Bagaimana Sih Sejarah Munculnya Istilah Salaf, Salafi dan Salafiyah?

Bagaimana Sih Sejarah Munculnya Istilah Salaf, Salafi dan Salafiyah?

Banyak kita menemukan istilah salaf, salafi dan salafiyyah dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Istilah tersebut sering dipakai, namun bagaimana sejarahnya?

Bagaimana Sih Sejarah Munculnya Istilah Salaf, Salafi dan Salafiyah?
Ilustrasi: Twitter/@islamisciencenet

Al-Qur’an menggunakan kata salaf untuk merujuk masa lalu (QS. al-Ma’idah [5]: 95 dan QS. al-Anfal [8]:38) Dalam leksikon Bahasa Arab, salaf adalah leluhur yang saleh (as-salaf assalih), dan seorang salafi adalah orang yang mengambil al-Qur’an dan Sunnah sebagai satu-satunya sumber untuk peraturan agama (Shahin, Emad Eldin: 1995).

Memahami makna salaf dalam konteks saat ini telah melahirkan banyak perdebatan di kalangan para sarjana muslim menyangkut penggunaan kata itu sendiri. Secara keseluruhan, umat Islam mengklaim bahwa as-salaf as-salih sebagai dasar keagamaan mereka.

Dalam pengertian yang luas, salaf bermakna kembali kepada Islam “sejati” yang telah dipraktikkan oleh generasi pendiri muslim, yakni Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Keinginan untuk menangkap kembali esensi Islam di masa-masa awal seringkali dilabelkan dengan “salafisme”, sebuah istilah yang diambil dari bahasa Arab, as-salaf as-salih (righteous ancestors).

Guna mendapatkan deskripsi yang jelas perihal pengertian dan kesejarahan dari istilah salaf. Berikut ini adalah penjelasannya.

Secara etimologi, salaf diartikan masa yang telah berlalu. Istilah salaf adalah lawan kata dari khalaf (masa belakangan). Jadi, as-Salaf adalah orang-orang yang telah mendahului. Adapun secara terminologi, salaf bermakna generasi masa keislaman yang utama yang menjadi panutan dan prinsip bagi generasi setelahnya. Generasi tersebut adalah tiga genarasi awal dalam sejarah Islam (Rasul saw & Sahabat, Tabi’in, Atba’ at-Tabi’in) atau mereka yang hidup pada 300 tahun pertama dari masa Rasulullah SAW. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa salaf adalah mereka yang hidup pada masa 400/500 tahun pertama dari masa Rasul saw (Ramadan al-Buthi: 1998). Beberapa ulama mendasarkan masa ideal tersebut dengan hadis Rasul saw:

خَيْرَ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يلَونهَمْ ثُمَّ الَّذِينَ يلَونهَمْ (البخاري)

Kaum Salaf adalah orang atau kelompok orang yang memahami Islam dan mempraktikkannya dengan mengambil teladan kepada Salafus Salih. Sahabat adalah pengikut Nabi Muhammad yang hidup pada masa Nabi. Mereka hidup pada masa yang sama dan bertemu Nabi. Tabi’in adalah generasi yang hidup pada masa dan bertemu dengan Sahabat, sedangkan tabi’it tabi’in adalah generasi sesudah itu. Tiga generasi pertama Muslim ini dalam Islam diyakini sebagai generasi paling baik dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama Islam, sehingga menjadi generasi yang paling baik untuk diteladani bagi generasi-generasi yang datang di belakangnya (Muhammad Hisyam: 2010).

Pertanyaan yang muncul kemudian dan menjadi masalah yang kontroversial adalah siapakah yang dianggap generasi salaf. Sebagian besar ulama sepakat bahwa salaf terdiri atas tiga generasi pertama yang terbentang dari tiga abad dan mencakup para sahabat Nabi yang berakhir pada Anas bin Malik (w. 91 H./ 710 M), atTabi’in (180 H.796 M.), Tabi’ al-Tabi’in (241 H./855 M.) dengan Ahmad bin Hanbal sebagai orang terakhir dari generasi salaf.

Syekh Ramadan al-Buthi juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kaum terbaik dari generasi salaf adalah individu-individu dalam generasi tersebut yang memiliki kadar kualitas kesalehan personalnya. Oleh karena itu, tidak semua orang muslim yang hidup pada generasi tersebut dapat dikatakan sebagai salaf. Secara spesifik pula, Ibnu Khaldun mengaitkan kaum salaf sebagai kaum yang mengikuti mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aden Rosadi : 2015).

Selanjutnya, definisi kronologis salaf tidak cukup untuk menjelaskan istilah ini sepenuhnya. Karena dalam kesejarahannya, Salaf tidak terbatas pada atau era tertentu. Kaum muslim mengakui para ulama yang menonjol setelah masa itu dan tokoh-tokoh independen sebagai generasi salaf, termasuk Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), Ibn Taimiyah (w. 1328), Ibn Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin ‘Abd al-Wahab (w. 1792) dan lainnya.

Tiga generasi salaf tersebut merupakan model sebuah komunitas yang bersandar pada kebenaran wahyu. Karena itu, tiga generasi ini adalah orang-orang yang lebih unggul dan mengerti di dalam memahami makna dan maksud yang terkandung di dalam al-Qur’an. Mereka adalah orang yang lebih dahulu menerima dan memahami dari Sunnah Rasulullah. Mereka termasuk orang yang paling jujur dan teguh dalam beragama, lebih suci fitrahnya, dan jauh dari upaya penyelewengan dan bid’ah. Maka, tiga generasi inilah merupakan orang-orang yang lebih dapat dipercaya dan dapat selamat dengan mengikutinya.

Dengan demikian, generasi salaf inilah yang oleh para ulama senantiasa dijadikan panutan dalam berbagai pertimbangan keagamaan generasi setelahnya. Mereka sering disebut sebagai pengikut mazhab salaf atau manhaj salaf.

Perihal bagaimana idealnya mengikuti para kaum salaf tersebut, Syekh Ramadan al-Buthi dalam Salafiyah: Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islami memberikan beberapa arahan, sebagaimana berikut:

  1. Ikut manhaj dalam memahami wahyu
  2. Ikut akhlaknya
  3. Ikut ketulusan dan kemurniaan dalam menjalankan syariat agama
  4. Tidak harus ikut perilaku sosial-politik-budaya mereka. Karena, mereka juga mengadopsi generasi sebelumnya.

Selanjutnya, dalam perkembangannya, mereka yang mengikuti kaum salaf biasa disebut dengan beberapa istilah. Di antaranya adalah salafiyah dan salafi. Salafiyah adalah generasi khalaf yang mengikuti ulama salaf dalam bermazhab. Salafi adalah generasi khalaf yang mengacu pada metodologi berpikir kembali pada al-Qur’an, dan Hadits serta mengikuti akidah pemurnian dari ragam bid’ah. Ciri utama salafi biasanya mereka bersikap dan berperilaku dengan simbol-simbol salaf secara rigid dan tekstual-formal.

Aliran salafi dimunculkan pertama kali oleh para pengikut madzhab Hambali pada abad ke 4 H yang mengklaim bahwa pemikiran dan pandangan mereka berasal dari Ahmad bin Hambal yang telah menghidupkan akidah salaf saleh dari kalangan sahabat Nabi dan Tabi’in. Kemudian pada abad ke 7 H muncul Ibnu Taimiyah yang berusaha menghidupkan kembali, mengembangkan dan menyebarkan aliran salafi ini. Kemudian pada abad ke 12 H di semenanjung Arabia muncul Ibnu Abdul Wahab yang mengkalim untuk menghidupkan dan megibarkan bendera salafiy (Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-islamiyah: Fi as-Syiyasah wal al-‘Aqaid, hlm.211).

Generasi salaf dikatakan sebagai generasi ideal dalam menjalankan aktivitas keagamaan umat Islam. Mereka adalah contoh ideal sebagai panutan dalam bersikap dan berperilaku. Meski demikian, dalam upaya mengikuti jejak mereka, umat Islam setelahnya ternyata memiliki ragam cara pandang dalam mensikapi tentang bagaimana seharusnya mengikuti kaum salaf itu. Oleh karenanya, menjadikan salaf sebagai paham bagi komunitas muslim tertentu adalah kurang tepat. Karena, esensi utama dalam mengikuti kaum salaf adalah dalam hal bagaimana interaksi mereka dengan sumber yang otoritatif dari generasi emas dalam sejarah umat Islam.

Ahmad Tajuddin Arafat, penulis adalah pengajar di UIN Walisongo Semarang.