewakan satu kelompok, namun tidak mengindahkan kebutuhan kelompok lainnya. Terkait penyediaan tempat ibadah, misalnya, pemerintah memang terkesan masih ‘pilih kasih’ karena ada banyak kasus umat beragama kesulitan untuk menjalankan keyakinan dan mendirikan rumah ibadah. Kasus penyegelan GKI Yasmin Bogor, penolakan Pura di Bekasi, penolakan masjid di Papua, pengusiran warga Ahmadiyah Lombok, dan sejumlah kasus lain yang urung terselesaikan membuat masyarakat jengah dan saling tunjuk. Akibatnya masyarakat perlu melakukan ‘balas dendam’ akibat ketidakadilan yang diterimanya.
Keempat, munculnya kejengahan masyarakat akibat eksploitasi term agama yang berlebihan. Dalam beberapa waktu belakangan, masyarakat selalu disodorkan dengan berbagai produk halal, syar’i, dan lain sebagainya. Padahal hukum Islam menyebut semua hal (selain ibadah) itu halal sampai ada dalil yang mengharamkan. Namun di Indonesia yang mayoritas Islam, dalil ini terbalik seolah-olah semua hal itu haram sampai ada sertifikasi halal yang diterbitkan. Sertifikasi halal bukan lagi menjadi kegiatan teologis, namun sudah menjadi komoditas bisnis.
Di luar perdebatan yang muncul, jika ditelaah dengan baik, ide wisata halal bukanlah sesuatu yang menakutkan. Konsep ini mengacu pada ketersediaan fasilitas tempat ibadah dan jaminan makanan halal di sebuah kawasan wisata. Statusnya sama seperti ketersediaan difable access dan ruang ibu menyusui di ruang publik yang memang sebaiknya disediakan. Alih-alih menyebutnya sebagai wisata halal, halal tourism sebagaimana tengah digarap banyak negara lebih layak disebut sebagai kawasan wisata ramah bagi muslim (moslem friendly).
Pasar muslim
Kelompok muslim merupakan pasar baru yang begitu menjanjikan dari sisi bisnis. Janmohamed (2016) menulis munculnya kelompok menengah muslim di Barat yang menjadikan halal sebagai salah satu prasyarat dalam memilih produk. Daya beli dan laku spiritual yang sama tinggi membuat bisnis halal berkembang pesat di sana.
Lalu mengapa jualan label halal juga laku di Indonesia? Ternyata fenomena di Barat tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Center for Middle Class Consumer Studies (CMCS) pada tahun 2014 menyebut jumlah konsumen Muslim mencapai 87 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Pada segmen kelas menengah muslim, apa yang ditemukan CMCS tidak berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Janmohamed di mana halal menjadi salah satu pertimbangan utama seseorang dalam mengambil keputusan pembelian sebuah produk.
Wisata halal yang diwacanakan agaknya menjawab kebutuhan pasar tersebut. Apabila benar-benar diterapkan, pemerintah semestinya mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya adalah upaya mengembangkan wilayah 10 Bali baru yang dikampanyekan dalam setahun belakangan. Sementara di lokasi wisata yang sudah mapan seperti Bali, pemerintah hanya perlu melengkapi berbagai kebutuhan pengunjung tanpa memberi branding yang justru memunculkan resistensi. Singkat kata, pemerintah tidak perlu mengusik Bali ‘lama’ yang kini sudah overload karena kedatangan 4 juta wisatawan setiap tahunnya.
Menyediakan sarapa pra sarana rumah ibadah di lokasi wisata itu penting demi menyedot pasar yang lebih besar. Namun jauh lebih penting dari itu semua, pemerintah sebaiknya menjamin seluruh umat beragama bisa menjalankan keyakinannya dengan aman dan nyaman sebagaimana amanah Undang-undang Dasar 1945. Tidak hanya di temat wisata, tetapi juga di ruang sosial di mana semua masyarakat bisa hidup bersama secara harmonis. Wallahua’lam.