Bulan Agustus tahun 2019 ini ada satu kejadian yang layak dan menarik untuk diperbincangkan. Yaitu, Ijtimak Ulama Jilid 4. Pelaksanaan di bulan Agustus menjadikan Ijtimak tersebut semakin mempesona untuk dibicarakan dalam hubungannya dengan nasionalisme, yang sedang digaungkan keras oleh Negara sebagai lawan dari radikalisme dan fundamentalisme agama yang sedang marak di Indonesia. Selain itu, narasi tersebut menyeruak di bulan Agustus yang menjadi bulan perayaan ulang tahun Republik Indonesia. Tulisan ini meneroka permasalahan bagaimana imaji soal nasionalisme proporsional dalam narasi NKRI Bersyariah yang didorong oleh Ijtimak Ulama kemarin.
NKRI Bersyariah sebenarnya adalah narasi yang sudah lama dikedepankan oleh Front Pembela Islam (FPI), karena asumsi yang ditekankan adalah tanpa penegakan hukum syariat maka negara Indonesia tidak akan mencapai titik kemakmuran dan kedamaian. Narasi ini sudah melekat dengan FPI sejak awal pendirian organisasi tersebut. Sekarang, narasi NKRI Bersyariah yang diendorse oleh FPI tersebut tidak lagi menjadi slogan organisasi yang didirikan pada masa reformasi tersebut, tapi berhasil didorong menjadi isu nasional hasil dari kemampuan FPI menjadi pimpinan poros di Aksi Bela Islam (ABI) 411 dan 212.
Keberhasilan FPI mendorong narasi NKRI Bersyariah tersebut didorong kondisi sosio-politik Indonesia, terutama politik Islam. Menguatnya kultur populisme dalam politik global, termasuk Indonesia, Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas rakyat Indonesia menjadi ikut terseret dalam arus tersebut. Ijtimak Ulama yang dilaksanakan hingga jilid keempat menegaskan fakta bahwa Islam menjadi kekuatan populisme di ranah politik Indonesia. Arkian, wacana NKRI Bersyariah adalah produknya paling terbaru dari kekuatan tersebut.
Kelindan dari arus Populisme, Ijtimak Ulama dan wacana NKRI Bersyariah menghadirkan sebuah imajinasi baru tentang nasionalisme yang didorong oleh kelompok FPI dan kawan-kawan. Yaitu, nasionalisme proporsional. Di mana dorongan akan kuasa dari kelompok mayoritas meminta hak istimewa ketimbang dari kalangan minoritas. NKRI Bersyariah jelas sekali menonjolkan hal tersebut sebagai landasan ide karena menganggap bahwa Islam, atau dinarasikan jasa besar para ulama, yang dikedepankan sebagai alasan utama.
“Andai jika bukan fatwa jihad dan pekikan takbir dari para ulama, kemerdekaan ini bisa saja hanya mimpi”, ini hanya satu dari sekian banyak narasi yang muncul di salah satu platform layanan jejaring sosial. Narasi seperti ini memang tidak ada yang salah dari sisi sejarah Indonesia, tapi ada terselip pengabaian jasa kelompok lain atas kemerdekaan. Padahal, kemerdekaan Indonesia diraih dengan andil beragam pihak, tidak hanya identitas keislaman yang ditonjolkan tapi ada orang dengan identitas yang berbeda juga memiliki jasa kemerdekaan.
Roland Barthes menegaskan bahwa “nasionalisme” disuarakan dengan sesuatu yang natural. Jadi nasionalisme adalah yang melekat secara natural dalam kehidupan kita yang biasa. Oleh sebab itu, identitas nasional adalah jawaban yang sering diberikan pertama kali saat ditanyakan “siapa kamu”. Jadi, identitas nasional bukanlah sesuatu yang hanya dimiliki secara natural tapi juga dianggap alami untuk dipikirkan.
Ada proses konstruksi tentang nasionalisme yang ditanamkan secara alami dalam narasi penguasa. Di era media sosial, penguasa narasi adalah mereka yang mampu menjadi corong paling didengar suaranya di linimasa berbagai platform dan memiliki kemampuan untuk menggerakkan massa dengan mengaduk emosi warga lewat media sosial.
Apakah wacana NKRI Bersyariah berbahaya bagi keutuhan bangsa? Pertanyaan ini mungkin sering terlintas di benak kita semua. Jawabannya mungkin bisa ditanyakan kepada para analis politik, akademisi dan para politisi yang memiliki kompetensi untuk melihat persoalan tersebut lebih dalam. Tapi, yang bisa saya lihat adalah NKRI Bersyariah adalah narasi yang mencoba melawan narasi nasionalisme dari Negara.
Ideologi nasionalisme memang bukan sesuatu yang statis, sebagaimana dijelaskan di atas nasionalisme adalah sesuatu yang bisa ditanamkan secara natural. Kelindan NKRI Bersyariah dengan arus populisme dan dogma agama bisa membuat arus kepercayaan publik terhadap model nasionalisme yang mereka tawarkan bisa cepat diterima oleh masyarakat kita. Ini yang seharusnya menjadi perhatian bagi pihak yang berkompeten menyoal ini.
Setiap perayaan Agustusan memang dirayakan oleh kebanyakan warga dengan suka cita yang diwarnai dengan berbagai lomba. Gelak tawa di saat lomba tersebut bisa menghilangkan sebentar berbagai tekanan dalam kehidupan, dan perbincangan elitis seperti perdebatan NKRI Bersyariah dan Nasionalisme di kalangan warga kelas bawah sering hanya diperbincangkan sekilas dan tidak dipahami secara mendalam. Oleh sebab itu, kehadiran Negara seharusnya bisa benar-benar menjadi pelindung rakyat terhadap himpitan kapitalisme dari kebengisan korporasi jahat. Harapan inilah yang ada di kebanyakan rakyat Indonesia.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin