Beberapa hari yang lalu, Minggu 25 November 2018 diperingati Hari Guru Nasional. Secara resmi, Hari Guru Nasional ditetapkan sejak tahun 1994. Tepatnya ialah melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.
Keputusan ini mencerminkan penghargaan besar dari pemerintah dan rakyat Indonesia terhadap jasa para guru. Tanpa perjuangan para guru, sulit rasanya membayangkan kemajuan Indonesia. Guru ibarat begawan peradaban sebuah bangsa.
Hari Guru bermula dari organisasi perjuangan guru-guru pribumi sejak era penjajahan Belanda. Tepatnya pada 1912 didirikan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Organisasi ini mewadahi berbagai guru dengan latar belakang yang berbeda-beda. Seiring perjalanan waktu, di tengah semangat mengobarkan kesadaran pergerakan kemerdekaan, dibentuk pula berbagai organisasi guru yang lain. Di antaranya ialah Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD) Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS), Perserikatan Normaalschool (PNS), dan masih banyak lagi.
Di tahun 1932, PGHB diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan nama dengan mencantumkan kata Indonesia ini menunjukkan semangat kebangsaan. Pada zaman pendudukan Jepang, PGI dibubarkan. Baru setelah Indonesia merdeka, PGI menggelar Kongres Guru Indonesia pada 24-25 November 1945 di Kota Surakarta. Di hari terakhir kongres, dibentuklah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Hari pembentukan PGRI inilah ditetapkan sebagai Hari Guru nasional.
Dari rekam jejak sejarah di atas, dapat kita pahami bersama bahwa perjuangan guru sangatlah besar bagi Indonesia. Bukan sesuatu yang berlebihan jika pemerintah menetapkan 25 November sebagai Hari Guru Nasional.
Setiap tahun, berbagai kegiatan marak diselenggarakan, baik oleh instansi pemerintah, sekolah, ataupun unsur masyarakat lainnya. Ucapan selamat Hari Guru juga melimpah diunggah di media sosial oleh netizen. Salah satunya ialah sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih.
Jika di masa pergerakan kemerdekaan, guru menjadi prasyarat bagi upaya membangun kesadaran meraih kemerdekaan, maka di saat ini, guru merupakan prasyarat bagi upaya mengisi kemerdekaan. Prestasi yang telah diraih oleh generasi muda saat sekarang ini tidak lepas dari jasa guru. Semangat persatuan dan kesatuan Indonesia yang hingga kini terus terjaga juga berkat didikan seorang guru.
Perintah Memuliakan Guru
Dalam Islam, memuliakan seorang guru adalah sebuah keharusan. Sayidina Ali bin Abi Thalib ra dalam sebuah riwayat menyatakan diri sebagai budaknya seorang guru yang telah mengajarinya, meskipun hanya satu huruf. Menantu Rasulullah saw tersebut lebih lanjut menegaskan bahwa diri beliau siap dimerdekakan atau dijual sebagai hamba sahaya oleh gurunya. Kisah ini meyiratkan betapa agung derajat seorang guru. Murid wajib taat dan memuliakannya.
Selain itu, memuliakan guru merupakan prasyarat bagi kemudahan memahami dan memanfaatkan ilmu yang dipelajari. Syaikh al-Zarnuji dalam kitab Talim al-Muta’allim menegaskan bahwa seorang pelajar tidak akan mendapatkan kemanfaatan ilmu yang ia pelajari kecuali dengan memuliakan guru. Menghormati guru merupakan kunci bagi kemudahan mendapatkan ilmu. Begitu pula dalam mengamalkan dan mengembangkannya.
Demikian pula, Syaikh Hasyim Asy’ari (1871-1947) dalam karyanya yang berjudul Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menyatakan bahwa sudah seharusnya seorang murid memuliakan guru. Setiap orang yang mengajari pengetahuan dan budi pekerti wajib untuk dimuliakan. Dari rasa memuliakan inilah, seorang murid akan mendapatkan keberkahan ilmu. Di antaranya ialah mudah mengamalkan, mengembangkan, dan mengajarkan kepada orang lain.
Dari titik ini, harus menjadi perhatian bersama, khususnya kita sebagai generasi muda penerus bangsa untuk memuliakan guru-guru kita. Jika di antara kita sudah bisa meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau sukses meniti karir, maka jangan sampai melupakan jasa guru. Baik guru yang dulu mengajari kita di TPA, TK, SD, SMP ataupun SMA.
Setali tiga uang, jika kita masih sedang dalam proses menempuh jenjang pendidikan di atas, maka pantang bagi kita untuk melawan atau durhaka kepada guru. Tanpa berkat seorang guru, kita tidak mungkin dapat memperluas pengetahuan dan keterampilan. Guru tak ubahnya orang tua bagi ruh dan kedewasaan berpikir kita.
Bimbingan guru menentukan keberhasilan pembelajaran. Baik dalam ilmu agama ataupun ilmu lainnya. Maraknya radikalisme dan ekstremisme tidak lepas dari kesalahan kita mengakses jejaring internet yang disediakan oleh gerakan-gerakan tak bertanggungjawab. Imbasnya ialah agama yang semestinya menjadi rahmat berubah menjadi bencana. Sebaliknya, bimbingan guru yang tepat, akan mengantarkan pada pemahaman yang benar. Begitu pula akan mengarahkan kita meraih kesuksesan dan masa depan.
Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda Indonesia, Edisi 46/Jum’at, 30 November 2018 dengan beberapa editing atas izin redaksi