Banyak orang yang menggeluti ilmu agama, mapan secara kelimuan baik dalam ilmu tauhid, fikih dan hadis, namun tingkah lakunya terhadap orang lain tidak mencerminkan perilaku orang yang berilmu. Masih mudah dikalahkan oleh egoisme sehingga tidak punya adab sama sekali. Tidak menghormati yang besar dan menghormati yang kecil. Jika apa yang dilihatnya bertentangan dengan agama, langsung menegur secara membabi buta tanpa ditempuh dengan jalan hikmah.
Oleh karenanya, Islam menganjurkan penganutnya untuk mempelajari adab sebelum menimba ilmu itu sendiri. Dalam buku ‘Audatul Hijab” Muhammad Ahmad Ismail diceritakan bahwa Imam Malik pernah menasihati Imam Syafi’i dan berkata, ”Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu”. Imam Syafi’i juga pernah dinasihati oleh ibundanya dan berkata,“Pergilah kepada Rabi’ah! Bergurulah kepadanya tentang adab sebelum engkau mempelajari ilmunya.”
Adab bukanlah hal yang dipelajari hanya sehari dua hari. Adab dipelajari bertahun-tahun karena berhubungan dengan karakter dan sifat yang agak sulit dirubah. Sehingga ulama salaf selalu memporsikan pelajaran adab lebih besar dari materi ilmu lainnya. Dalam buku Sifatush Shafwah, Ibnu Mubarak pernah berkata,“Kami mempelajari masalah adab selama 30 tahun, sementara ilmu lainnya kami pelajari selama 20 tahun.”
Dua faktor penting agar ilmu menjadi berkah, kokah dan bermanfaat dunia akhirat adalah niat ikhlas karena Allah SWT dan menjaga adab. Sehingga seorang ulama hadis, Mu’tamar bin Sulaiman pernah berkata,“Adab merupakan tata krama dalam agama. Adab mengajak kepada kebaikan, melahirkan kebahagiaan dan menambah ketakwaan.”
Di belahan bumi mana pun adab tetap menjadi menjadi aturan yang harus ditaati dan diikuti selama itu tidak bertentang dengan norma-norma agama. Karena dengan adanya adab, setiap individu masyarakat akan selalu menghormati dan menghargai satu sama lainnya.