Judul di atas sering ditanyakan oleh orang? Tapi saya teringat dengan kawan santri yang berkeluh-kesah dengan corak keislaman yang semakin tampil di ruang publik berbeda dari yang pernah dia pelajari. Saya kemudian menyarankan agar dirinya ambil bagian menyampaikan ilmu yang diperoleh di pesantren. Sungguh suatu hal yang aneh, jika seseorang risih dengan sesuatu di masyarakat, tetapi ketika diminta untuk terjun ke masyarakat, malah berkilah merasa belum layak.
Apa yang kurang dari diri santri dalam mengkaji agama? Selama mengenyam pendidikan di pesantren hampir 24 jam proses belajar. Mulai dibiasakan membaca kitab klasik tentang fiqh hingga Ta’limul Muta’alim Thariqatta’allum tentang akhlak menuntut ilmu. Berbekal pengalaman hal tersebut, santri penting mengambil bagian mempromosikan Islam pesantren yang kita kenal moderat.
Sikap Moderat memang bukan hal baru dalam dunia santri. Misalnya sarung yang identik dengan santri, pakaian tersebut merupakan bukti dari Islam yang moderat dan toleran. Penggunaan sarung dalam ritual agama yang dilakukan pesantren-pesantren tempat belajar ilmu Islam, merupakan cara damai menghargai dan merangkul kearifan lokal tempat dimana Islam diimplementasikan.
Konsep filosofisnya adalah memilah yang universal (kulliyah) dengan yang partikular (juziyyah). Ajaran universal diterima apa adanya, sedangkan yang partikular dikawinkan dengan ekspresi budaya lokal. Misal, Perintah menutupi aurat ketika salat adalah universal, tetapi soal pakaian menutupi aurat ketika salat adalah partikular. Ada yang salat dengan sarung dan ada yang menggunakan celana panjang.
Al Quran menyebutkan hal ini dengan Istilah al-wasathiyah artinya mencerminkan karakter dan jati diri yang khusus dimiliki oleh manhaj Islam dalam pemikiran dan kehidupan, dalam pandangan, pelaksanaan, dan penerapannya.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang moderat dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….” (Al-Baqarah: 143)
Santri sukses sinergikan kehidupan dasar Islam dengan konteks kehidupan lokal. Pendekatan moderat dan toleran, terbukti membawa Islam dan negara Indonesia dalam kehidupan yang damai dan rukun di tengah keberagaman suku, agama, ras, dan golongan. Keislaman santri merupakan representasi dari beragama yang tidak menghianati dan merugian kesepakatan para pendiri bangsa; Pancasila yang Bhineka Tungga Ika.
Begitulah sejatinya muslim, dalam perbuatannya tidak melukai dan merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi. Saw.
Suatu ketika Nabi Saw ditanya “siapakah muslim sejati?” beliau menjawab Al-Muslimu man salimal muslimūna min lisānihi wa yadihi wal mu’minu man aminahunnāsu ‘alā dimā’ihim wa amwālihim” (Seorang muslim (yang sejati) adalah orang yang mana orang muslim lainnya selamat dari (bahaya) lisan dan tangannya, dan seorang mukmin (yang sejati) adalah orang yang mana manusia lainnya selamat dari (bahayanya) pada darah dan harta mereka) (Kitab ḥadits Jami‘at-Tarmidzi, Kitab tentang Īmān, hadis ke-2627). Wallahu ‘alam Bishawab.