Kehebohan akibat acara ceramah yang diisi oleh Felix Siauw di Balai Kota Jakarta sebenarnya tidak perlu menjadi viral di media sosial, jika kita memahami apa yang terjadi sebenarnya di luar persoalan politik. Sebab, fakta yang terjadi sebenarnya adalah tradisionalisme Islam tidak lagi menarik dalam artikulasi keislaman masyarakat Islam, terutama di wilayah perkotaan.
Anies Baswedan selaku pimpinan pemerintah DKI Jakarta yang mengundang Felix Siauw saja bisa menjawab dengan mudah, “Kita tertib ikuti peraturan. Insya Allah apa yang dilakukan Korpri berjalan dengan ketentuan yang ada”.
Anies menyiratkan dalam komentarnya tersebut, tidak ada masalah dari ceramah Felix selama ini dan sosoknya tidak terkait dengan kelompok terlarang. Ansor dan Banser DKI yang melayangkan keberatan kepada pemda DKI Jakarta akhirnya hanya diterima saja keluhannya, sedangkan Felix tetap saja berceramah di masjid Fatahillah di wilayah Balai Kota Jakarta.
Apa yang sebenarnya dilakukan Felix dan kawan-kawan sehingga bisa lolos dari tuduhan bagian dari HTI yang disematkan kepadanya?
Jawabannya sebagaimana dijelaskan di atas, Felix sudah memodifikasi konten dakwahnya dengan sangat cerdas, sehingga bisa mempesona banyak kalangan muslim khususnya di perkotaan.
Kampanye ide khilafah yang dikemas oleh Felix dan beberapa kreator konten yang rata-rata anak muda sudah di luar dari apa yang terpikirkan selama ini, bahkan mungkin di kalangan HTI sendiri.
Coba kita lihat Youtube, Instagram dan Podcast yang berkonten islam, sudah jelas dijejali oleh Felix dan kawan-kawan. Konten yang disebar mereka di sana sedikit sekali yang langsung membincang ide khilafah secara gamblang seperti materi kuliah, tapi sudah dimodifikasi dengan sangat lihai dan cerdas sehingga sulit terdeteksi.
Felix dan kawan-kawan tidak lagi cuma menawarkan romantisme klasik dengan menceritakan kisah-kisah kejayaan para khalifah Islam di masa lalu, sebagaimana yang dilakukan selama ini oleh HTI, tapi telah dikemas dengan apik dan kreatif. Hal tersebut dilakukan oleh Felix dan kawan-kawan dengan sangat sadar dan mungkin sengaja telah didesain sejak lama.
Dakwah yang dikreasi Felix selama ini dekat dengan apa yang disebut oleh Zygmunt Baumann dengan “Modernitas Cair”. Felix Siauw dengan lihai sekali memainkan segala potensinya bermain-main dalam kondisi yang disebut oleh Baumann sebagai akibat dari modernitas, yang sangat rigid membagi manusia dalam proses produksi. Sebelum lebih dalam membahas persoalan dakwah dan sosok Felix lebih dalam, ada baiknya kita mengenal dulu “Modernitas Cair” milik Zygmunt Baumann.
Modernitas dianggap sebagai puncak keberhasilan manusia dalam mengatasi seluruh kesulitan hidup yang dihadapinya di bumi. Manusia memang berhasil menaklukkan hampir seluruh kendala yang menghalanginya, namun di saat yang hampir bersamaan manusia mengalami kebingungan atas identitas yang dimilikinya. Sebab, identitas di ranah pascamodern bagaikan cairan (likuid) yang bebas mengalir dan menjelma ke berbagai bentuk.
Mendakwa Felix sebagai anti-pancasila karena identitasnya sebagai bagian dari HTI adalah hal yang sulit dilakukan sekarang, karena jika mengandalkan jejak digital yang menunjukkan bahwa dia pernah mengaku bagian dari HTI sebagai bukti keterlibatan di salah satu organisasi terlarang.
Maka bukti tersebut dianggap tidak memberatkan posisi Felix, karena hingga sekarang pemerintah tidak pernah melarang kegiatan apapun yang dilakukan oleh eks-HTI. Apalagi jika kita teroka di media sosial berbasis video seperti Instagram, Youtube dan Podcast, maka ceramahnya tidak pernah lagi menyebutkan teori-teori khilafah atau kampanye khilafah secara gamblang. Bagaimana Felix mendakwahkan khilafah sekarang?
Jawaban dari pertanyaan ini bisa membuat kita tersadar bahwa keputusan pemerintah membatalkan izin organisasi HTI memiliki efek domino, salah satunya adalah membuat para eks-HTI mengambil langkah gerakan bawah tanah dan kreativitas dakwah mereka membuat semakin sulit mengidentifikasi gerakan HTI tersebut. akhirnya, perlawanan atas narasi khilafah akhirnya juga semakin sulit.
Felix dan eks-HTI lainnya jeli memanfaatkan keadaan manusia sekarang yang merasakan dampak buruk dari modernitas. Manusia sekarang menghadapi kondisi modernitas cair yang dicirikan lewat dekonstruksi nilai yang dapat dukungan dari kapitalisme yang memungkinkan terjadi akulturasi budaya, pluralitas ideologi, bahkan sekularisasi yang menginginkan dan menghasilkan individu yang banal. Yaitu, individu yang tumpul dalam menyaring kecepatan informasi yang masuk dan gagal menginternalisasi nilai-nilai kebaikan dalam diri.
Dalam modernitas cair, identitas menjadi bergerak dengan bebas, berganti kapan saja dan terus menerus. Seseorang bisa menjadi apapun, siapa pun dan mensirkulasi identitasnya. Sebab, identitas tidak lagi dipahami secara statis, kaku dan tertutup sebagaimana masyarakat dalam tradisi terdahulu. Maka, bukan hal yang aneh jika sosok seperti Felix bisa memakai bebas ideologi yang dulu dianggap berseberangan dengan ideologi khilafah, seperti kapitalisme dan sekulerisme untuk digabung dengan dakwah Islam yang disebarnya melalui media baru seperti internet.
Pesona Felix memakai jaket atau bermerek sedang jalan-jalan di Turki sambil rihlah (baca:piknik), sambil lari pagi keliling komplek perumahan elit sambil mengingatkan membaca al kahfi atau zikir pagi untuk followernya atau ceramah di Youtube sambil berada di cafe berbudget mahal, mungkin tidak terbaca sebagai ideologi dakwah baru dari Felix. Yang dilakukan Felix tersebut jelas menuntutnya di saat yang bersamaan memodifikasi dakwahnya untuk bisa beradaptasi dengan nilai-nilai kapitalisme yang membuatnya harus menjadikan identitas diri sebagai pendakwah tidak hanya dinilai dari isi ceramah belaka. Tapi, juga memanfaatkan physical attractiveness sebagai bagian dari dakwah.
Dalam modernitas cair, fisik adalah bagian dari fashion state yakni hal penting dalam hubungan interpersonal. Di kondisi umat yang diisi oleh individu yang banal, Felix yang sudah dilengkapi dengan atribut di atas memanfaatkan keadaan tersebut dengan mengemas konten dakwah yang menonjolkan atribusi luar ketimbang isi dakwahnya. Konten dakwah Felix dikemas dengan bahasa yang ringan dan mudah diterima tanpa banyak mengajak umat untuk menelusuri alur logika berpikir dari ajaran agama yang dipelajari.
Oleh sebab itu, dakwah Felix menyelipkan ajaran khilafah lewat liminalitas yang menyeret imajinasi umat untuk menglorifikasi kejayaan Islam. Berbeda dengan romantisme klasik, liminalitas tidak hanya mengandalkan kisah-kisah yang didedah dalam ceramah, tapi malah mengedepakan berbagai faktor seperti tanda-tanda yang disematkan dalam perjalanan umrah atau rihlah, atau imajinasi lewat film atau cuplikan potongan film yang disertakan dalam video dakwah di Instagram. Perpaduan apik antara model fisik dan konten dakwah yang membuat Felix lebih terkenal dan diminati masyarakat sekarang ketimbang beberapa ulama besar di Indonesia.
Apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi pesona Felix yang begitu diminati? Penelitian terbaru membuktikan Felix lebih terkenal ketimbang Quraish Shihab adalah tamparan bagi pendidikan agama sekarang ini. Segala usaha pencerdasan wawasan keagamaan umat dan perebutan narasi keislaman di berbagai media baru adalah langkah awal untuk menghentikan umat semakin terseret ke narasi khilafah terselubung.