Gereja, Polisi, dan simbol asing kerap menjadi sasaran aksi teror.
Terorisme, menurut UU 5/2018 adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Konsekwensi dari pengertian di atas adalah bahwa aksi teror adalah taktik yang dipakai untuk mencapai sebuah tujuan, dan dalam tujuan tersebut ada unsur ideologi, atau politik, atau gangguan keamanan.
Secara umum, ada dua kelompok teror yang dikategorikan berdasarkan tujuannya yaitu terorisme tradisional, di mana ada tiga sub-kategori: Kiri, Kanan dan etnis-separatis, dan terorisme yang dimotivasi oleh agama, yang juga ada tiga sub-kategori: apokaliptik, teokrasi (orang yang berbeda agama dan pemahaman bisa tinggal di dalam wilayah buatannya asalkan tunduk kepada aturan absolut yang sudah dibuat mereka) dan pemurnian agama (orang yang walaupun seagama, tapi berbeda paham bahkan tafsir haruslah dibunuh).
Baca juga: Bagaimana Sebuah Keluarga Bisa Melakukan Teror?
Di Indonesia sendiri ada dua kelompok besar terorisme yang dimotivasi oleh agama yaitu kelompok yang berafiliasi ke Al-Qaida, yang cenderung masuk dalam sub-kategori teokrasi seperti Jamaah Islamiyah dan kelompok yang berafiliasi ke ISIS yang sangat kental paham pemurnian agama, yang di Indonesia di antaranya adalah JAD dan MIT.
Dalam memakai teror sebagai taktik mereka untuk mencapai tujuannya di Indonesia, terlihat ada tiga sasaran besar yang selalu menjadi target serangan teror dari kelompok-kelompok teror di Indonesia. Ketiga sasaran dimaksud adalah: simbol-simbol asing/barat, gereja, dan polisi.
Pertanyaan yang selalu ditanyakan publik adalah: kenapa tiga target ini? Untuk mengetahui kenapa kelompok teroris di Indonesia mentargetkan tiga sasaran ini maka kita harus melihat pertimbangan psikologis kelompok teror yang dimotivasi agama.
Karena agama dipakai sebagai motivasi dalam meraih kekuasaan oleh kelompok teror dimaksud, maka otomatis ada dua kategori sasaran aksi teror mereka, yaitu sasaran duniawi taktis dan sasaran teologi simbolis.
Sasaran Duniawi-Taktis
Sasaran taktis adalah sasaran yang secara taktis bisa menguntungkan kelompok teror dalam menunjukkan eksistensinya, meningkatkan dukungan dan pengaruhnya serta juga bisa dipakai sebagai sarana untuk mengoyang pemerintahan yang sah, yang oleh mereka dianggap tidak agamis.
Serangan-serangan teror di Indonesia yang mentargetkan kedutaan asing, fasilitas publik yang dianggap sebagai representasi asing, maupun orang asing adalah sasaran taktis yang sengaja ditargetkan bukan saja karena orang asing dianggap sebagai musuh yang harus diperangi, tapi juga secara taktis untuk menciptakan/menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi fasilitas internasional di dalam negeri.
Bayangkan jika serangan teror tersebut dilakukan secara masif dan konsisten maka Indonesia akan dicap sebagai negara yang tidak aman dan dampaknya adalah kita akan dijauhi dari dunia internasional, termasuk investor yang ingin datang dan berinvestasi di Indonesia.
Pasca 2010, ada pola yang berubah di mana aksi teror yang menyasar polisi mulai meningkat, termasuk pada beberapa hari lalu di Mabes Polri. Kenapa Polisi? Beberapa mantan napiter mengatakan bahwa polisi ditargetkan sebagai aksi balas dendam, karena polisilah yang menangkap, membongkar dan merusak jaringan kelompok teror – teman-teman mereka – di Indonesia.
Baca juga: Strategi Al-Qur’an Memanusiakan Perempuan
Akan tetapi, karena selalu ada motivasi politik di belakangnya, saya melihat bahwa serangan ke Polisi adalah serangan yang didesain untuk mengeksploitasi sekaligus membenturkan TNI dan Polri, sekaligus menciptakan persepsi bahwa “yang pantas diperangi di Indonesia adalah Polisi, sedangkan yang harus dibela adalah TNI”.
Taktik menjadikan Polisi sebagai sasaran aksi teror oleh kelompok teror adalah taktik yang lemah, tapi secara psikologis sangat jahat dan berbahaya, karena mereka memanfaatkan dan mengeksploitasi kondisi psikologis persaingan TNI-Polri. Oleh kelompok teror, anggota polisi dan institusi Polri dipersepsikan sebagai ‘musuh bersama’ lewat aksi teror yang menyasar polisi.
Sasaran teologi-simbolis
Karena dimotivasi oleh agama maka kelompok teror di Indonesia juga perlu menunjukkan eksistensi teologis mereka, dan salah satu caranya adalah dengan mentargetkan gereja.
Jadi kenapa gereja? Karena baik kelompok teror yang ingin membentuk negara berdasarkan agama, ataupun kelompok teror yang ingin melakukan pemurnian agama yang ada di Indonesia saat ini sama-sama melihat gereja sebagai ancaman, sekaligus sebagai musuh yang patut diperangi.
Kelompok teroris di Indonesia ini tahu bahwa menyerang gereja saja tidak akan bisa membuat mereka mencapai tujuan utamanya, akan tetapi dengan menyerang gereja, anggota dan pendukung mereka akan meningkat keyakinannya bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah benar. (AN)