Waktu kecil, saya, dan mungkin banyak di antara Anda, sesekali mengelabuhi orang tua saat berpuasa, dengan mencuri-mencuri minum seteguk air atau mencomot sisa kue yang masih tergeletak di atas meja. Setelahnya, kita mengelap mulut dan pura-pura tetap berpuasa. Dan kita tetap akan ikut buka puasa dengan lahap saat azan maghrib tiba, sambil pura-pura kelaparan dan kehausan. Orang tua tidak tahu. Semua aman terkendali!
Sekalipun masih kecil, kita sesungguhnya sudah sadar bahwa perbuatan “curang” ini tetap diketahui Allah. Tidak ada satu pun persitiwa di alam semesta ini, sekecil apapun itu, yang luput dari pantauan Zat yang Maha Mengetahui. Sekalipun demikian, kita toh tetap melakukan dusta kecil-kecilan itu (namanya juga anak kecil).
Allah tentu saja Maha Tahu potensi dusta dalam pelaksanaan puasa. Jika ibadah-ibadah lain (shalat, zakat, haji) bisa dikonfirmasi pelaksanaannya, setidak secara teoretik, maka pelaksanaan puasa sepenuhnya mengandalkan kejujuran pelakunya. Orang dengan mudah mengatakan berpuasa, padahal tidak sedang melakukannya.
Itulah mengapa ada sebuah hadits qudsi yang artinya, “Setiap amalan anak manusia adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah untukku, dan Akulah yang akan membalasnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Puasa sesungguhnya adalah latihan kejujuran. Allah menfasilitasi kita melalui kewajiban puasa untuk berlatih jujur. Kita bisa berdusta kepada siapa saja, tapi tak mungkin kita bisa berdusta pada Allah. Tidak mungkin ada kejujuran jika kepada Zat yang Maha Tahu segalanya saja kita berdusta. Jika seseorang sanggup berlaku jujur di mana pun dan kapan pun, maka ia sesungguhnya pribadi yang paling amanah.
Jujur kepada Allah adalah kunci jujur kepada diri sendiri. Seseorang yang selalu jujur kepada Allah, dia pasti akan jujur pada diri sendiri, ada atau tidak ada orang lain yang melihatnya. Orang yang sanggup mempertahankan kejujuran diri, tidak mungkin baginya untuk melakukan kerusakan dalam hidupnya.
Adakah kemungkinan orang yang mengaku beragama tapi sesungguhnya berdusta? Allah telah menengarai para pendusta agama itu dalam surah al-Ma’un. Orang bisa saja berkoar-koar membela Tuhan atau memperjuangkan agama-Nya, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan kesalehan sosial. Bahkan, shalatnya tidak lebih dari pameran kesalehan kosong karena tidak dibarengi dengan kasih sayang kepada orang-orang malang. Orang seperti ini dicap pendusta agama oleh Allah.
Puasa memberi kesempatan untuk melatih kejujuran diri. Dusta seorang anak kecil yang meminum seteguk air saat puasa mungkin masih bisa dimaklumi karena sesungguhnya dia baru tahap latihan berpuasa. Namun, bagaimana jika dusta itu dilakukan oleh orang-orang dewasa apalagi jika dibalut dengan jargon-jargon agama?
Membela Tuhan tanpa menghormati nilai-nilai kemanusiaan bisa jatuh dalam kedustaan beragama. Obat dari keterperosokan ini adalah kejujuran diri. Kejujuran diri bisa dilatih melalui puasa, karena kejujuran adalah pertaruhan orang dalam menjalankan ibadah puasa.[]