Rasulullah SAW pernah mengutus beberapa orang sahabat berkunjung ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, Rasul berpesan, “Kalian jangan salat asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah”. Tidak ada satupun sahabat yang bertanya mengenai maksud dari pernyataan Rasulullah ini. Semuanya tampak sudah memahami apa yang dikehendaki Rasulullah.
Di pertengahan jalan, waktu asar sudah masuk. Salah seorang sahabat mengusulkan agar salat terlebih dahulu. Khawatir kalau perjalanan dilanjutkan waktu salat habis. Sementara sahabat yang lain menolak usulan itu. Alasannya, Rasul memerintahkan salat di perkampungan Bani Quraizhah. Meskipun waktu salat asar habis.
Kedua belah pihak dari rombongan sahabat ini bersiteguh dengan keyakinannnya masing-masing dan tidak ada yang mengalah. Sahabat yang ingin mengerjakan salat asar di jalan memahami pesan Nabi secara substansial atau kontekstual. Sementara sahabat yang lain memahaminya secara literal dan tekstual.
Dua sudut pandang ini tentu melahirkan dampak dan implikasi yang berbeda. Kalau perintah Nabi di atas dipahami secara kontekstual, maksudnya adalah Nabi memerintahkan agar sahabat yang diutus segera sampai di tempat yang dituju sebelum waktu salat asar selesai. Artinya, kalau pun tidak sesuai harapan, ketika waktu salat sudah masuk di tengah perjalanan, tetap diwajibkan salat saat itu.
Namun sahabat yang memahami secara literal berpandangan bahwa Nabi memerintahkan salat asar di perkampungan Bani Quraizhah dan tidak boleh dilakukan di tengah perjalanan, sekalipun waktu salat sudah masuk. Dikarenakan tidak ada titik temu, kedua belah pihak akhirnya mengadu kepada Rasul. Setelah mendengar penjelasan mereka, Rasul membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan salah satunya.
Sumber Sama, Tapi Pemahaman bisa Berbeda
Kisah perdebatan sahabat di atas diakui kebenarannya oleh banyak ulama. Bahkan al-Bukhari dan Muslim mengutip kisah tersebut dalam karya monumentalnya, Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sehingga kebenarannya tidak perlu diragukan lagi.
Adanya perbedaan pendapat di kalangan sahabat membuktikan bahwa sahabat tidak tunggal dalam memahami perkataan dan perbuataan Rasul. Rasulullah sendiri tampaknya mengamini perbedaan pendapat ini, buktinya beliau tidak menyalahkan salah satunya.
Bila di masa Rasulullah hidup saja perbedaan pendapat sudah ada, apalagi pasca wafat Rasulullah. Karena itu, tidak mengherankan bila umat Islam memiliki banyak mazhab dan ragam pendapat. Hampir sebagian besar persoalan keagamaan memiliki jawaban yang berbeda-beda antara satu ulama dengan yang lain.
Ada banyak hal yang menyebabkan sahabat berbeda pendapat dalam memahami persoalan keagamaan, terutama setelah Rasulullah wafat. Di antaranya, tidak semua sahabat mendengar dan menyaksikan apa yang dikatakan dan dilakukan Rasul. Jangan dibayangkan Rasulullah hidupnya seperti ustaz zaman sekarang. Selalu ceramah di atas mimbar dan disaksikan ribuan orang.
Rasul hidup sebagaimana manusia biasa. Begitu pula para sahabatnya. Mereka beraktivitas layaknya manusia normal. Sehingga tidak semua sahabat mendengar apa yang dikatakan dan dilakukan Rasul. Karenanya, kesaksian seorang sahabat dengan lainnya bisa berbeda.
Kemudian, tidak semua sahabat memahami konteks perkataan Rasulullah. Ada banyak hal yang bisa menyebabkan ketidakmengertian ini: lupa, salah paham, salah dengar, dan lain-lain. Misalnya, dalam hadis riwayat Muslim, Abdullah bin Umar pernah mengatakan, “Rasulullah berkata, ‘Mayat akan diazab dalam kubur lantaran tangisan keluarganya'”.
Pernyataan Abdullah bin Umar ini dikritik oleh ‘Aisyah, istri Rasulullah. Menurut ‘Aisyah, Abdullah bin Umar salah paham dengan hadis Rasulullah tersebut. Yang benar adalah Rasulullah mengatakan, “Keluarganya menangisinya, padahal dia sedang disiksa dalam kuburan” (HR: Ibnu Majah). Kalimat ini disampaikan Rasul saat melihat mayat perempuan Yahudi yang ditangisi keluarganya.
Kedua sahabat ini sama-sama mendengar dari Rasulullah. Hanya saja, Abdullah bin Umar tidak menyebutkan konteksnya, sementara ‘Aisyah lebih mengetahui konteksnya. Meskipun sama-sama bersumber dari Rasul, pemahamannya bisa berbeda bila dipahami berdasarkan konteks dengan pemahaman tanpa melihat konteks.
Sahabat saja bisa berbeda dalam memahami Rasul, padahal mereka paling mengenal Rasulullah dibanding umat setelahnya. Semakin jauh dari masa Rasulullah, besar kemungkinan perbedaan pendapat akan semakin besar dan terbuka luas. Apalagi sebagian besar hadis Nabi yang ada saat ini, tidak banyak menyebutkan konteks hadis secara utuh dan dalam kondisi apa Rasul menyampaikan hadis tersebut. Biasanya, dalam kitab hadis langsung disebutkan, “Rasulullah berkata..” tanpa penjelasan situasi, kondisi, dan dengan siapa Rasul berbicara.
Sebab itu, dalam memahami persoalan tidak bisa hanya menggunakan satu hadis. Seluruh hadis yang berkaitan dengan objek pembahasan mesti dikumpulkan dan dilihat konteks dan tujuannya. Karena bisa jadi dalam satu hadis tidak disebutkan tujuan dan konteksnya, tapi dalam hadis lain disebutkan. Memahami hadis ibarat menyusun puzzle. Kalau ingin tahu gambaran utuhnya, kumpulkan puzzle yang tercerai berai itu, cari pasangannya dan ditata sampai menjadi sebuah gambar. Setelah ditata rapi dan benar, baru disimpulkan hasilnya. Jangan sampai baru menemukan satu puzzle, tapi sudah merasa paling benar.
Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat bisa menguntungkan dan merugikan. Perbedaan menguntungkan bila dipahami secara arif dan bijaksana. Sebaliknya, perbedaan bisa merusak dan memecah belah bila dihadapi dengan emosional dan merasa paling benar sendiri. Sejarah menunjukkan di dalam Islam banyak perbedaan pendapat. Sampai saat ini, ada empat aliran fikih yang berkembang: mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Di luar empat mazhab ini sebetulnya masih ada beberapa mazhab lain yang tidak terlalu populer bagi masyarakat umum.
Dengan demikian, dalam satu persoalan sangat mungkin terjadi banyak pendapat. Sekali lagi, ini sudah biasa. Bahkan sudah ada sejak masa Rasul dan sahabat. Jadi tidak perlu pusing, kaget, dan menolak. Seorang ulama pasti mengetahui mengapa ulama terdahulu berbeda pendapat terkait suatu permasalahan. Mereka mengerti argumentasi masing-masing ulama. Setiap pendapat bisa dibenarkan selama memiliki argumentasi yang kuat dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Bagi orang yang tidak mengerti hukum Islam, silahkan ikuti salah satu dari mazhab fikih yang berkembang. Ikuti pendapat dari orang yang memang memiliki kredibilitas dan moralitas yang baik. Kalau sudah mengikuti suatu mazhab dan pendapat tertentu, jangan menyalahkan pendapat ulama dan mazhab lain. Karena menurut al-Sya’rani (973 H) dalam Mizanul Kubra, “Orang yang menolak pendapat sebagian ulama berarti dia sedang mempertontonkan kebodohannya”.