Jumat lalu seorang penulis sekaligus penerjemah prolifik Nurul Hanafi mengeluhkan soal tidak adanya khatib yang membawakan tema soal membaca buku dalam khutbah Jumat. Dengan nada getir, Nurul menulis dalam status Facebook-nya: “Kalau kau mendapati khatib yang menurutmu rasis, lebih baik doakan atau biarkan saja. Atau lain kali waspadailah. Tapi lebih baik kau melatih diri untuk menjadi khatib juga, dengan mengulang-ulang satu topik yang sama, yang selama ini memang tidak pernah diangkat di mimbar, dari masjid ke masjid: keutamaan membaca buku. Bisa? Tidak. Saya juga tidak.”
Pernyataan Nurul membuat saya berusaha mengingat-ingat momen khutbah Jumat yang telah saya ikuti selama belasan tahun. Saya peras memori semampunya, tapi yang saya dapati cuma kenyataan yang mengafirmasi pernyataan Nurul. Dari sekian ratus khutbah Jumat, tak sekalipun saya dengar khatib yang berteriak lantang soal pentingnya membaca buku sebagaimana mereka berkeras ketika menyerukan perintah untuk menjaga salat.
Barangkali kenyataan tidak semuram itu. Di luar sana, di mimbar khatib-khatib yang tak sempat saya ikuti, mungkin ada pula dari mereka yang gigih mengajak umat untuk getol membaca buku. Tentu, khatib-khatib semacam itu membikin kita bungah. Di tengah masifnya seruan permusuhan dan agenda politik yang menyelip di sela khutbah di dalam masjid, adanya dai yang mengajak umat untuk rajin membaca buku tak ubahnya oase yang begitu menyegarkan.
Kalaulah kita mau menyempatkan waktu barang sebentar untuk menengok sejarah ayat Al-Quran, kita bakal tahu bahwa membaca bukanlah persoalan sepele. Ia adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan perintah pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Perintah pertama itu berbunyi “iqra”—bacalah. Al-Alaq ayat 1 itu secara tegas dan lugas memerintahkan kepada kita untuk membaca.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir diriwayatkan bahwa sewaktu Nabi Muhammad memperoleh wahyu pertama berupa seruan “bacalah!”, terjadi peristiwa dramatis di mana Nabi mengaku tidak bisa membaca. Hingga akhirnya Malaikat Jibril menuntun beliau untuk membaca. Selepas itu, beliau pulang ke rumah dan minta diselimuti oleh istri tercintanya Khadijah. Wahyu pertama itu membuat beliau bergetar dan ketakutan.
Dengan penuh kasih sayang dan ketenangan, Khadijah menenangkan sang suami, “Tidak demikian (yaitu janganlah merasa ketakutan), bergembiralah engkau. Demi Allah, Dia tidak akan mengecewakanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau adalah orang yang suka bersilaturahmi, benar dalam berbicara, suka menolong orang yang kesusahan, gemar menghormati tamu, dan membantu orang-orang yang tertimpa musibah.”
Peristiwa turunnya perintah membaca yang sekaligus wahyu pertama menjadi begitu krusial. Ia bukan seruan remeh yang boleh dianggap sepintas lalu. Membaca adalah hal utama dan penting dalam syariat Islam. Bahkan, sesungguhnya semua nash Al-Quran ataupun hadis yang menyebutkan keutamaan ilmu, pada hakikatnya secara tersirat mengandung seruan dan keutamaan membaca.
Maka sungguh mengherankan ketika tak banyak khatib yang menyampaikan perihal keutamaan membaca buku di mimbar-mimbar Jumat. Padahal, urgensi membaca tak kalah dari pentingnya salat, berpuasa, bersedekah, dan berdzikir. Orang tak mungkin paham soal salat, berpuasa, bersedekah, berdzikir, dan semua syariat lain kalau dia tidak terlebih dahulu membaca—baik membaca secara mandiri maupun dengan bimbingan guru.
Ini menunjukkan bahwa membaca adalah inti dan salah satu pokok syariat Islam. Oleh karena kedudukannya yang begitu penting, sudah selayaknyalah tema membaca buku tidak dianaktirikan. Ia harus diberi tempat di mimbar-mimbar ceramah, terutama mimbar-mimbar Jumat di mana pada waktu tersebut umat Islam berkumpul.
Salah satu masalah terbesar umat Islam saat ini adalah maraknya kebodohan. Cara terampuh untuk membasmi kebodohan adalah dengan belajar. Dan membaca adalah salah satu jalan belajar atau menggapai ilmu yang paling efektif dan mudah. Tugas para dai untuk mengajak umat rajin-rajin membaca. Tidak hanya membaca Al-Quran, melainkan membaca buku dan kitab apa saja yang dengannya kita dapat meraih manfaat.
Nurcholis Madjid adalah salah satu cendekiawan muslim yang pernah membuat mimbar Jumat terlihat lebih menggugah. Dalam esai “Cak Nur Menyarankan Film”, Hikmat Darmawan menceritakan pengalamannya saat mengikuti khotbah Jumat yang diisi oleh Nurcholis Madjid atau Cak Nur pada suatu hari pertengahan 90-an di Masjid Toko Buku Wali Songo. Yang istimewa, pada khotbah itu, Cak Nur menyarankan jemaah untuk menonton film. Ya, beliau menyarankan film dalam mimbar Jumat, tepatnya film The Name of the Rose—film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya penulis dan filsuf Italia, Umberto Eco.
Cak Nur sudah memulainya sejak jauh hari. Beliau berani menganjurkan film kepada jemaah, sebuah upaya menyegarkan mimbar Jumat. Kini, tinggal kita menunggu para khatib yang berani menganjurkan para jemaah untuk membaca buku-buku, mungkin Tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer, Di Bawah Bendera Revolusi Soekarno, Madilog Tan Malaka, Riyadush-Shalihin Imam An-Nawawi, Bulughul-Maram Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, atau buku apa pun. Rasanya, kalau para khatib Jumat sudah memiliki kepedulian lebih kepada buku dan pentingnya membaca, kita boleh sedikit bergembira. Tanda-tanda kebaikan sudah menggeliat dan patut dirawat.