“Dari Poso nich, siap penggal kepala Jokowi. Jokowi siap lehernya kita penggal kepalanya demi Allah”.
Kalimat itu saya kutip dari HS, pemuda asal Bogor, yang berusia 25 tahun. Video itu sendiri direkam dari kerumunan demonstrasi terkait dengan tuduhan kecurangan Pemilu di gedung Bawaslu hari Jumat (10 Mei 2019) lalu. Pernyataan itu tidak hanya membuat saya kaget, melainkan juga bertanya-tanya, mengapa sebegitu mudahnya HS melontarkan kalimat tersebut kepada orang nomor satu di Indonesia? Apakah ia benar-benar secara sadar melakukan itu dan memiliki keberanian di tengah aturan hukum yang siap menjeratnya?
Ungkapan itu tidak hanya terasa enteng melainkan juga seakan-akan sesuatu hal yang biasa sebelumnya diucapkan. Di sini, nama Jokowi dilihat bukan semata-mata orang nomor satu Indonesia, melainkan orang kebanyakan yang bertemu di jalan sehingga bukan sesuatu yang istimewa apabila diucapkan dengan ungkapan bahasa kekerasan tersebut.
Memang, saat di tangkap di kediamannya yang berada di Parung, Bogor, pada Minggu 12 Mei pukul 08.00 WIB, yang dilakukan oleh tim dari Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya, ia mengaku hal tersebut adalah bentuk kekhilafannya. Namun, meskipun mengaku salah, proses hukum tetap berjalan. Oleh Polda Metro Jaya, ia dikenakan tersangka melalui dua pasal, yaitu pasal 27 ayat 4 Undang-Undang ITE tentang penyebaran dokumen elektronik dengan muatan kekerasan dan pasal 104 KUHP tentang makar dengan ancaman hukuman 20 penjara.
Bagi saya ungkapan kekerasan verbal ini bukan semata-mata sebagai bentuk ketidaksengajaan. Lebih dari itu, ini merupakan fenomena gunung es di masyarakat dalam memandang Jokowi. Meskipun, Jokowi telah bekerja keras untuk membangun infrastruktur di sejumlah provinsi di Indonesia sekaligus bekerja secara nyata untuk negara dan masyarakat Indonesia serangan hoaks dan fitnah dengan sejumlah paket negatif yang ditembakkan melalui media sosial dengan tautan ikutannya telah menormalisasi sebagian masyarakat dalam melihatnya secara rendah.
Di sini struktur sosial dalam masyarakat membantu untuk melihat itu. Dalam menjelaskan tersebut, saya membaginya dalam tiga hal. Pertama, Jokowi bukan dari kelompok elit kekuasaan dan oligarki. Posisi Jokowi yang berasal dari kelas sosial dari kebanyakan masyarakat Indonesia merupakan bentuk anomali di tengah mengakarnya elit dan kelas di Indonesia. Kehadirannya, dengan demikian, dianggap sebagai bentuk penentangan arus yang selama ini berlangsung.
Kehadiran Jokowi dalam pentas politik nasional bisa dianggap sebagai representasi populisme, namun bagi yang tidak menyukainya ini justru sebagai bentuk ketidakpantasan untuk memimpin orang-orang kecil itu sendiri. Ketidaksukaan terhadapnya persis berada dalam konteks ini.
Kedua, mentalitas rasisme. Karena dianggap bukan bagian dari elit dan dari segi penampilan adalah biasa yang mewakili kebanyakan masyarakat Indonesia, khususnya menengah dan kelas bawah, orang melihat Jokowi sebagai bentuk olok-olok, baik itu karena bentuk kulitnya, wajahnya dan juga performa badannya yang kurus. Dalam melakukan ini, tentu saja sudah ada pembanding sebelumnya, di mana menjadi pemimpin itu harus tampan, gagah, dan keren.
Saya tidak mau menyebutkan nama tempatnya, namun di beberapa daerah sikap rasisme terhadap Jokowi begitu kentara. Akibatnya ejekan demi ejekan kepadanya menjadi representasi ungkapan dari rasisme tersebut. Meskipun harus diakui, dominasi Jawa menjadi presiden Indonesia selama ini sekaligus banyaknya populasi etnik ini tersebar di wilayah Indonesia karena faktor transmigrasi serta warisan rejim Orde Baru yang melakukan sentralisasi ekonomi dan infrastruktur di pulau Jawa membentuk stereotip negatif di luar Jawa.
Dua faktor tersebut berimplikasi kepada faktor ketiga, yaitu memudahkan masuknya politik sirkulasi berupa fitnah dan hoaks, seperti anak PKI, antek asing aseng, China, dan anti-Islam. Tujuannya satu, melakukan proses delegitimasi pemerintahan Jokowi dan kerja-kerjanya.
Ironisnya, proses ini cukup berhasil di masyarakat di tengah pertumbuhan pengguna media sosial yang memungkinkan politik sirkulasi itu berjalan secara massif. Ungkapan HS yang ingin memenggal kepala Jokowi persis dalam ekosistem semacam ini, di mana Jokowi bukan hanya orang yang tidak pantas dan hina menjadi presiden, melainkan juga sosok yang seakan-akan harus dilenyapkan di Indonesia. Namun, upaya politik sirkulasi semacam melalui Whatsapp group tidak bisa dikontrol secara publik mengakibatkan proses pembentukan tindakan negativitas. Maksudnya apa yang dilakukan itu merupakan sesuatu yagn biasa saja dan sudah seharusnya dilakukan.
Di sini, ucapan kebencian dan rasisme menjadi semacam banalitas kejahatan.Ironisnya, atas nama kebebasan dan demokrasi, saat ada upaya penegakan regulasi perihal ini dianggap bertentangan dengan kebebasan sipil oleh sejumlah aktivis dengan menganggap rejim Jokowi sedang kembali seperti rejim otoriter Orde Baru.
Padahal, membayangkan kebebasan berpendapat di tangan orang-orang semacam ini justru membuka peluang kepada bentuk masyarakat otoriter dengan agama sebagai pintu masuk dan dalih utama. Sikap ini, mau tidak mau, membuat semacam pengkondisian mengenai imajinasi orang kuat untuk memimpin Indonesia.
Bagi mereka Prabowo merupakan pilihannya. Karena itu, menempatkan kasus perkasus bagaimana peristiwa akumulasi kebencian itu terjadi sekaligus menghukum secara sosial dan hukum tindakan tersebut merupakan langkah sementara yang bisa dilakukan. Hal ini juga melihat secara proporsional mengapa ada orang-orang yang kemudian ditangkap oleh polisi.
Jika ini tidak dilakukan Jokowi justru bisa merefleksikan pengkondisian tersebut dengan menempatkan dirinya sebagai orang kuat sebagaimana diimajinasikan oleh sebagian masyarakat tersebut.