Mempertanyakan Kesahihan Konsep Wisata Halal

Mempertanyakan Kesahihan Konsep Wisata Halal

Seberapa jauh wisata halal mendukung kepentingan agama?

Mempertanyakan Kesahihan Konsep Wisata Halal

Tren kebijakan wisata halal di Indonesia cukup banyak diminati. Lombok, tumpah darah saya, menjadi salah satu daerah terdepan dalam mengembangkan wisata halal ini.

Tidak saja di Indonesia, wisata halal menjadi tren bagi dunia internasional. Tren ini dikenal sejak tahun 2015, pasca Event World Halal Tourism Summit (WHTS) yang digelar di Abu Dhabi, UAE.

Pada pertemuan itu, WHTS memprediksi pada tahun 2019 tidak kurang dari 238 milyar USD berputar di dunia wisata halal. Ini di luar pendapatan dari Haji dan Umrah. Namun jika dihitung, pertumbuhan dunia wisata halal ini mengalami kenaikan hampir mendekati angka 90%, lebih cepat dari pertumbuhan wisata umum dalam prosentase per-tahunnya.

Bahkan, World Travel Market di London pada tahun 2007 menyebutkan bahwa ada potensi yang sangat besar bagi pariwisata halal jika dilihat dari segi ekonomi. Selain itu, dari data penduduk muslim di dunia, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan: pada tahun 2010 Islam menjadi agama terbesar nomer dua di dunia dengan proentasi pemeluk 23% dari total penduduk dunia atau sekitar 1,59 miliyar jiwa dan diperkirakan pada tahun 2050 naik menjadi 2,7 miliar atau 29% nantinya adalah orang Islam.

Naiknya populasi pemeluk agama Islam ini bisa dilihat di Inggris yang pada tahun 2019 mencapai 3 juta jiwa dan hal itu merupakan terbanyak dalam sejarah. Meningkatnya umat Islam ini tentu saja bisa dibaca sebagai potensi dalam pariwisata halal di dunia.

Di Indonesia sendiri sebagai salah satu negara dengan mayoritas umat Islam terbesar di dunia memiliki potensi dalam menyambut wisata halal. Maka tidak heran bilamana pemerintah pusat serta pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan halal tourism serta intrasuktur yang mendukung.

Potensi pertumbuhan sektor wisata di Indonesia ini merupakan pasar besar yang dapat menyumbang devisa negara. Pada tahun 2016, umpamanya, pariwisata menduduki posisi kedua setelah sektor industri kelapa sawit. Sektor pariwisata sendiri ditaksir telah menyumbang sebesar 13.568 miliyar USD.

Tahun 2019 sektor pariwisata dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 15 persen, dengan kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara, serta 275 juta perjalanan yang dilakukan wisatawan nusantra. Harapannya, ia mampu menyerap tenaga kerja hingga 13 juta (Jurnal Sospol, Alwafi Ridho Subarkah 2018).

Dengan segala potensi yang ada, maka dibangunlah infrastruktur pendukung seperti seperti hotel yang menyediakan tempat ibadah dan makanan halal, serta hal-hal yang sesuai dengan prinsip Islam, demi memberi kenyamanan bagi wisatawan muslim.

Sehubungan dengan konsep wisata halal sendiri, adalah Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang memberikan definisi wisata halal. Sementara, terminologi lain yang digunakan OKI adalah Islamic Tourism.

Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan manusia untuk melakukan perjalanan di bumi untuk mengambil pelajaran dari ciptaan Allah dan mengambil rahmat-Nya (OKI, 2017).

Jika merujuk pada awal mula kebijakan wisata halal, seakan-akan kebijakan wisata halal diawali dari dasar kepentingan ekonomi, prospek pertumbuhan ekonomi dan bukan diawali dari pendasaran terhadap agama itu sendiri.

Wisata halal, dengan demikian, konsepnya lebih dihujamkan atas dasar kepentingan ekonomi semata, alih-alih agama yang justru menjadi kepentingan nomor sekian. Padahal, pemahaman agama yang didasari dari luar kepentingan agama, seringkali berngkat dari nafsu semata.

Ini persis seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir, bahwa fenomena agama laiknya gerakan hijrah, kemunculannya justru disertai dengan masifnya produk pakaian Muslimah atau pakaian syar’i yang telah dikapitalisasi.

Barangkali asusmsi di atas itu adalah kesalahan dan bisa pula merupakan hal yang benar adanya, mengingat menguatnya tren atribut agama yang terkonversi ke dalam kepentingan politik atau kepentingan ekonomi.

Dalam hal ini penulis bukan bermaksud menyatakan ketidaksepakatan terhadap kebijakan wisata halal hari ini, atau tidak juga sedang phobia terhadap kosa-kata dalam agama (halal, hijrah, muslim, hijab dan lain-lain).

Namun, penulis hanya mempertanyakan konsep dasar dari segala kebijakan yang didasari oleh pemahaman atas agama Islam. Benarkah wisata halal, hijab atau apapun yang membawa agama itu benar-benar didasari pada kepentingan agama itu sendiri?

Atau, adakah hal lain yang mendasari maraknya fenomena halal tourism dan munculnya fenomena hijrah yang di saat bersamaan disertai munculnya pasar pakaian syar’i?