Dalam Q.s. Al-Baqarah [2] ayat 183, dijelaskan bahwa Ibadah puasa merupakan salah satu syariat yang telah ada sebelum datangnya Islam, ibadah ini telah disyariatkan bagi umat-umat terdahulu sejak masa Nabi Adam As.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, pensyariatan puasa kepada seluruh umat manusia sejak Nabi Adam, selain menunjukkan bahwa Allah SWT. sangat menyukai ibadah ini, juga menjelaskan bahwa sebuah perkara yang berat, apabila berlaku umum bagi semua orang, maka beban yang dirasakan ketika menjalankannya terasa lebih ringan.
Ketika Allah SWT menyebutkan adanya pensyariatan puasa kepada umat-umat terdahulu, Allah hendak menunjukkan kepada setiap muslim yang beriman bahwa Dia tidak hanya membebankan ibadah yang berat ini kepada umat Islam saja, sehingga akan tumbuh kesadaran dan rasa solidaritas sebagai sesama hamba Tuhan, apapun agamanya, yang dibebani kewajiban puasa, dengan demikian umat Islam tidak merasa ‘paling terbebani’ dan lebih ringan dalam menjalankan perintah puasa.
Solidaritas dalam Puasa
Berbicara tentang solidaritas, kita tentu sering mendengar bahwa ibadah puasa dapat menumbuhkan rasa solidaritas kepada sesama, khususnya kepada fakir miskin. Artinya, melalui ibadah puasa kita akan ikut merasakan rasanya menahan lapar yang begitu berat dikarenakan kondisi ekonomi yang sulit, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan dan minum saja mereka masih kesulitan.
Nilai-nilai solidaritas yang terdapat dalam puasa tidak hanya terbatas dalam hal itu. Dari segi waktu pelaksanaan puasa, juga terkandung nilai solidaritas kepada sesama. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan ibadah puasa didasarkan pada kalender hijriah atau qamariyah. Karena kalender hijriah didasarkan pada peredaran bulan, sehingga waktu pelaksanaan ibadah puasa akan melewati berbagai musim yang ada di dunia, mengingat perbedaan musim dipengaruhi oleh peredaran matahari.
Sebut saja di Indonesia, yang memiliki dua musim dalam setahun, yakni musim hujan dan musim kemarau, maka umat Islam di Indonesia kemungkinan akan merasakan keadaan berpuasa dalam dua musim tersebut.
Namun, tidak semua negara di dunia memiliki waktu pergantian musim yang sama. Misalnya, di belahan bumi bagian utara, musim panas akan terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Sedangkan di belahan bumi selatan, musim panas akan terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. Dan seterusnya saling bergantian musim semi dan musim dingin. Dengan demikian, seluruh umat Islam yang berada di masing-masing belahan bumi akan merasakan suasana berpuasa pada setiap musim secara bergantian.
Menurut seorang ulama dari Pakistan, ‘Allamah Muhammad Ali, dalam The Religion of Islam (edisi terjemah berjudul “Islamologi”), keadaan itulah yang dapat menumbuhkan rasa solidaritas di antara sesama umat Islam di seluruh dunia. Saat mereka yang berada di belahan utara merasakan mudahnya berpuasa di musim dingin, mereka yang berada di belahan selatan merasakan sulitnya berpuasa di musim panas. Namun karena waktu pelaksanaan yang berdasarkan kalender hijriah, mereka yang telah merasakan kemudahan berpuasa di musim dingin suatu saat akan tiba giliran merasakan sulitnya berpuasa pada musim panas, begitupun sebaliknya.
Pendapat lain diutarakan oleh Yusuf Al-Qardhawi, dalam Fiqh al-Shiyam bahwa hikmah waktu pelaksanaan puasa berdasarkan pada kalender hijriah adalah umat Islam menjadi ‘tahan banting’ dalam setiap keadaan. Ketaatan mereka tidak terbatas dalam waktu, tempat, maupun kondisi tertentu. Karena Allah SWT tidak akan membebani hamba-Nya melebihi kemampuan yang mereka miliki, dan Allah pun memberikan keringanan dalam setiap syariat-Nya bagi mereka yang membutuhkannya. (AN)
Wallahu A’lam.